Bab 9 Kecewa

1408 Words
Elaine segera mengangkat dan mendengar pemberitahuan, ada kasus darurat di UGD, seorang pasien dengan patah tulang parah akibat kecelakaan mobil. Tanpa ragu, Elaine langsung bergerak. "Sampai ketemu nanti, Riss," katanya kepada Marissa sambil melangkah cepat melewati koridor menuju ruang UGD. Elaine tiba di UGD dan langsung mengenakan sarung tangan serta masker. Saat ia melihat kondisi pasien yang terbaring dengan kaki yang terluka parah, adrenalinnya langsung meningkat. "Apa kondisinya?" tanyanya pada salah satu perawat. "Fraktur terbuka pada tulang femur. Sudah mengalami kehilangan banyak darah. Dr. Richard memintamu untuk ikut menanganinya." Elaine mengangguk cepat. Dokter Richard adalah kepala bagian bedah ortopedi. Ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya, dan dia tidak akan menyia-nyiakannya. Dengan keahlian yang diasah melalui kerja keras bertahun-tahun, Elaine mulai bekerja sama dengan tim medis, fokus pada setiap detail. Di ruang operasi, waktu tampak berhenti ketika dia melakukan tugasnya. Beberapa jam kemudian, Elaine keluar dari ruang operasi dengan perasaan lega. Pasiennya berhasil diselamatkan, dan operasinya berjalan sukses. Saat ia berjalan keluar, Dr. Richard, seorang pria berusia lima puluhan dengan ekspresi serius, menunggu di luar. “Kerja bagus, dokter Wellis,” katanya tenang dengan senyum di bibirnya. "Tapi masih ada banyak hal yang harus kau pelajari." Elaine tersenyum tipis, tahu itu pujian tertinggi yang bisa dia dapatkan dari dokter senior itu. "Terima kasih, Dok. Saya akan terus belajar." Dokter Richard mengangguk sebelum berjalan pergi, meninggalkan Elaine dengan perasaan lega. Ini adalah langkah kecil, tapi dia tahu, semakin dekat menuju impian besarnya. Saat Elaine berjalan kembali ke ruang istirahat, Marissa yang baru selesai kunjungan pasien menatapnya dengan cemas. "Bagaimana operasinya?" Elaine tersenyum lebar, untuk pertama kalinya merasa bahwa ia benar-benar berada di jalur yang tepat. "Berhasil. Dan dokter Richards tidak mengomel. Itu berarti hari yang baik untukku." Marissa tertawa kecil. "Itu berarti kau satu langkah lebih dekat ke beasiswa ortopedi itu." Ujarnya lebih menyemangati Elaine. Elaine mengangguk pelan, matanya memandang ke depan dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya. "Ya, dan aku tidak akan berhenti sampai aku meraihnya." Tiba-tiba seorang rekan staf dokter memasuki ruang istirahat, memberitahu Elaine bahwa dia di tunggu oleh dokter Ferlita Adams, wakil direktur rumah sakit yang menyeleksi calon penerima beasiswa di rumah sakit itu. ‘Ada apa?’ Elain bertanya dalam hati sambil melangkah menyusuri koridor rumah sakit menuju ke ruangan dokter Ferlita Adams. Tiba-tiba dia dihinggapi firasat buruk. Elaine melangkah perlahan menuju ruang kantor Dokter Ferlita Adams. Sepanjang perjalanan, perasaannya tak karuan. Ruangan wakil direktur berada di lantai dua gedung kantor rumah sakit, berada di blok terpisah dari gedung perawatan. Elaine mengetuk pintu beberapa kali lalu mendengar suara dokter Ferlita Adams mempersilakan dirinya masuk. Elaine melangkah masuk dengan perasaan semakin tidak enak. Dokter Ferlita, duduk di balik meja kayu besar, menatap tumpukan dokumen di depannya tanpa mengangkat pandangan. Seorang wanita yang berwibawa, dokter senior yang terkenal tegas dan dingin, tetapi juga dihormati. Rasa takut akan kabar buruk yang mungkin akan dia dengar mulai merayapi diri Elaine, meskipun dia tidak berani memperlihatkan ketakutannya. Setelah beberapa saat dalam keheningan yang canggung, dokter Ferlita berbicara, "Silakan duduk, dokter Wellis. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan." Suaranya datar, tanpa emosi. Elaine duduk di salah satu kursi depan meja sang dokter, kakinya terasa gemetar. "Iya, Dok," Elaine menjawab dengan nada setenang mungkin. Dia menatap wanita yang masih cantik di usianya yang sudah memasuki pertengahan lima puluhan itu, merasa terintimidasi oleh ekspresinya yang rumit. Dokter Ferlita memusatkan pandangannya langsung ke arah Elaine. "Setelah pertimbangan yang panjang dan evaluasi dari komite, saya harus memberitahumu bahwa kamu tidak akan menjadi salah satu kandidat penerima beasiswa PPDS tahun ini." Ucapan itu jatuh seperti batu besar di atas d**a Elaine. Jantungnya berdegup lebih cepat, dan aliran darahnya terasa melambat. Telinganya berdenging, dan beberapa detik berlalu sebelum kata-kata itu sepenuhnya meresap. "Saya... tidak akan mendapatkan beasiswa?" Elaine terdengar tercekik. Dia merasa pusing, seakan dunia di sekelilingnya berputar. Dua malam lalu, kehormatannya direnggut dengan brutal, dan sekarang, mimpinya yang paling besar juga hancur. "Tidak," Ferlita menjawab dengan tegas, "Komite merasa bahwa kelalaianmu tidak menjawab panggilan darurat yang berakibat pasien kritis tidak bisa diabaikan. Sebagai calon PPDS, tanggung jawabmu harus total. Kesalahan seperti ini tidak bisa ditoleransi. Ini adalah sanksi untuk kelalaianmu." Elaine merasakan panas di matanya, air mata mendesak untuk keluar, tetapi dia menahannya dengan sekuat tenaga. "Tapi saya... saya sudah berusaha keras. Saya telah berkorban begitu banyak... Tugas ganda, shift panjang... Saya melakukan yang terbaik, Dok." Ferlita menghela napas, seakan lelah dengan percakapan ini. "Ini bukan tentang usaha, Elaine. Ini tentang tanggung jawab. Kita membutuhkan seseorang yang selalu siap di garis depan, setiap saat. Dan dalam keadaan darurat kemarin, kamu tidak berada di sana. Kami tidak bisa mengambil risiko lebih besar lagi." Elaine ingin membela diri. Dia ingin berteriak, mengatakan bahwa malam itu dia menjadi korban dari hal yang mengerikan. Namun bagaimana dia bisa? Siapa yang akan percaya? Bahkan dia sendiri belum mampu mengolah kenyataan yang menimpa dirinya. Ketakutannya, kemarahannya, semua terkubur dalam diam. Elaine menunduk, jari-jarinya yang gemetar terjalin di atas pangkuan. "Tolong... beri saya kesempatan kedua, Dok," pintanya, suaranya pecah dan hampir tak terdengar. "Tidak ada kesempatan kedua dalam kasus ini, Dokter Wellis," Dokter Ferlita memotongnya dengan nada tegas. "Keputusan sudah final." Elaine menahan napas, perutnya terasa mual. Tiba-tiba ruangan itu terasa sempit, seakan menelan dirinya hidup-hidup. Dia merasa seolah dinding-dindingnya mendekat, menghimpitnya hingga dia tidak bisa bernapas. Namun dia tetap menahan tangis yang sudah mendesak di tenggorokannya. Beberapa saat kemudian… "Saya paham, Dok." Kata-kata itu keluar dengan sangat pelan, hampir tidak terdengar. Elaine mengangguk-angguk pelan, seolah mencoba menerima nasib yang dia rasa tidak adil. Ferlita menatapnya sejenak, ekspresinya tidak berubah. "Kamu masih bisa mengembangkan kariermu sebagai dokter umum yang hebat, Elaine. Ini bukan akhir dari segalanya." Bukan akhir dari segalanya. Tetapi bagi Elaine, ini terasa seperti akhir dari hidupnya. Setelah semua pengorbanan ini, harapannya yang besar justru dihancurkan. Dia berdiri dengan susah payah, lututnya terasa lemah. "Terima kasih, Dok," ucapnya lirih sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan itu. Elaine melangkah gontai menuju ruang istirahat dokter. Ruangan itu biasanya menjadi tempat dia sejenak melepas penat, tapi kali ini, ruangan tersebut terasa sunyi dan dingin, seolah mencerminkan hatinya yang kacau. Setiap langkah terasa berat, dan tubuhnya seakan tak mampu lagi menopang semua beban yang dia rasakan. Dia mendorong pintu hingga terbuka, dan melihat Marissa, rekan staf dokter yang juga adalah sahabat baiknya, duduk di sofa sambil membaca sebuah jurnal medis. Marissa mengangkat pandangannya begitu mendengar pintu terbuka, dan raut wajahnya berubah melihat Elaine yang tampak begitu murung. Dia segera bangkit dan menghampiri. "Ellie, kamu kenapa? Kamu kelihatan sedih." Elaine berusaha menahan tangisnya, namun air matanya sudah menggenang di pelupuk mata. "Aku... gagal. Aku kehilangan beasiswaku," jawabnya dengan suara yang bergetar, matanya yang berkaca-kaca tidak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan dan kesedihan yang begitu dalam. Marissa terkejut. "Apa? Kamu bercanda, kan? Kamu sudah kerja keras selama ini!" Elaine menggeleng pelan, suaranya semakin rapuh. "Mereka bilang aku lalai... Aku tidak menjawab panggilan darurat... Pasien itu masuk rumah sakit dalam kondisi kritis, dan sekarang semua ini berakhir..." Marissa menggeleng dengan cepat, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Tapi itu bukan salahmu sepenuhnya! Kamu sudah melakukan yang terbaik, dan satu kesalahan itu tidak lantas membuat mereka bisa seenaknya mencopot namamu!" Elaine hanya menunduk, bersandar di dinding dengan lesu. Marissa menatap sahabatnya dengan penuh iba. Dia tahu betapa keras Elaine bekerja, betapa besarnya pengorbanan yang sudah Elaine lakukan demi bisa meraih beasiswa tersebut. Dan tinggal seminggu lagi daftar penerima akan diumumkan. Elaine pasti sedih sekali. Marissa bisa merasakan kesedihan dan kekecewaan Elaine. Melihat bahu sahabatnya yang terkulai, Marissa segera mendekat, memeluk Elaine erat. Kemarin Elaine baru menceritakan hal mengerikan yang menimpanya, lalu sekarang, seakan belum cukup penderitaan yang dialami sahabatnya ini, mereka harus mendengar berita buruk lagi. ‘Tolong kuatkan sahabatku, Tuhan,’ bisik Marissa dalam hati. Air matanya ikut luruh merasakan bahu Elaine yang berguncang hebat seiring isakan tertahannya. “Aku tidak percaya mereka langsung menyalahkanku atas panggilan darurat yang tak terjawab itu.” Bisik Elaine getir, di sela isaknya. Lidah Marissa menjadi kelu. Tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa mengusap punggung Elaine. “Aku sudah berusaha, dan usahaku tidak main-main, Ris,” "Aku tahu, El. Tapi kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah keputusan mereka. Kita hanya bisa mencari jalan lain.” Ujar Marissa, menghibur sang sahabat. “Jalan lain?” Elaine melepaskan pelukannya dan menatap Marissa bingung. “Ya!” Marissa mengangguk. Dia meraih tasnya, mengeluarkan selembar brosur dari dalam tas itu dan memberikannya pada Elaine. “Lihat ini. Aku sebenarnya ingin memperlihatkan ini padamu beberapa hari lalu, tapi kamu sudah buru-buru menjawab panggilan darurat."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD