Bab 8 Dendam

1913 Words
Wita berdiri di sudut gelap sebuah bar mewah yang tersembunyi dari keramaian kota. Lampu-lampu temaram menciptakan bayangan samar di wajahnya yang tegas namun penuh luka dan tekad. Malam ini, ia tahu bahwa hanya ada satu jalan untuk membalas apa yang Joseph lakukan. Wita melanjutkan langkah dengan keyakinan, menuju pintu bilik karaoke khusus dengan nomor yang dia cari. Di dalam bilik itu, telah menunggu pria yang mungkin bisa membantunya. Wita mendorong pintu perlahan dan melangkah penuh percaya diri. Dia sudah mempersiapkan dirinya sebaik mungkin. Pria itu, sedang duduk bersandar di sofa, menyeringai saat melihat Wita menghampirinya. Tatapan penuh minat itu tidak bisa disembunyikan, seperti hewan pemburu yang melihat mangsa. “Aku mau bekerja sama denganmu,” Wita mengucapkan kalimat itu dengan mantap, meskipun nada suaranya dingin. Dia menatap tajam, mencoba membaca respons pria itu. Pria itu menatapnya sejenak, bibirnya tertarik membentuk seringai. “Oh ya?” dia mengangkat alis, suaranya terdengar licik. “Aku ingin melihat keseriusanmu, Wita.” Tatapan Wita tak berubah, tegas dan penuh tekad. “Apa yang ingin kau lihat?” tanyanya, walaupun di dalam hatinya, dia sudah menduga maksud di balik kalimat itu. Pria itu mendekat, wajahnya semakin dekat hingga Wita bisa merasakan napasnya di kulit. “Sebagai wanita dewasa, kau pasti tahu maksudku…” katanya sambil tertawa rendah. Tangannya terulur, jari-jarinya membelai pipi Wita dengan sentuhan yang penuh niat. Mata pria itu menyapu tubuhnya dari atas ke bawah dengan sorot nakal, seakan sedang menilai harga diri Wita. Dia mendekatkan bibirnya ke telinganya, berbisik dengan nada menggoda, “Joseph Morgan… pria bodoh itu melewatkan kesempatan yang ada di hadapannya. Kau wanita yang… menggiurkan,” katanya sambil tersenyum sinis, jemarinya dengan santai menyusuri garis rahang Wita. Wita menahan perasaannya, tak bergeming sedikit pun dari sentuhan itu. Di dalam hatinya, amarah pada Joseph semakin berkobar. Jika ini adalah harga yang harus dibayar untuk membalas dendam, maka ia rela membayarnya. Dengan tatapan penuh keberanian, dia menatap pria itu lurus di matanya. “Lalu, apa yang kau tawarkan untukku?” tanya Wita dengan nada yang penuh ketegasan, meskipun dia merasakan dinginnya jemari pria itu di pipinya. Pria itu tersenyum, senyumnya penuh arti. “Kau lakukan bagianmu, dan aku akan lakukan bagianku. Morgan Group akan goyah, dan kita… akan berdiri di atas puing-puingnya.” Wita mengangkat dagunya, menahan diri agar tidak bereaksi ketika pria itu mempersempit jarak di antara mereka. Mata pria itu, gelap dan penuh kesombongan, menelusuri setiap ekspresi di wajahnya, mencari tanda-tanda kelemahan yang mungkin muncul. Sebaliknya, Wita mempertahankan wajahnya tetap tenang, menutupi badai dalam hatinya. “Aku yang punya aturan mainnya,” pria itu berkata dengan nada rendah, nyaris seperti ancaman. Tatapannya tajam dan licik, seolah menantangnya untuk mengingkari pernyataan itu. “Kau hanya bisa menurut… atau pergi tanpa kerja sama ini.” Dia menyeringai, mendekat lebih lagi, hingga ia bisa merasakan aroma rokok yang menyertai napas pria itu. Tangannya dengan santai turun dari pipi Wita ke bahunya, cengkeramannya menekan sedikit, seakan ingin menguji keteguhan hati wanita di hadapannya. “Aku…” Wita berbisik, menahan napasnya sejenak. Namun, dia tak bergeming, menatap pria itu lurus dengan keberanian yang tak tergoyahkan. “Aku tak punya niat mundur sekarang.” Pria itu terkekeh, menikmati reaksi penuh tekadnya, lalu membelai rambutnya yang tergerai. “Bagus. Tapi kau harus paham, di sini kau hanya menjalankan perintahku,” ucapnya sambil menelusuri rahang Wita dengan jarinya, berhenti tepat di dagunya, membuatnya sulit menghindar dari tatapannya. “Jangan berpikir ini kemitraan setara. Kau hanya akan melakukan perintahku… atau tak ada kerja sama apapun.” Wita menahan diri, menelan semua rasa tak nyaman yang melintasi pikirannya. Bibirnya mengatup rapat, meski dalam dirinya ia bisa merasakan kemarahan yang hampir meluap. “Aku di sini untuk menghancurkan Joseph Morgan,” katanya dengan suara rendah, matanya berkilat-kilat. “Jika itu berarti aku harus mengikuti permainanmu, menuruti perintahmu… maka aku akan ikuti.” Pria itu tertawa lagi, nada tawanya terdengar puas. “Nah, begitu lebih baik. Mulai sekarang, kau akan menuruti setiap instruksiku. Mengerti?” Wita hanya mengangguk, tanpa mengalihkan tatapannya. Di dalam hati, ia tahu dirinya baru saja menandatangani kesepakatan dengan seorang iblis, namun tekadnya sudah bulat. Tidak ada yang akan menghentikannya. Pria itu tertawa melihat kepatuhan Wita Arista. Dengan senyum puas pria itu merengkuh tubuh Wita erat. Bibirnya meluncur tepat di bibir sensualnya dan memberinya ciuman liar dan panas. Tangannya menjelajahi seluruh bagian tubuh memesona wanita yang telah jatuh ke tangannya itu. Wita tidak menolak. Dia sudah menyatakan bersedia mematuhi aturan main yang ditetapkan pria itu. Dan mengejutkan, dia juga ternyata mendambakan ini. Dia butuh pelepasan semua perasaan negatif yang membuat dadanya sesak. “Kau sudah mempersiapkan semuanya, hah?” bisik pria itu serak, mendapati wanita itu hanya mengenakan G-String tipis kecil, yang membuat jari-jarinya dengan leluasa bisa mengakses area kewanitaannya. Wita menggigit bibir, menahan desahan yang hampir saja lolos. Pria itu sudah sangat berg@irah. Dengan cepat dia mendorong punggung wanita itu ke dinding, mengangkat gaunnya dan menarik kain segitiga itu dengan satu kali hentakan, lalu mendorong masuk keperkasaannya. Wita hanya bisa memejamkan matanya sambil mengerang dalam-dalam, dengan kepala menengadah. Dia ingin berteriak, namun pria itu membungkam bibirnya dengan ciuman panas. Dia sudah lama membayangkan adegan intim seperti ini dia lakukan bersama Joseph suatu hari, namun tidak pernah terwujud dan hari ini dia menikmatinya bersama pria yang membuat kewanitaannya terasa sesak. Ingin mendapatkan lebih, Wita mengangkat kakinya dan melingkarkannya di sekeliling pinggang pria itu. Pria itu tersenyum melihat sorot matanya yang meminta dipuaskan. Mencengkeram b****g wanita itu menahan posisi mereka saat itu. Gerakannya semakin intens dengan akses yang semakin leluasa. Menarik keluar lalu menghujam dengan keras dan dalam. “Astaga! Kamu luar biasa..” seru pria itu di sela napasnya yang memburu, sementara wanita yang menerima hujaman keperkasaannya hanya bisa merintih dan mengerang dengan napas tersengal. “Jangan berhenti…” bisik Wita dengan tubuh gemetar. Peluh telah membuat tubuh mereka basah dan licin. Tangannya melingkar erat di sekeliling leher pria itu, berusaha bertahan agar tidak meluncur ke lantai. Sudah begitu lama dia tidak merasakan sentuhan kenikmatan seperti ini, semua karena Joseph Morgan. Sekarang dia ingin merasakan kenikmatan ini sepuasnya. Pria itu melepas keperkasannya dan membawanya ke sofa, membalikkan tubuhnya hingga bertumpu di sandaran sofa sambil mengangkat sebelah kaki di atas sofa. Wita baru akan menghela napas panjang, bersiap untuk sensasi mengejutkan berikutnya, namun seketika tersedak, ketika pria itu kembali memasukinya dalam satu kali hentakan kuat. Kekuatan dan kecepatan dorongan keperkasaan pria itu semakin ganas dan liar. Teriakan pun lolos dari bibirnya, merasakan puncak kenikmatan yang semakin mendekat. “Terus, sayang, jangan berhenti!” Pria itu membungkuk, meraih kedua bukit kembarnya yang terayun-ayun seiring sentakan-sentakan yang semakin cepat. Mereka terus berpacu, hingga kenikmatan itu meledak hampir bersamaan. Mereka tersungkur di atas sofa, merasakan denyutan rasa nikmat yang menjalar di seluruh tubuh. “Kamu cukup memuaskan,” bisik pria itu setelah deru napasnya mereda. “Tapi ini belum selesai. Aku selalu ingin lagi dan lagi.” Lanjutnya dengan suara serak. *** Matahari pagi bersinar cerah ketika Elaine Wellis melangkah menyusuri lorong rumah sakit. Sepatu hak rendahnya bergema di lantai marmer yang dingin, mengiringi detik-detik awal hari yang panjang yang akan dilalui. Ini adalah rutinitas yang sudah terbiasa baginya, yang selalu dia hadapi dengan bersemangat, meskipun harinya selalu penuh dengan tantangan baru. Elaine, seorang dokter muda berusia 24 tahun, sedang dalam perjalanan menuju mimpinya. Dia berdiri teguh di tengah rintangan karier yang sering kali menggoda orang untuk menyerah. Dengan rambut coklat gelap yang diikat rapi dan jas putih yang menyelubungi tubuhnya yang langsing, Elaine tampak seperti sosok yang memang terlahir untuk hidup dalam dunia medis yang penuh tekanan. Peristiwa malam itu tidak akan menghalangi langkahnya. Dia sudah berusaha keras hingga sampai di titik ini. Dia tidak akan berhenti sekarang. Ketika dia tiba di ruang istirahat dokter, Elaine menemukan sahabatnya, Marissa, sudah menunggunya sambil menyeruput kopi dari gelas kertas. "Sudah siap untuk hari yang panjang lagi, Dokter Wellis?" goda Marissa sambil mengedipkan mata. Marissa adalah sahabat terbaik Elaine sejak mereka mulai kuliah kedokteran. Dia selalu ceria dan penuh semangat, kontras dengan sikap Elaine yang lebih tenang dan terkontrol. Elaine mendesah sambil melepaskan tas dokternya di atas meja. "Siap atau tidak, hari ini tetap harus dijalani, kan?" Dia mengambil gelas kopi yang sudah disiapkan Marissa dan menghirupnya dalam-dalam. "Pasien ortopedi semakin banyak, dan aku harus bisa meyakinkan Dr. Adams bahwa aku layak mendapatkan beasiswa spesialisasi ini." Marissa yang tersentuh melihat semangat Elaine, tertawa kecil. "Kau selalu begitu serius. Kadang aku bertanya-tanya, apakah kau pernah bersantai?" Elaine hanya tersenyum tipis. "Aku bersantai dengan caraku sendiri. Kau tahu betapa pentingnya ini bagiku. Ortopedi adalah impianku, Ris. Aku harus bisa meraihnya." Marissa memandangnya dengan penuh pengertian. "Aku tahu, Ellie. Aku hanya tidak ingin melihatmu terlalu keras pada dirimu sendiri." Sebelumnya dia merasa khawatir setelah mendengar cerita sahabatnya ini mengenai apa yang dia alami malam itu. Menjadi korban rudapaksa adalah pengalaman traumatis yang meninggalkan luka yang dalam, bukan hanya secara fisik namun juga psikis. Dan yang lebih menyakitkan, Elaine hanya bisa pasrah. Terlalu kompleks masalah yang dihadapi setelahnya, jadi Elaine memilih diam. Marissa menatap Elaine, sahabatnya yang selalu membawa keceriaan di manapun dia berada, yang kali ini masih terlihat pucat. Elaine terlihat jelas mengalami gangguan tidur, dengan bayang-bayang gelap di bawah matanya. Dia harus melewati masa-masa berat ini. Namun syukurlah Elaine tetap kuat dan dia merasa lega melihat sorot mata Elaine tak lagi muram. “Bagaimana pun hidup harus dilanjutkan, Riss. Aku harus menyelamatkan diriku sendiri dari kehancuran,” ucap Elaine ironis. “Ya, Ellie. Tapi jangan sampai menyiksa dirimu sendiri. Kamu harus sehat untuk bisa terus berjuang.” Balas Marissa sambil kembali menyesap kopinya yang sudah mulai dingin. Elaine tahu Rissa berkata benar. Selama beberapa tahun terakhir, dia sering mengorbankan kehidupan pribadinya demi mimpinya menjadi dokter, lalu sekarang berlanjut dengan impian menjadi spesialis ortopedi. Bekerja hingga larut malam, menghabiskan waktu di perpustakaan rumah sakit untuk mempelajari kasus-kasus ortopedi yang rumit, dan menjalani shift-shift panjang yang melelahkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Namun, di balik ambisinya yang besar, Elaine juga menyimpan ketakutan akan kegagalan. Ini adalah beasiswa yang akan membawanya lebih dekat ke tujuan utamanya: menjadi salah satu ahli ortopedi yang sukses di masa depan. Dia tidak ingin gagal. Jadi dia terus berusaha keras. "Dr. Adams sangat ketat," ujar Elaine sambil menatap keluar jendela kecil di ruang istirahat. "Dia tidak mudah terkesan. Karena itu aku harus berusaha keras." Lanjutnya bersemangat. Marissa menyentuh lengannya dengan lembut, merasa lega Elaine sudah kembali bersemangat setelah peristiwa menyakitkan itu. "Kamu tidak perlu khawatir. Kau adalah dokter yang luar biasa, dan semua orang tahu itu. Bahkan dokter Adams tidak bisa menutup mata terhadap apa yang sudah kau capai." Elaine mengangguk, meski di dalam hatinya masih ada keraguan. Ia ingat betapa sulitnya perjalanan menuju titik ini. Hanya keberuntungan yang membawanya berada di titik ini. “Aku tahu. Tapi kau juga tahu aku harus melampaui semua ekspektasi itu. Aku tidak bisa hanya menjadi 'baik'. Aku harus luar biasa," Elaine berkata, menguatkan dirinya sendiri. "Dan kau akan melakukannya," sahut Rissa dengan tegas. "Kau sudah jauh melampaui semua orang di sini. Kau cerdas, pekerja keras, dan kalau ada yang pantas mendapatkan beasiswa itu, itu adalah kau." Elaine menghela napas panjang dan tersenyum tipis pada sahabatnya. "Aku senang mendengarnya. Terima kasih sudah selalu ada untukku, Ris." Marissa mengangkat bahunya. "Apa gunanya jadi sahabat kalau tidak mendukungmu?" Elaine tersenyum. Dia teringat bagaimana kemarin pria jahat itu menawarkan solusi yang sangat tidak bisa diterima akal sehatnya. Dia ingin bercerita pada Marissa, agar sahabatnya tahu dia sudah bertemu kembali dengan orang yang telah menjahatinya itu. Dan bahwa dia ternyata bisa menghadapinya dengan tenang tanpa drama berlebihan. Namun tiba-tiba intercom di ruangan berbunyi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD