Bab 23 Direndahkan

1010 Words
Rivan memicingkan matanya. "Obrolan apa yang kalian maksud?" "Bukan apa-apa," sahutku cepat. "Sepertinya ada yang aneh darimu hari ini." Rivan mengusap-usap dagunya. "Aku sungguh tidak mendengar obrolan kalian. Yang ku dengar hanya saat kamu mengatakan, yang pakai baju merah muda itu teman sekelasku." "Syukurlah." Tanpa sadar kalimat itu meluncur begitu saja, membuat aku segera menutup mulutku. "Aku jadi semakin curiga. Apa ada sesuatu?" terka Rivan. "Tidak ada, Kak." Aku menyakinkan sekali lagi. "Baiklah-baiklah. Jika kamu tidak mau cerita, aku tidak akan memaksamu." Rivan berbalik dan meninggalkanku. Aku bingung, apa aku harus berkata pada Rivan bahwa Dahlia menyukainya? Tapi untuk apa aku memberitahunya. Atau aku harus mengatakan bahwa Dahlia mengancamku, ah bukan mengancam, lebih tepatnya ia mengejekku. Tapi untuk apa juga aku menceritakan hal itu, rasanya seperti anak kecil yang mengadu pada orang tuanya saja karena bertengkar dengan teman sebayanya. Aku sudah dewasa bukan lagi anak kecil. Rivan menghampiri Brian lebih dulu, baru terihat keluar dari kedai kopi. Aku melihatnya sampai masuk ke mobilnya, dari dalam kedai kopi tentunya. Karena masih sore, tempat ini belum begitu ramai. Aku pun membuat minuman untukku sendiri dan bergabung dengan Brian duduk di meja salah satu pelanggan. Aku meminum cappucinoku lebih dulu. "Kak, kenapa Kak Brian tidak bekerja saja? Kenapa memilih membuka usaha?" "Entahlah, Fal. Sepertinya aku tidak cocok bekerja. Aku orang yang sulit diatur." Brian tertawa setelah menjawab pertanyaanku. Aku mengangguk-angguk dan turut tertawa kecil. "Kelihatan, sih," selorohku. Aku memang melihat Brian orang yang keras. "Memangnya orang tua Kak Brian mengizinkan?" "Awalnya mereka tidak mendukung keputusanku untuk membuka kedai kopi. Menurut mereka percuma saja aku berkuliah dan lulus cumlaude. Padahal tidak ada yang percuma, aku mendapat ilmu dan bisa menerapkannya dalam usahaku. Aku dan Rivan alumni fakultasmu. Program studi ilmu bisnis. Rivan melanjutkan sampai S2 karena dia memang bercita-cita menjadi dosen." "Lalu akhirnya kedua orang tua Kakak setuju? Aku juga bercita-cita membuka usaha seperti Kak Brian." Aku kembali meminum cappucinoku. "Aku ingin membuka toko kue dan cokelat." "Orang tuaku setuju dan mendukungku pada akhirnya. Itu cita-cita yang hebat, Falisha!" puji Brian. "Bagaimana jika kamu membuka usahamu di sebelahku?" canda Brian. "Namun sepertinya aku harus bekerja dulu, Kak. Aku harus mengumpulkan modal yang banyak, pasti tidak sedikit yang yang dibutuhkan." "Kamu benar. Bahkan uang tabunganku benar-benar habis tak tersisa untuk membuat kedai kopi impianku ini. Aku juga sempat meminta bantuan orang tuaku. Aku do'akan kamu bisa mewujudkan toko impianmu, Falisha." Aku mengaminkan do'a Brian dan berterima kasih. Brian kembali melanjutkan ceritanya. "Awalnya teman-temanku pun memandang rendah pada usaha ini, hanya Rivan yang mendukungku. Dia memang teman yang baik." Aku menyetujuinya. "Semoga usaha kakak semakin sukses dan dapat membuka cabang di seluruh Indonesia." Brian malah kembali menertawai ucapanku. "Kamu lucu, Falisha." Aku teringat kata-kata yang sama seperti yang Brian ucapkan, dari seseorang. Ya, Arsalan, laki-laki itu sudah benar-benar tidak menghubungiku. "Aku tidak terpikir sejauh itu. Mengurus satu kedai saja rasanya melelahkan, namun jika suatu saat aku bisa membuka banyak cabang, berarti do'amu terkabulkan dan aku berterima kasih." *** Minggu pagi, satu jam lagi jadwalku mengajar Dito. Aku bersiap-siap menyiapkan semua yang aku perlukan hari ini. Jadwalnya matematika, mata pelajaran kesukaanku. Walaupun hanya tingkat Sekolah Dasar, aku tidak boleh menyepelekannya. Aku bahkan sampai menonton video mengenai cara-cara efektif dalam menyelesaikan soal. "Hai Dito!" Aku menyapa anak kecil itu saat dia membukakan pintu. "Hai, Kak Falisha. Yuk masuk!" ajak Dito dan menarik tanganku. Kami sampai di kamar Dito. "Mama kemana?" tanyaku, karena sejak tadi tidak melihat Bu Dea. "Masih di pasar, Kak. Tadi berangkatnya kesiangan." Dito menjawab dengan jelas untuk ukuran anak kelas tiga Sekolah Dasar. Saat aku hendak menutup pintu, aku dikejutkan keberadaan Pak Bagas, ayah dari Dito. Aku menunduk sopan dan kembali melanjutkan niatku menutup pintu. Anehnya Pak Bagas malah menahan pintu dengan kakinya, kemudian mengusap-usap pundakku. "Ajari Dito dengan benar ya." Jujur aku risih, padahal sebelumnya Pak Bagas sama sekali seperti tidak menganggap keberadaanku. Lalu tiba-tiba seperti ini, jika ada Bu Dea, pasti akan ada salah paham. "Iya, Pak." Aku segera menyingkirkan tangannya dari pundakku dan menutup pintu. Akhirnya sesi mengajar Dito sudah berakhir. Aku dan Dito ke luar dari kamar bersamaan. Bu Dea terlihat sedang sibuk di dapur. Beliau menghampiriku dan memberi rantang berisi makanan. "Ini aku buat lebih. Dimakan ya, Fal?" "Tidak perlu repot-repot, Bu." Aku belum menerima pemberian Bu Dea. "Tidak repot kok. Ini memang aku membuat lebih banyak. Diterima ya?" bujuk Bu Dea. "Baik, saya terima, Bu. Terima kasih banyak." Aku pun mengambil rantang itu dari tangan Bu Dea. "Saya permisi dulu, Bu. Assalamu'alaikum." Aku melewati teras depan dan ada Pak Bagas duduk disana. "Permisi, Pak." Bagaimanapun dia orang tua Dito, aku harus bersikap sopan. Namun Pak Bagas malah mencekal tanganku. "Kamu tidak mau menemaniku dulu?" "Lepas, Pak." Aku menengok ke belakang takut tiba-tiba Bu Dea keluar dan berpikir yang tidak-tidak. "Kenapa? Kamu takut istriku melihat? Bagaimana jika kita ke tempat yang dia tidak bisa melihatnya?" rayu Pak Bagas. Aku ingin menamparnya saat ini juga, namun jika aku melakukannya, aku harus siap kehilangan pekerjaanku menjadi guru les Dito. Sedangkan belum ada orang tua lain yang menghubungiku untuk mencari guru les untuk anaknya. "Pak, istighfar, Pak!" Aku segera menghempaskan cekalan tangannya padaku dan pergi meninggalkan begitu saja. Aku ingin cepat-cepat sampai kos dan menangis disana. Apa aku terlihat begitu rendah? Sampai-sampai Pak Bagas menawariku hal hina seperti itu? Sesampainya di kos aku menaruh rantang pemberian Bu Dea. Ibu dari Dito begitu baik padaku, namun kenapa suaminya bersikap kebalikannya. Padahal Pak Bagas selama ini bersikap acuh padaku, namun tiba-tiba menyapa dan merayuku seperti tadi. Dia pasti sudah hilang akal. Bu Dea cantik dan bisa merawat tubuhnya, ditambah memiliki hati yang baik. Rasanya kurang ajar jika Pak Bagas malah merayu perempuan lain. Aku jadi berpikiran buruk, bahwa di luar sana dia telah merayu perempuan lain selain aku. Walaupun ini bukan urusanku, tapi jika Pak Bagas memang berselingkuh, aku merasa iba pada Bu Dea dan Dito. Apa kebanyakan laki-laki seperti itu? Bapakku dan Pak Bagas, sepertinya keduanya sama saja. Pak Rahman tidak bertanggung jawab dan Pak Bagas tidak bersyukur. Lama-lama aku jadi malas berhubungan dengan mahkluk yang bernama laki-laki. Apa aku hidup sendiri saja seterusnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD