Bab 10 Berjuang Lagi

1540 Words
Elaine dengan lemah mengangkat kepalanya, matanya yang sembab memandang brosur yang disodorkan oleh Marissa. "Apa ini?" tanyanya dengan nada yang hampir tidak bersemangat. "Morgan Group punya program beasiswa besar-besaran. Setiap tahun mereka mencari calon dokter yang potensial untuk diberikan kesempatan melanjutkan spesialisasi. Aku yakin kamu layak mendapatkannya." Elaine menerima brosur itu dengan tangan gemetar, membaca sekilas tentang program beasiswa yang ditawarkan. Nama Morgan Group jelas tertera di sana, sebuah perusahaan besar yang dikenal sangat aktif memberikan dukungan bagi para mahasiswa kedokteran berprestasi. "Morgan Group." Elaine menggumamkan nama itu, masih merasa tidak yakin. "Aku tidak yakin... Mereka pasti mencari orang-orang yang sempurna, Ris, dan aku... aku bahkan gagal di sini." “Dokter sehebat kamu pasti bisalah, El.” Marissa tersenyum, memberi semangat. Elaine kembali menatap brosur itu, tetapi pikirannya masih kusut dengan rasa sakit dan kekecewaannya. "Aku tidak tahu, Ris... apakah aku masih punya harapan." Marissa menggenggam tangannya erat. "Kamu masih punya, Elaine sayang. Kamu hanya perlu mengikuti proses seleksinya saja." Marissa menepuk bahu Elaine perlahan, memberikan sedikit dorongan semangat. "Hei, jangan menyerah dulu. Kamu pantas mendapatkan kesempatan kedua. Memang tidak semua hal bisa berjalan sesuai keinginan dan harapan kita, Ellie, tapi kamu harus tetap berusaha. Ambil kesempatanmu dan buktikan kamu bisa." Kata Marissa berapi-api, seperti juru kampanye saja. Kata-kata Marissa berhasil menumbuhkan sedikit harapan di dalam di hati Elaine, walaupun masih diselimuti keraguan. "Baiklah, Rissa. Tapi... bagaimana kalau mereka juga tidak menerimaku?" Marissa tersenyum lembut. "Kita tidak akan pernah tahu kalau kamu tidak mencoba. Ingat, kesempatan besar tidak datang setiap hari, dan ini mungkin kesempatanmu. Kamu hanya perlu menghadapinya, mengikuti seleksi dengan percaya diri, dan aku yakin kamu akan melewatinya dengan sukses." Elaine menatap brosur di tangannya sekali lagi, membiarkan kata-kata Marissa meresap. Meski hatinya masih dipenuhi rasa takut dan kegelisahan, sesuatu dalam dirinya mulai bangkit. Mungkin, hanya mungkin, ini adalah jalan yang akan menuntunnya ke jalan untuk meraih impiannya. Mungkin, meski segalanya terasa hancur, dia masih punya harapan. "Baiklah, Baiklah.." kata Elaine akhirnya dengan napas panjang. "Aku akan mencobanya." Marissa tersenyum lebar, merasa lega karena Elaine tidak lagi terlihat putus asa seperti beberapa menit yang lalu. "Itu semangat yang aku suka dengar! Elaine adalah sinar matahari yang akan selalu bercahaya. Ayo, kita mulai persiapannya. Aku akan bantu kamu semaksimal mungkin." Ujar Marissa bersemangat, mengingatkan arti nama Elaine yang terinspirasi nama gadis Perancis. Elaine tersenyum mendengar kata-kata sahabatnya. Meskipun rasa sakit di hatinya belum sepenuhnya hilang. Setidaknya, dia tahu bahwa dia tidak sendirian dalam perjalanan ini. Meskipun dia baru mengalami kejadian terburuk selama hidupnya, mimpi buruk yang tak akan pernah bisa dia lupakan, dia tidak akan terpuruk. Dan meskipun beasiswa dari rumah sakit telah lepas dari genggamannya, kini ada secercah cahaya baru yang mungkin bisa mengantarnya menuju masa depan. Dan kali ini, dia tidak akan menyerah begitu saja. Dengan dorongan dari Marissa dan sedikit harapan yang tumbuh kembali dalam dirinya, Elaine memutuskan untuk mencoba mendaftar untuk seleksi beasiswa dari Morgan Group. Sore itu juga, Marissa yang sangat bersemangat membantu sahabatnya, memaksa Elaine untuk mengirimkan aplikasi pendaftaraannya. “Semakin cepat dikirim semakin baik. Lagi pula, petutupan pendaftarannya lusa, setelah itu mereka akan melakukan seleksi administrasi.” Hari sudah mulai gelap ketika akhirnya mereka berdua pulang. ** Elaine menghela napas panjang, menggerakkan lehernya yang kaku setelah seharian beraktivitas di rumah sakit. Dengan tenang dia memacu sepeda motornya, pulang ke tempat kos. Satu-satunya hal yang Elaine inginkan setelah hari yang berat ini adalah segera tidur di ranjangmya yang nyaman walaupun sempit. Lampu jalan yang redup menerangi jalan setapak kecil menuju rumah kos. Sepeda motornya melaju perlahan, dan tak lama kemudian dia sudah memasuki halaman, memarkir sepeda motornya di tempat parkir yang disiapkan pemilik kosan. Elaine berbalik dan melangkah menuju kamarnya. Pandangannya tertumbuk pada seorang gadis remaja yang sedang duduk di teras depan. Gadis itu menunduk, menggenggam tas punggungnya erat-erat. Saat mendengar langkah kaki mendekat, dia mengangkat wajahnya. "Nanda?" Elaine bergegas mendekat, lututnya hampir lemas karena kekhawatiran tiba-tiba yang menyergap. "Kamu kenapa duduk di sini? Ada apa?" Tanya Elaine panik, melihat wajah murung dan mata sembabnya. Nanda, salah satu anak panti asuhan yang sudah Elaine anggap seperti adiknya sendiri. Tidak biasanya dia datang ke tempat kosnya. Ini pasti karena ada hal yang mendesak. "Kak Ellie..." suara Nanda pelan, nyaris bergetar, "Bibi Dela sakit keras." Darah Elaine seakan berhenti mengalir. "Sakit keras?" Suaranya meninggi, refleks terdorong oleh rasa khawatir yang semakin menusuk. “Kenapa baru kasih tahu sekarang, Nanda?” "Bibi tidak mau merepotkan kak Ellie," katanya, terisak pelan. "Bibi bilang kak Ellie sudah sibuk sekali di rumah sakit, jadi jangan diganggu. Tapi sekarang bibi tambah parah sakitnya, jadi aku cari kak Ellie untuk mengobati bibi." Elaine mengerutkan kening, hatinya perih mendengar alasan itu. ‘Aduh, kenapa harus menunggu sampai segini parahnya?’ batinnya, merasa bersalah. Rasanya dia memang sering tidak punya waktu akhir-akhir ini, terlalu fokus pada pekerjaannya di rumah sakit, hingga jarang pulang ke panti. "Bibi Dela sudah lama sakitnya?" Elaine mencoba menenangkan suaranya. Tangannya terulur, mengusap punggung Nanda yang masih gemetar. “Sudah beberapa hari, Kak,” jawab Nanda pelan. “Tadi siang bibi muntah-muntah, dan sekarang tidak bisa bangun sama sekali.” “Ya sudah. Nanti kakak periksa. Semoga ini hanya gangguan biasa yang bibi alami. Ayo, dek, kita lihat bibi.” Elaine berbalik dan melangkah kembali ke tempat parkir sepeda motor. Nanda mengangguk, kemudian berdiri mengikuti Elaine yang sudah menghidupkan sepeda motor. Segera, keduanya pergi menuju panti asuhan yang jaraknya cukup jauh dari tempat kos Elaine. Kalau dengan sepeda motor, butuh waktu hampir dua puluh menit. Sambil berkendara, sepanjang jalan, Elaine tidak bisa berhenti berpikir. ‘Kenapa aku tidak peka? Aku harusnya lebih peduli. Aku terlalu fokus pada urusan rumah sakit, padahal panti adalah adalah rumahku juga.’ Elaine merasakan sesal menggerogoti dirinya. Bibi Dela bukan hanya sekadar pengurus panti, dia adalah orang yang selalu ada untuk Elaine sejak dia di bawa ke sana oleh ibu kepala panti asuhan setelah ditemukan terlunta-lunta di jalanan. Bibi Dela yang merawat dirinya, yang waktu sampai di sana mengalami gangguan asam lambung dan alergi parah. Wanita berusia separuh baya itu mengurus Elaine bersama anak-anak panti lainnya dengan penuh kasih sayang. "Nanda," Elaine memanggil gadis remaja itu lembut, menyadari sejak tadi dia hanya diam saja. "Kamu tidak usah khawatir. Bibi Dela pasti baik-baik saja. Aku akan periksa dia nanti." Ujar Elaine, menenangkannya. Dia yang tadinya agak panik sudah lebih tenang mengingat kondisi bibi Dela yang sebelumnya baik-baik saja. Ini pasti hanya gangguan lambung yang biasanya dia alami, dan pengaruh umur yang bertambah, jadi fisik makin lemah. “Benar, Kak? Aku takut bibi kenapa-napa.” “Iya. Aku kan seorang dokter. Nanti aku rawat dan kasih obat, biar bibi sehat lagi.” Tak lama, mereka sampai di panti. Elaine langsung melangkah cepat menuju kamar Bibi Dela, mengabaikan rasa pegal di punggung dan jari-jari tangannya. Elaine menatap tubuh Bibi Dela yang terbaring lemah di atas ranjang. Mata wanita paruh baya itu terpejam, nafasnya terengah-engah dan sesekali terdengar batuk lemah. Wajahnya tampak pucat, dan tangan yang dulu selalu sibuk mengurus anak-anak panti kini terlihat gemetar. Elaine berjongkok di samping ranjang, matanya mulai memanas. "Bibi... maafkan aku," gumamnya dengan suara bergetar. "Aku seharusnya lebih sering pulang... seharusnya aku tahu lebih awal kalau bibi sakit." Ibu Sarah, kepala panti asuhan, yang mengikuti mereka dan duduk di sudut ranjang menghela napas panjang. "Elaine, jangan menyalahkan diri sendiri. Bibi Dela memang keras kepala, dia tidak mau merepotkan siapapun, apalagi kamu. Dia selalu bilang, 'Elaine sibuk jadi dokter, biarkan dia fokus'. Padahal kita sudah memintanya untuk istirahat dan periksa ke dokter sejak beberapa minggu lalu, tapi tetap tidak mau." Elaine menoleh, air matanya hampir tumpah, sedih melihat kondisi bibi Dela yang terlihat lemah dan alisnya mengerut seperti menahan sakit. "Sudah berapa lama kondisi bibi Dela seperti ini, Bu?" Ibu Sarah tampak ragu sejenak, lalu menjawab dengan lirih. "Dua bulan terakhir ini kondisinya makin menurun, El. Awalnya dia cuma lemas, sering pusing, tapi makin lama dia mulai kesulitan buang air kecil. Semakin sering muntah dan tubuhnya bengkak. Menurut dokter puskesmas, bibi memiliki masalah dengan ginjalnya, jadi harus diperiksa lebih lanjut di rumah sakit. Tapi bibi tidak mau." Elaine menelan ludah, hatinya seperti ditusuk. Ginjal? Ini lebih buruk dari yang dia bayangkan. Dia mendekatkan tangannya ke pergelangan Bibi Dela, merasakan denyut nadi yang lemah. “Bibi Dela tidak mau merepotkan banyak orang. Apalagi belakangan ini panti kekurangan dana, jadi kita berusaha berhemat.” Kata ibu Sarah lagi. Elaine memahami masalah tersebut. Jadi dia tidak heran dengan sikap bibi Dela. "Bibi harus segera dibawa ke rumah sakit," kata Elaine tegas. "Aku akan periksa dan pastikan bibi mendapatkan perawatan yang tepat." Saat itu, Bibi Dela membuka matanya perlahan. Senyumnya lemah, namun masih ada kasih sayang yang terpancar dari matanya. "Ellie... kamu sudah pulang..." suaranya nyaris tak terdengar. Elaine meraih tangan Bibi Dela, mengusapnya lembut. "Iya, Bi. Aku pulang. Maafkan aku, aku lama tidak pulang." Bibi Dela menggeleng pelan. "Jangan... jangan minta maaf. Kamu sudah melakukan yang terbaik, Ellie. Aku bangga... melihat kamu jadi dokter seperti sekarang..." Elaine menggigit bibir, berusaha menahan tangis. "Bibi... tolong jangan bicara seperti itu. Aku akan bawa bibi ke rumah sakit sekarang. Aku sendiri yang akan merawat bibi." Bibi Dela tersenyum, tapi ada lelah yang tak bisa disembunyikan dari matanya. "Kamu... kamu tidak usah khawatir. Ini... mungkin hanya kelelahan biasa." Elaine menggeleng cepat. "Tidak, Bi. Ini lebih dari sekadar lelah. Bibi harus periksa lebih lanjut."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD