"Kamu tidak mengerti! Aku tidak mau dijodohkan, Brian." Terlihat Rivan mengacak-acak rambutnya.
"Lalu bagaimana lagi? Kamu temui saja dulu calon istrimu," saran Brian. "Belum juga bertemu sudah menolak." Brian berdecak.
Aku yang baru saja tiba pun tidak mengerti situasi apa yang sedang terjadi saat ini. Tadi aku berniat tidur siang sebentar sebelum jadwal kerjaku di kedai kopi, malah jadi terlambat kemari. Ya, walaupun terlambat hanya 20 menit dan Brian tidak mungkin memecatku.
Brian dan Rivan menghentikan perdebatan mereka saat menyadari kehadiranku. Aku menatap Brian penuh tanda tanya, berbicara dengan mataku menanyakan apa yang sedang terjadi.
"Tidak apa-apa, Fal." Brian sepertinya mengerti kodeku.
Aku melihat pada Rivan, mukanya terlihat kusut seperti sedang memiliki masalah. Aku sungkan untuk bertanya padanya. Akhirnya aku berusaha mengabaikannya dan mulai bekerja.
Sudah satu jam, dan Rivan belum mau beranjak dari kursinya. Sore ini cukup ramai dan semua pengunjung sudah mendapat pesanannya masing-masing. Akhirnya aku mendekati Rivan untuk menanyakan keadaannya. "Apa Kak Rivan ada masalah?"
Rivan mengusap wajahnya kasar. "Aku akan dijodohkan," jawabnya.
Rivan berumur 28 tahun yang aku tahu. Mungkin menurut orang tuanya sudah umur yang matang untuk berumah tangga, namun Rivan menolak dijodohkan, dia ingin mendapat pilihannya sendiri.
"Kak, menurutku tidak ada salahnya saling mengenal dulu. Siapa tahu setelah mengenal kalian cocok? Jangan langsung menolak. Pikirkan perasaan orang tua Kakak juga."
Bisa-bisanya aku memberi nasihat pada dosenku sendiri. Tapi ini kan bukan di kampus, berarti saat ini statusku adalah temannya.
"Ini saranku sebagai teman." Buru-buru aku melanjutkan sebelum Rivan berkomentar.
Rivan menyandarkan badannya di kursi dan menatapku. "Ya, kamu benar. Tapi aku sudah jatuh cinta pada perempuan lain."
"Kalau begitu, beri penjelasan baik-baik pada orang tua Kak Rivan. Aku yakin mere--"
"Aku sudah mencobanya," potong Rivan. "Mereka tetap tidak mau menerima pilihanku, karena gadis yang aku sukai masih berkuliah."
"Memangnya jika masih berkuliah tidak boleh menikah? Jika pacar Kak Rivan bersedia--"
"Masalahnya dia juga bukan pacarku." Rivan memotong ucapanku lagi.
Aku jadi ikut pusing sendiri, jadi apa maunya Rivan ini?
"Gadis yang aku sukai ada di depanku."
Refleks aku menoleh ke kanan dan kiri, bahkan memutar badanku untuk melihat apakah ada seseorang di belakangku. Tapi hanya ada aku di depannya. Aku menatap Rivan. Kenapa aku tidak sadar bahwa dia membicarakan aku?
"Kak ... tapi aku--"
"Ya, aku tahu. Kamu tidak menyukaiku kan? Tidak apa-apa, Falisha." Ketiga kalinya Rivan memotong kalimatku. Sepertinya dia gemar memotong pembicaraan, pasti dia pendebat yang hebat.
"Maafkan aku, Kak. Aku menganggap Kak Rivan dan Kak Brian sebagai Kakakku," ujarku lemah.
"Sepertinya aku memang harus menerima perjodohan ini."
"Aku yakin dia perempuan baik dan beruntung, karena mendapatkan Kak Rivan. Aku mendo'akan yang terbaik untuk Kakak." Aku berdo'a dengan tulus. Tidak terselip sama sekali rasa kecewa atau cemburu.
Ponselku berdering ada panggilan masuk dari Ardan. Apa dia baru ingat padaku? Aku pun mengangkatnya, dia berkata ada di depan kosku. Aku memang pernah memberi alamat padanya. Akhirnya aku mengatakan padanya untuk datang ke Kedai Kopi Temukan Cinta.
Tak berselang lama Ardan benar-benar menghampiriku kemari.
"Kak Ardan!" Aku pun menyapa dan langsung menghampirinya.
"Kamu bekerja disini?" tanya Ardan.
"Iya, Kak. Silahkan duduk." Aku mempersilahkan Ardan duduk di salah satu kursi yang kosong. "Mau pesan apa, Kak? Aku traktir." Aku menyombongkan diri, yang membuat Ardan tertawa.
Aku memang sudah akrab dengan Ardan, mau bagaimana lagi, kami satu SMA dan juga Ardan serta ibunya sangat baik padaku. Ternyata keakrabanku dengan Ardan membuat Rivan cemburu. Dia melewati kami tanpa berbicara sepatah katapun.
Aku berbincang dengan Ardan dan meninggalkannya jika ada pengunjung datang, kemudian kembali duduk dengannya. Andai saja aku libur, sudah pasti aku akan bercerita banyak padanya seputar perkuliahanku.
"Kak, apa Kak Ardan sudah bertemu Lili?"
"Lili ... temanmu itu?"
Aku mengangguk cepat. "Sepertinya aku pernah beberapa kali melihatnya. Aku tidak tahu bahwa dia berkuliah di kampus yang sama denganku."
"Kakak tidak pernah menyapa atau mengobrol dengannya?"
Ardan menggeleng. "Dia malah kelihatan menghindar jika melihatku. Memangnya aku hantu?"
"Dia sedang salah tingkah, tahu! Lili menyukai Kakak."
Sejurus dengan ucapanku, Ardan tersedak saat sedang meminum kopinya. Dia terbatuk-batuk karena terkejut.
"Temanmu menyukaiku?"
"Sudah aku katakan saat perpisahan, bahwa dia cemburu. Kak Ardan memang tidak peka sama sekali!" cebikku.
"Mana aku tahu, kamu tidak mengatakannya dengan jelas."
"Apa Kakak juga menyukai Lili?"
Belum sempat aku mendengar jawaban Ardan, sudah ada pelanggan yang memanggil untuk memberikan pesanan. Ardan menghampiriku dan pamit pulang, katanya dia di telepon ada sesuatu yang penting. Akhirnya kami pun berpisah.
Sebenarnya aku penasaran apa yang terjadi sampai Ardan terlihat panik dan terburu-buru. Namun aku tidak sempat menanyakannya karena sedang sibuk, dan Ardan langsung berlari begitu saja. Semoga tidak terjadi hal buruk, harapku dalam hati.
***
Tanpa terasa genap 3 bulan aku berkuliah. Hari Jum'at ini aku izin pada Brian untuk libur. Untung Brian baik padaku, aku bisa mengambil hari libur kapan pun, yang terpenting hanya satu kali dalam seminggu.
Selesai mata kuliah terakhir, aku langsung bergegas untuk pulang ke rumah Nenek Ana. Aku rindu rumah itu. Aku juga merindukan sosok uang ada disana, namun sudah tidak dapat aku dekap lagi sekarang.
1 jam 30 menit perjalanan, akhirnya aku sampai di rumah nenekku. Tanpa menunggu lama, aku mulai membersihkannya. Dimulai dari menyapu halaman rumah.
Hampir satu jam aku beres-beres, kini waktunya meluruskan kakiku. Rasanya cukup melelahkan membereskan rumah seorang diri. Jika Nenek Ana masih ada, beliau pasti akan kesepian, aku berkuliah meninggalkannya dan jarang pulang. Belum lagi beliau harus membereskan rumah dan berjualan kue bagelen. Mungkin ini salah satu alasan mengapa Allah mengistirahatkan Nenek Ana.
Aku berniat menghubungi Lili, belum sempat aku menekan tombol panggil, sudah ada panggilan masuk lebih dulu, dari Ardan. Aku baru ingat tempo hari dia seperti orang yang sedang terburu-buru. Ardan memberi kabar yang membuatku panik seketika. Bu Puja kecelakaan, itu sebabnya dia buru-buru pulang waktu itu.
"Ibuku kecelakaan, Fal. Dia ingin bertemu denganmu," ujar Ardan.
"Dimana Bu Puja sekarang? Apa beliau baik-baik saja? Aku kesana sekarang, Kak!" jawabku panik.
"Sudah lebih baik, Fal. Ibuku sudah pulang dari rumah sakit."
Aku menanyakan keberadaan Bu Puja dan bagaimana kondisinya. Dan berucap syukur ketika Ardan menjawab bahwa ibunya baik-baik saja, dan kini sudah ada di rumah. Aku pun segera menutup telepon dan bersiap menuju rumah Bu Puja.