Bab 11 Lolos Tes Wawancara

1539 Words
Bibi Dela hanya diam, matanya kembali terpejam. Elaine tahu ini bukan hanya kelelahan, ini sudah terlalu lama dibiarkan. Ginjal yang rusak bisa menyebabkan komplikasi serius. Dalam hatinya, Elaine merutuki dirinya sendiri. Kenapa dia baru menyadari sekarang? Kalau dia sering menyempatkan untuk datang berkunjung, penyakit bibi Dela pasti akan lebih cepat ketahuan. Elaine menelepon ke rumah sakit, minta dikirimkan ambulans. Mereka membawa bibi Dela ke rumah sakit dan Elaine berupaya wanita baik hati itu ditangani oleh dokter spesialis. Pada pagi hari, Elaine mendengar diagnosa dokter spesialis nefrologi yang memeriksa bibi Dela. "Dokter Wellis, kondisi pasien sudah cukup parah. Fungsi ginjalnya sudah menurun drastis. Kita harus segera melakukan tindakan dialisis, atau dalam waktu dekat transplantasi ginjal." Elaine terdiam. Walaupun dia sudah menduga, mendengar diagnosis ini tetap seperti pukulan telak. Dia tahu proses ini tidak akan mudah, tetapi dia juga tahu bahwa Bibi Dela harus segera ditangani. Namun, masalahnya sekarang, biaya yang dibutuhkan sangat besar. Dari mana dia bisa mendapatkan uang banyak untuk menolong bibi Dela? Elaine mengusap wajahnya resah, merasa tak berdaya. Untuk sementara bibi Dela hanya bisa menjalani beberapa pengobatan standar, tapi setidaknya bisa membuat kondisinya lebih membaik. Elaine bisa merasa sedikit tenang sambil memikirkan jalan untuk langkah selanjutnya. *** Hari itu pengumuman hasil seleksi administrasi beasiswa Morgan Group. Elaine menunggu dengan penuh harap. Dia tahu peluangnya kecil, tetapi dia akan berusaha keras untuk bersaing dengan para pendaftar yang pastinya sangat banyak, mengingat nilai beasiswa yang diberikan sangat besar. Dari informasi yang Elaine dengar, beasiswa dari Morgan Group selain menanggung semua biaya pendidikan, juga menanggung semua biaya yang timbul selama para peserta PPDS menjalani proses untuk meraih gelar dokter spesialis. Istilah Marissa, beasiswa VVIP, jadi harus berusaha ekstra keras untuk lolos seleksi. Saat sedang istirahat makan siang di kantin rumah sakit, sebuah email dari Morgan Group tiba di kotak masuknya. Hati Elaine berdebar saat dia membuka pesan tersebut. [Selamat! Anda telah lolos seleksi administrasi dan silakan kirimkan esai Anda.] Elaine senang sekali. Dia segera mengirimkan esai yang sudah dia siapkan sejak memutuskan untuk mendaftar. Dia menjelaskan dengan lugas mengenai minatnya untuk menjadi dokter spesialis bedah ortopedi, sambil menambahkan pendapat-pendapat pribadinya berdasarkan pengalaman medis yang telah dia lewati. Dua hari kemudian, Elaine kembali mendapat email dari Morgan Group. [Selamat! Anda diundang untuk mengikuti wawancara langsung.] Elaine terkejut, hampir tidak percaya. Dia benar-benar lolos ke tahap selanjutnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya, meskipun kecemasan mulai merayapi pikirannya. Malam sebelum wawancara, Elaine hampir tidak bisa tidur. Bayangan kegagalan dan perasaan trauma dari peristiwa yang menimpanya masih menyelimuti pikirannya. Namun, dia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak boleh dia sia-siakan. Di pagi hari yang cerah, Elaine melangkah ringan memasuki lobi kantor Morgan Group yang luas dan mewah. Melihat gedung kantornya saja saat berada di luar tadi, Elaine sudah dibuat terkagum-kagum. Gedung itu terdiri dari kurang lebih dua belas lantai, kalau memperkirakan ketinggiannya. Merupakan salah satu gedung perkantoran megah di kota ini. Elaine semakin bersemangat, seiring motivasi yang semakin besar mendengar informasi mengenai peluang bekerja di Morgan Hospital, rumah sakit terbesar dan termegah di kota. Seorang resepsionis menyambutnya dan mempersilakannya menunggu. Di sana ada beberapa kandidat penerima beasiswa lain yang sudah menunggu sambil duduk di sofa di lobi. Mereka menunggu beberapa menit sebelum seorang staf perusahaan mengarahkan mereka ke ruangan wawancara. Di depan ruangan, mereka kembali menunggu. Elaine mendapat giliran pertama. Elaine dilanda perasaan gugup yang tak terelakkan. Ruangan wawancara terasa dingin, profesional, dan sedikit mengintimidasi. Para panelis yang terdiri dari para eksekutif Morgan Group memandangnya dengan tatapan tajam. Meskipun gugup, Elaine berhasil menenangkan dirinya. Dengan penuh ketenangan, dia menjawab setiap pertanyaan dengan cermat, berbicara tentang pengalamannya di rumah sakit, ketekunannya sebagai anggota tim darurat, dan motivasinya untuk melanjutkan pendidikan spesialis. Elaine berharap kali ini dia cukup beruntung. Dia pun menjawab pertanyaan-pertanyaan berikutnya dengan perasaan lebih tenang. Kabar gembira Elaine dengar setelah wawancara berakhir. "Anda dinyatakan lolos wawancara tahap pertama. Selanjutnya Anda dijadwalkan untuk wawancara langsung dengan CEO Morgan Group, pak Joseph Morgan, pada besok pagi." Kata manajer SDM yang mewawancarai Elaine. Elaine menelan saliva. Perasaannya campur aduk antara gembira dan gugup. Wawancara dengan CEO Morgan Group? Elaine benar-benar merasa tegang saat berjalan keluar dari ruangan tempat wawancara. Walaupun dia tidak mengetahui tampang CEO perusahaan besar itu, namun desas-desus yang sempat dia dengar bahwa orangnya agak kejam dan misterius, membuat Elaine merasa sedikit khawatir dan tegang. Merasa terlalu tegang, Elaine merasa butuh untuk berbicara dengan seseorang. Elaine teringat Marissa yang mendorongnya untuk mengikuti seleksi ini. Dia ingin berbagi dengan sahabatnya itu mengenai keberhasilannya hingga sejauh ini. Dia segera menekan tombol panggilan dan meletakkan ponselnya di telinga, jantungnya masih berdebar penuh antusiasme setelah wawancara yang baru saja selesai. Ketika telepon tersambung, suara ceria Marissa segera menyapanya. “Ellie! Ada kabar apa?” tanya Marissa dengan nada riang. Elaine tersenyum, masih merasakan semangat yang membuncah. “Aku lolos ke tahap wawancara terakhir, Riss!” katanya, suaranya penuh kegembiraan. “Mau makan siang bareng? Aku traktir. Hitung-hitung refreshing, mumpung hari ini kita berdua libur dan tidak ada panggilan darurat.” Di ujung telepon, terdengar suara tawa Marissa yang menghangatkan. “Ah, itu kabar bagus, Ellie! Ditambah traktiran darimu, siapa yang bisa nolak? Di mall yang biasa, ya?” “Oke! Kita ketemu satu jam lagi.” jawab Elaine dengan semangat, matanya berkilat-kilat. Dia menekan tombol mengakhiri panggilan dan tersenyum lega. Bukan untuk merayakan kemenangan—belum, tapi rasa syukur karena sudah sejauh ini. Namun, pikirannya masih diselimuti kekhawatiran tentang wawancara terakhir itu. ** Ketika Elaine tiba di mall, dia langsung ke restoran favorit mereka. Marissa sudah menunggu di sebuah meja. Dia melambaikan tangan dengan antusias saat melihat Elaine mendekat. "Ellie!" seru Marissa ketika Elaine duduk di depannya. “Ceritakan! Bagaimana wawancaranya?” tanyanya tak sabar ingin segera mendengar cerita seru Elaine. Tentu saja, daya tariknya adalah nama besar Morgan Group. Elaine tidak langsung menjawabnya, karena pada saat itu pelayan resto datang membawa dua gelas minuman dingin yang sudah Marissa pesan lebih dulu. “Ayo, ceritakan, El!” tuntut Marissa setelah pelayan pergi. Elaine tersenyum, tetapi ada sedikit rasa gugup yang terselip di dalamnya. “Wawancaranya lancar... dan aku baru tahu kalau wawancara terakhir nanti akan langsung sama CEO-nya.” Marissa membelalakkan mata. “Wow, CEO langsung? Ini kabar bagus, Ellie! Itu berarti kamu sudah sangat dekat dengan beasiswa itu!” Elaine mengangguk, mengaduk minumannya dengan perlahan. “Iya, tapi aku jadi agak khawatir setelah mendengar desas desus mengenai sang CEO yang katanya agak kejam. Riss, kamu tahu CEO Joseph Morgan itu seperti apa orangnya?” Marissa mengangkat bahunya sambil menyandarkan tubuh ke kursinya. “Katanya sih tampan, dan ya, kejam juga. Tapi aku sendiri belum pernah melihat dia langsung.” “Oh! Jadi benar?” Marissa menatap Elaine dengan senyum penuh arti. “Mungkin. Tapi abaikan saja soal sifat kejamnya, karena kamu pasti akan terhibur oleh ketampanannya yang konon membuat banyak wanita tergila-gila. Eh, jangan sampai kamu ikut menambah deretan wanita-wanita itu, ya!” Elaine mengangkat satu alis, sedikit geli mendengar kata-kata sahabatnya. “Aku tidak tertarik soal dia tampan atau tidak, Riss. Aku hanya ingin tahu, dia itu seperti apa. Sikapnya, perilakunya. Setidaknya dengan tahu sedikit soal kepribadiannya, aku bisa lebih siap mental untuk wawancara nanti.” Elaine menjelaskan sambil kembali mengaduk minumannya perlahan. Marissa mengangguk, lalu bersandar santai di kursinya. “Well, kalau soal sikap, katanya sih agak kejam. Salah satu rekan dokter kita yang gagal dapat beasiswa tahun kemarin cerita kalau wawancaranya itu seperti interogasi polisi. Tapi di luar itu, reputasinya sangat bersih. Tidak ada skandal, tidak ada gosip murahan, dan tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan mana pun. Dia salah satu CEO muda yang paling diidamkan, tapi rasanya seperti bintang di langit, susah dijangkau.” Elaine mendengarkan dengan serius, tapi kemudian bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Jadi... mungkin dia tipe pria dingin yang membuat wanita-wanita takut mendekat, ya? Atau... jangan-jangan dia penyuka sesama jenis?” tanya Elaine dengan nada bercanda, matanya menyipit sedikit nakal. Marissa langsung terbelalak, lalu tertawa sambil menggelengkan kepala. “Aduh, Ellie! Kamu jangan kejam begitu! Dia itu ‘dewa penolong’ kamu. Orang yang bisa bantu kamu jadi dokter spesialis bedah ortopedi. Jangan sampai kamu nge-judge sebelum bertemu langsung.” Elaine tertawa kecil, merasa lepas sejenak dari ketegangan. “Yah, aku cuma menduga-duga saja. Siapa tahu kan?” “Huss! Jangan menduga-duga sembarangan. Dosa namanya. Dan lagi, bagaimana kalau ujung-ujungnya kamu malah jatuh cinta sama dia?” “Yah, malah ngelantur.” Elaine memanyunkan bibirnya. Marissa tergelak, menepuk-nepuk tangan Elaine. “Hanya bercanda dengan harapan ini bisa kejadian, biar kamu tidak jomblo terus.” Ucap Marissa, yang langsung buru-buru disambungnya begitu melihat Elaine sudah membuka mulut untuk menanggapi. “Tapi serius, Ellie, kalau kamu bisa membuat kesan yang bagus di depan CEO Joseph Morgan, ini akan jadi langkah besar buat impianmu.” Elaine mendesah pelan, kembali merenungkan apa yang dikatakan Marissa. “Iya, aku tahu. Makanya aku harus siap. Aku tidak mau gagal di tahap ini. Terlepas dari rumor apapun tentang dia, mau lebih kejam dari kaisar Nero pun, aku hanya punya satu hal yang harus kulakukan, aku harus bisa menunjukkan kalau aku layak.” Marissa tersenyum sambil mengangkat kedua jempolnya. “Itu baru sahabatku, Elaine, sang sinar matahari. Aku yakin kamu pasti bisa, Ellie. Kamu sudah sampai sejauh ini, kamu pasti akan berhasil untuk tahap terakhir nanti.” Elaine tersenyum tipis, sedikit lebih tenang sekarang. “Mudah-mudahan, Riss. Mudah-mudahan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD