Selesai dari mall, Elaine pergi ke panti asuhan.
Bibi Dela sudah pulang kemarin, dengan kondisi semakin baik. Marissa tidak ikut karena harus menemani ponakannya yang masih balita, kakaknya mau ke acara pertemuan ibu-ibu persit.
Elaine mampir ke supermarket untuk membeli buah untuk ibu Della dan cemilan untuk anak-anak.
Elaine memarkir motornya di halaman panti.
Matanya langsung menangkap kerumunan kecil di depan pintu panti asuhan. Langkahnya terhenti, tubuhnya tegang melihat dua pria dan seorang wanita, serta dua orang pria berseragam, sedang berbicara dengan ibu Sarah, kepala panti asuhan.
Jantung Elaine berdegup cepat, firasat buruk langsung menyerangnya.
‘Apakah ini tentang tanah panti?’ pikirnya, hati mulai dipenuhi rasa takut. Ia mendekat perlahan, tak ingin mengganggu, namun telinganya cukup tajam untuk menangkap kata-kata petugas pengadilan itu.
“...para ahli waris telah memenangkan gugatan. Kami diberi mandat untuk menyampaikan bahwa lahan ini harus segera dikosongkan.”
Elaine tercekat. Tidak mungkin. Pikirannya langsung kalut. Dia menatap wajah Ibu Sarah yang tampak pucat, namun tetap tenang. Elaine mendekat, berusaha menenangkan tangannya yang gemetar.
“Ibu, kita bisa ajukan banding, kan?” Suaranya nyaris berbisik, namun dalam kegelisahan yang amat sangat. “Kita masih bisa melawan, mereka tidak bisa seenaknya begini.”
Ibu Sarah menoleh, senyumnya sedih namun penuh pengertian. “Elaine, sayang, di tingkat banding pun kita hampir pasti akan kalah. Mereka punya sertifikat asli, dan pengadilan sudah memutuskan,” katanya pelan.
Elaine merasakan kekosongan merayap ke dadanya. Kalau panti asuhan ini digusur, bagaimana nasib mereka semua ke depannya?
Dia menggigit bibir, mencoba meredakan gemuruh di dadanya. Pandangannya kemudian beralih ke salah satu pria yang berdiri dengan sikap angkuh di depan mereka. Pria itu menatap panti asuhan seolah-olah melihat properti usang yang bisa dengan mudah dihancurkan dan diganti dengan bangunan baru.
"Kalau ingin mempertahankan bangunan ini, kalian bayar saja lahan ini," kata pria itu akhirnya. "Lagi pula, ini sudah kami beri harga yang sangat murah mengingat lokasinya yang strategis."
Elaine mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. ‘Bayar?’ pikirnya geram. ‘Mereka benar-benar hanya memikirkan uang?’ Dia menatap pria itu tajam.
"Berapa harganya, Pak?" Elaine akhirnya memberanikan diri berbicara.
"Tiga ratus lima puluh juta," jawab pria itu tanpa ragu, seolah nominal itu sangat kecil. "Sangat murah, kan, untuk lahan seluas ini dan berada di jalan raya pula?"
Elaine terkejut. Tiga ratus lima puluh juta? Bagaimana mungkin panti asuhan ini bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Pikiran Elaine berkecamuk, memikirkan segala cara yang mungkin bisa dilakukan untuk menyelamatkan panti. Dia hendak berbicara lagi, mencoba melawan, namun tangan lembut Ibu Sarah meremas lengan Elaine, menahannya.
“Iya, Pak. Nanti kami akan berusaha,” kata Ibu Sarah dengan suara yang begitu tenang, meskipun Elaine tahu ada keputusasaan di dalamnya. “Tolong beri kami waktu.”
Petugas pengadilan mengangguk, lalu menyerahkan beberapa dokumen sebelum beranjak pergi.
Elaine menatap mereka dengan pandangan nanar, perasaan marah, putus asa, dan bingung campur aduk.
Begitu para tamu itu pergi, Elaine menghempaskan napas yang sejak tadi ditahannya. “Bagaimana, Bu? Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Ibu Sarah menarik napas panjang, lalu meraih tangan Elaine, menggenggamnya erat. “Kita akan berusaha, sayang. Mungkin masih ada jalan, entah bagaimana...”
Elaine terdiam. Kepedihan menghantamnya begitu kuat. Merasa tidak berdaya.
Ibu Sarah mengajak Elaine masuk. “Ayo masuk, Ellie. Jangan sampai anak-anak tahu apa yang terjadi, nanti mereka bingung dan sedih.”
Elaine mengangguk. Dengan langkah berat, dia berjalan ke dalam panti, di mana suara gelak tawa anak-anak terdengar. Suara itu sedikit mengangkat bebannya, memberi sedikit cahaya di tengah-tengah kekalutan hatinya. Anak-anak itu berlarian ke arahnya begitu melihatnya memasuki ruangan.
“Kak Ellie! Kak Ellie datang!” seru salah satu anak kecil sambil berlari dan memeluk pinggangnya.
“Iya, Kakak datang bawa cemilan buat kalian,” katanya sambil mengangkat tas belanjaan yang tadi ia beli dari supermarket.
Tawa anak-anak segera memenuhi ruangan, dan mereka mulai mengerubunginya, tak sabar menunggu cemilan yang ia bawa. Namun, perhatian Elaine teralihkan ketika dia melihat Bibi Dela duduk di sofa, tampak jauh lebih sehat dari terakhir kali dia melihatnya. Ada senyum lembut di wajah Bibi Dela, dan matanya berbinar melihat Elaine.
Elaine memberikan tas berisi cemilan di tangannya pada anak yang sudah lebih besar untuk membaginya dan dia sendiri berjalan menghampiri bibi Dela.
“Elaine, sayang, kamu datang,” kata Bibi Dela dengan suara penuh kehangatan.
Elaine berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya, meletakkan tas belanjaan di meja. “Iya, Bi. Aku senang melihat Bibi sudah lebih sehat.”
Bibi Dela tersenyum, mengangguk pelan. “Syukurlah, sedikit demi sedikit sudah lebih baik. Berkat doa dan bantuan kalian semua.”
Elaine menatap Bibi Dela sejenak, lalu kembali merasakan beban yang begitu besar. Semua pengurus panti, anak-anak ini, mereka semua bergantung pada tempat ini untuk bertahan hidup. Bagaimana nasib mereka nanti?
Namun, Elaine berusaha menahan kegundahannya. Dia tidak ingin membuat Bibi Dela tambah khawatir. Saat ini bukan saatnya membicarakan masalah tanah, bukan di hadapan anak-anak yang tengah tertawa bahagia.
“Aku juga bawa buah untuk Bibi,” kata Elaine sambil memberikan kantong berisi buah apel. “Semoga Bibi suka.”
Bibi Dela tertawa kecil. “Ah, tentu saja bibi suka. Terima kasih, sayang. Maaf bibi selalu merepotkan,”
“Ah, sama sekali tidak merepotkan, Bi. Aku yang jarang datang ke sini, jadi ketinggalan banyak informasi penting,”
“Sudahlah. Bibi mengerti kamu sibuk. Tidak usah terlalu membebani pikiranmu dengan semua hal di sini. Kami semua pasti akan baik-baik saja.”
Elaine hanya tersenyum dan mengangguk. Dalam hatinya, dia bertekad lebih kuat. Dia harus mendapatkan beasiswa itu, dan mulai menabung. Bagaimana pun, dia harus berusaha membantu.
Siang itu, tawa anak-anak di panti menjadi hiburan tersendiri bagi hati Elaine yang tengah dirundung kegelisahan. Dia masih berada di sana hingga sore menjelang, berbincang dengan bibi Dela dan bermain dengan anak-anak.
***
Malam itu, Elaine kembali mengalami sulit tidur. Bukan hanya karena wawancara besok, tetapi juga karena ada begitu banyak masalah yang mengganjal di pikirannya.
Jam tiga dini hari Elaine sudah bangun dan membaca-baca beberapa jurnal medis untuk persiapan wawancara dengan CEO Morgan Group yang mengingatnya saja Elaine sudah merasa tegang.
Yang Elaine ingat dari informasi yang Marissa sampaikan kemarin, Joseph Morgan sangat tegas dan seperti tipe perfeksionis. Dia yakin wawancara nanti akan menjadi pengalaman menegangkan, dan selain itu, dia penasaran, setampan apa sih Joseph Morgan itu?
Elaine mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dia harus berusaha keras agar berhasil menjadi salah satu penerima beasiswa dari Morgan Group tahun ini. Ini kesempatan terbaik untuknya.
Pagi hari.
Elaine melangkah memasuki lobi gedung Morgan Group dengan tenang. Dia sudah mempersiapkan diri dan siap untuk menghadapi tahapan terakhir ini. Hanya satu langkah lagi. Memikirkan ini, dia merasa sedikit gugup.
Yang datang baru Elaine seorang. Sepertinya dia datang terlalu awal, karena sangat bersemangat.
Setelah menunggu beberapa saat, seorang resepsionis mendekatinya dengan senyum profesional, "Dokter Wellis, CEO akan menemui Anda sekarang."
Elaine mengangguk, menenangkan diri dengan napas panjang sebelum berjalan mengikuti petunjuk resepsionis.
Lift yang membawanya ke lantai tertinggi gedung itu terasa lebih lambat dari biasanya, membuat perasaan tegang semakin meningkat.
Ketika pintu lift terbuka, Elaine disambut oleh seorang asisten, seorang wanita cantik, yang menyapanya ramah.
"Selamat pagi, dokter Elaine Wellis!"
“Selamat pagi, Mbak!” Balas Elaine tak kalah ramah, sangat terkesan dengan sambutan hangat ini.
"CEO sudah menunggu Anda. Silakan langsung ke ruangannya.“ kata asisten menunjuk pintu besar yang berada diujung koridor, itu adalah ruangan CEO.
Elaine mengangguk dan mengucap terima kasih sebelum melangkah menuju ke ruangan dimaksud. Dia mengetuk pintu kayu hitam lebar dan tinggi itu. Dia berusaha menenangkan dadanya yang berdebar hebat, membayangkan seperti apa sosok CEO yang menakutkan itu.
Tidak ada suara jawaban dari dalam ruangan. Elaine memutar handel pintu dan mendorongnya perlahan. Dia melangkah pelan masuk ke ruangan itu dan menutup pintu di belakangnya dengan perlahan pula, menghindari suara gaduh.
“Selamat pagi. Maaf, saya Elaine Wellis, calon penerima beasiswa, datang untuk tes wawancara.” Ujar Elaine perlahan, memperkenalkan diri.
Lalu, pandangannya terhenti pada sosok pria yang berdiri di dekat jendela, membelakanginya. Elain merasa mengenali sosok yang hanya dia lihat dari samping itu.
Pria itu berbalik dengan langkah tenang, dan saat mata mereka bertemu, Elaine langsung merasakan gelombang kejut yang tak terlukiskan.