Aku memencet bel berkali-kali dan menunggu dengan gelisah. Tak lama berselang Ardan akhirnya membukakan pintu. Aku segera menerobos masuk.
"Santai, Falisha. Ibuku baik-baik saja." Ardan mengekor di belakangku yang berjalan cepat.
Aku melihat Bu Puja sedang menonton televisi. Ku lihat pelipisnya terluka dan satu tangannya diperban. Aku pun segera memeluknya. "Ibu tidak apa-apa? Bagaimana hal ini bisa terjadi?"
"Tidak apa-apa, Fal. Seperti yang kamu lihat, hanya luka kecil." Bu Puja mengurai pelukannya. "Ibu ingin menyeberang karena tidak hati-hati jadi terserempet oleh mobil yang melintas, kemudian terjatuh dan terbentur aspal."
"Allah masih melindungi Ibuku." Ardan menimpali.
"Syukurlah. Lalu bagaimana dengan pengemudi mobil itu?"
"Dia berhenti dan membawa Ibu ke rumah sakit."
"Untung saja dia mau bertanggung jawab ... tidak seperti orang yang menabrak Nenek Ana."
Aku jadi teringat Nenek Ana. Beliau harus kehilangan nyawa akibat tertabrak mobil. Parahnya pengemudi mobil tersebut malah kabur. Andai saja dia langsung menolong nenekku itu, mungkin saja nyawanya bisa diselamatkan, minimal telah mendapat pertolongan walau hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Dimana hati nurani orang yang menabrak Nenek Ana?
Setelah puas berbincang dengan Bu Puja, aku diajak Ardan jalan-jalan. "Falisha mumpung kamu pulang, jalan-jalan yuk!" ajaknya.
"Tidak, Kak. Aku ingin disini saja bersama Bu Puja," tolakku halus.
"Ibu tidak apa-apa, Fal. Kamu pergi saja jalan-jalan dengan Ardan. Besok pagi kamu harus kembali kan?"
"Iya, Bu. Besok ada jadwal mangajar les privat dan kerja paruh waktu."
Bu Puja menangkupkan kedua tangannya pada wajahku. "Kamu anak yang gigih dan pantang menyerah. Ibu bangga padamu."
Ardan terus saja membujukku untuk jalan-jalan, merengek seperti anak kecil. Akhirnya ku turuti permintaannya. Ardan mengajakku ke Shopping Center, katanya dia ingin membelanjakanku beberapa baju.
Ardan berkomentar. "Aku bosan melihatmu memakai baju itu-itu saja."
"Kenapa jadi Kak Ardan yang protes? Toh aku yang memakainya," gerutuku.
"Sudah pilih saja! Jangan kebanyakan protes!" perintah Ardan.
Aku pun memilih-milih beberapa baju dan rok yang ada disini. Kalau boleh aku menawar, sepertinya lebih baik aku minta uangnya saja. Aku tertawa dalam hati, bisa-bisanya aku terpikir seperti itu. Rasanya sayang sekali uangnya dibelanjakan untuk membeli baju-baju ini, padahal pakaian yang aku miliki masih layak dipakai.
"Kenapa kamu tertawa-tawa sendiri seperti itu? Jangan-jangan kamu kesurupan?" tuduh Ardan, aneh-aneh saja.
"Aku senang memiliki seorang Kakak yang perhatian padaku. Apa tidak boleh?" sahutku tanpa menoleh pada Ardan.
Dijawab seperti itu malah Ardan senyum-senyum, dan kemudian langsung merubah ekspresinya karena aku melihat padanya. "Cepat pilih, Falisha. Kakiku pegal."
Pilihanku jatuh pada kemeja panjang berwarna cokelat muda, rok panjang hitam, dan jilbab motif bercorak bunga.
"Sudah, nih." Aku menunjukkan shopping bagku pada Ardan.
"Dari tadi kamu hanya dapat segitu?" protes Ardan. "Aku akan dikira Kakak yang pelit jika membelanjakan hanya ini saja."
"Bagiku ini sudah cukup, Kak."
Ardan merebut shopping bag ku dan memasukkan pakaian lagi. "Kak!" pekikku agar Ardan berhenti.
"Aku akan pilih 1 stel lagi. Jangan semuanya, please." Aku memohon agar Ardan menghentikan memasukkan pakaian itu sesukanya.
"Nah, gitu dong." Senyum terbit dari bibir Ardan karena dia berhasil menang lagi dariku.
Ardan membayar semua belanjaanku, aku sebenarnya tidak enak hati karena dia dan ibunya begitu baik dan perhatian. Sedangkan aku belum bisa membalas apa-apa pada mereka. Aku hanya bisa mendo'akan kebaikan untuk mereka berdua.
Kami sampai di parkiran bersiap untuk pulang, namun ponselku bergetar tanpa ada pesan masuk. Aku membukanya dan ternyata dari Lili.
"Aku tidak menyangka kamu teman seperti itu. Apa kamu bahagia bisa berjalan-jalan dan berduaan dengan orang yang aku sukai?"
Aku menutup mulutku dan melihat sekitar, mencari keberadaan Lili. Dia pasti ada disini. Jika tidak, dari mana dia tahu aku sedang bersama Ardan.
Melihatku seperti orang kebingungan, Ardan pun bertanya. "Kamu mencari apa?"
"Lili, Kak. Dia ada disini, Lili melihatku dan Kak Ardan. Dia salah paham padaku." Aku berusaha menelepon Lili berkali-kali, namun terus saja ditolak. "Bagaimana ini, Kak? Lili pasti marah padaku."
"Kenapa dia marah?"
Ardan benar-benar tidak peka sama sekali, padahal sudah ku beri tahu tempo hari. "Sudah aku katakan, temanku menyukai Kakak. Dan sekarang dia melihatku bersama Kak Ardan." Aku menunjukkan pesan yang Lili kirim.
"Jika dia benar temanmu, seharusnya dia tahu bagaimana hubungan kita. Aku sudah tidak menyukaimu seperti waktu kita SMA dulu. Sekarang aku menyayangimu seperti adik perempuanku sendiri."
"Aku tahu itu, Kak. Tapi sepertinya Lili masih belum mengerti. Dia salah paham. Bagaimana ini, Kak? Aku takut dia benar-benar marah padaku."
"Bagaimana kalau aku antar kamu ke rumahnya untuk menjelaskan semuanya?" anjur Ardan.
"Iya, Kak. Antarkan aku ke rumah Lili."
Aku dan Ardan pun segera masuk ke mobil untuk menuju rumah Lili. Dalam perjalanan aku gelisah sekali, bagaimana jika Lili marah dan tidak mau lagi berteman denganku? Pikiranku sudah sejauh itu.
Ardan seperti bisa membaca pikiranku saja, dia menenangkanku. "Tenanglah, Fal. Lili tidak akan marah, aku akan bantu jelaskan."
Aku hanya menyahut ucapan Ardan dengan anggukan dan terus aja memainkan ujung kemejaku.
***
Kami sudah sampai di rumah Lili. Masalahnya Lili masih di Shopping Center atau sudah pulang? Jika dia belum pulang itu artinya kami harus menunggu.
Aku pun turun lebih dulu untuk memastikan. Mengucap salam berkali-kali seraya menekan bel. Terlihat Lili muncul dengan raut wajah tidak bersahabat.
"Mau apa kamu kemari?" tanya Lili dengan nada dingin.
"Li, aku bisa jelaskan."
"Masuklah dulu. Tidak enak mengobrol di gerbang." Lili berbalik dan duduk bangku yang ada di teras rumahnya.
Aku duduk di samping Lili, dengan memutar badanku lebih condong padanya. "Maafkan aku, Li. Ini hanya salah paham."
"Salah paham bagaimana? Aku jelas-jelas melihatmu dan Ardan berduaan."
"Tapi kan kamu hubungan kami tidak seperti itu," elakku hampir putus asa.
Dimana Ardan? Dia bilang akan membantuku menjelaskan pada Lili, namun dia belum juga turun dari mobil bahkan menghampiriku.
"Memangnya hubungan kalian bagaimana?"
"Aku dan Ardan sudah seperti kakak-beradik, Li. Kamu tahu sejak SMA aku menyukai siapa, kan?"
"Ya, Arsalan Daffa."
"Terus kenapa kamu masih marah padaku jika tahu siapa orang yang aku sukai?"
"Aku tidak marah."
Ucapan Lili barusan membuat keningku berkerut dalam. "Apa maksudmu?"
Lili memintaku menoleh ke belakang dengan mengangkat wajahnya. Aku pun mengikuti kemana mata Lili memandang dengan memutar badan. Ardan muncul di belakangku dengan membawa kue ulang tahun dengan lilin angka 19 tahun dan bertuliskan Happy Birthday Falisha.
Aku kembali menatap Lili, dia tergelak puas sekali. Ternyata Ardan dan Lili mengerjaiku.
"Selamat ulang tahun, Falisha!" Lili bangkit dan memelukku.
"Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy birthday to you." Ardan menyanyikan lagu ulang tahun dan membawakan black forest mendekat padaku.
"Make a wish!" seru Lili.
Sebelum meniup lilin, aku membuat harapan-harapan yang entah akan terwujud atau tidak. Namun aku tetap berharap semuanya dapat terwujud suatu hari nanti.
"Terima kasih, Lili, Kak Ardan." Aku begitu terharu sampai menitikkan air mata. Bahkan aku lupa bahwa hari ini hari ulang tahunku. 11 Desember, tanggal saat aku terlahir ke dunia ini. Setelah orang tuaku berpisah, tidak ada lagi yang mengingat ulang tahunku. Karena kedua orang tuaku yang selalu mengistimewakan hari itu sudah tidak bersama lagi.