Bab 21 Kerja Paruh Waktu

1223 Words
Beberapa hari kemudian, aku mendapat kabar dari Rivan bahwa kebetulan temannya butuh satu karyawan lagi. Sore ini, aku dan Rivan pun berjanji bertemu di kedai kopi milik temannya. Rivan sudah memberiku alamat kedai kopinya melalui pesan teks. Jaraknya dari tempat kosku memakan waktu 25 menit menunggunakan angkutan umum, sepertinya jika menggunakan sepeda motor akan lebih cepat. Aku lebih dulu sampai, dan bertemu dengan teman Rivan, namanya Brian. Aku memperkenalkan diri lebih dulu, dan Brian menyambutku dengan baik. “Untuk jadwal pagi sampai sore sudah ada yang mengisi. Kebetulan aku membutuhkan untuk jadwal sore sampai malam. Apa kamu tidak keberatan? Kamu kan perempuan?” Brian memastikan keteserdiaanku. “Tidak apa-apa, Pak. Aku butuh pekerjaan ini.” Aku menyanggupi. “Panggil Kakak saja. Aku masih muda tahu,” canda Brian. Aku pun terkekeh mendengarnya. “Baik, Kak Brian.” “Kamu memanggilku Bapak, sedangkan memanggil temanku Kakak? Apakah aku setua itu, Falisha?” Rivan baru saja tiba dan langsung melayangkan protes. “Pak Rivan kan dosen saya,” jawabku santai. “Itu berlaku jika di kampus, ini di luar kampus, Fal. Jangan terlalu formal padaku.” Rivan turut duduk bergabung dengan aku dan Brian. “Bagaimana, Bri? Apa kamu menerima dia kerja disini?” Rivan menatap padaku. “Siapa namamu? Fa? Fal?” “Fa-li-sha, Pak.” Aku mengeja namaku dengan lugas. Ketiga kalinya aku memberitahu namaku pada Rivan. “Ya, aku terima saja asal Falisha tidak keberatan pulang malam. Sebenarnya aku ingin mencari laki-laki, namun Falisha menyanggupi dan katanya dia membutuhkan pekerjaan ini.” “Kalau boleh aku tahu, mulai pukul berapa dia mulai bekerja dan pukul berapa dia selesai?” Brian berdecak. “Kenapa jadi kamu yang memawancarai aku.” “Karena dia mahasisiwiku.” Rivan merebut kopi Brian lalu meminumnya. Aku menahan tawa melihat Rivan dan Brian berdebat. “Falisha, kamu mulai bekerja pukul empat sore sampai jam sembilan malam. Sebenarnya kedai ini tutup pukul sepuluh malam, tapi biar aku saja nanti yang melanjutkannya. Sepertinya pukul sepuluh malam terlalu larut untukmu.” “Aku tidak apa-apa, Kak, jika harus sampai—” “Oke. Deal. Sampai jam 9 malam. Aku setuju.” Rivan memotong ucapanku. Aku menengok pada Rivan, kenapa jadi dia yang seakan memutuskan. “Kamu seperti juru bicaranya saja,” protes Brian pada Rivan. Aku pun sangat berterima kasih pada Brian karena telah memberiku pekerjaan. Dan tentunya pada Rivan yang menjadi perantara sampai akhirnya aku bisa mendapat pekerjaan ini. Setidaknya aku tidak lagi risau memikirkan biaya kos dan makanku sehari-hari. Kini tinggal bagaimana aku mengaturnya. Aku harus pandai-pandai mengatur waktu dan tentunya keuanganku. Membagi waktu antara tugas kuliah, mengajar les, dan kerja paruh waktu. Rivan menawariku untuk diantar pulang, namun aku menolak halus tawarannya. “Terima kasih, Pak, eh maksudku Kak Rivan. Aku bisa pulang sendiri.” Untungnya Rivan tidak memaksaku atau memang dia hanya sekadar berbasa-basi. “Baiklah. Hati-hati di jalan ya. Aku duluan.” Rivan mengucap salam kemudian menuju mobilnya yang terparkir di depan kedai. Aku membaca dalam hati nama kedai kopi yang akan menjadi tempat kerjaku sekali lagi. “Kedai Kopi Temukan Cinta.” Brian sempat menjelaskan alasannya mengapa dia menamai kedainya dengan nama Temukan Cinta. Dia berharap orang-orang yang berkunjung di kedai kopinya dalam menemukan cinta mereka, entah disini atau di tempat lain. “Terkadang kita perlu menemukan cinta, bukan hanya terus menunggunya.” Kurang lebih seperti itu ucapan Brian yang aku tangkap. *** Sudah sekitar satu minggu aku bekerja di kedai kopi milik Brian. Semakin malam, kedai kopinya semakin ramai. Sebagian besar pengunjungnya laki-laki, namun ada juga yang berpasangan. Sepuluh menit lagi sudah waktunya aku pulang, namun melihat kedainya sedang ramai, dan mengurungkan niatku. Aku membantu Brian sampai waktu menunjukkan pukul 21.30 padahal dia terus saja menyuruhku untuk segera pulang. “Sudah malam, Fal. Aku bisa menanganinya sendiri. Pulanglah,” perintah Brian sejak setengah jam yang lalu. Namun aku tetap pada pendirianku untuk tetap disini membantunya. “Tidak apa-apa, Kak. Sebentar lagi, aku mengantarkan ini dulu.” Aku meraih nampan dan mengantarkan ke meja nomor lima. “Silahkan.” Belum sempat aku berbalik, tanganku di pegang oleh salah satu laki-laki yang duduk. “Tunggu dulu. Temani kami dulu sebentar, Cantik.” Laki-laki itu mengedipkan mata, dan kedua temannya malah menertawakan. “Lepas!” ucapku tegas dan memberikan tatapan dingin padanya, namun dia belum juga mau melepaskannya. “Lepaskan tanganmu!” tegur Brian. “Jangan menganggu pegawaiku.” Laki-laki itu pun langsung melepaskan tanganku dan meminta maaf. “Santai, Bang. Maaf ya, Cantik.” Akhirnya Brian benar-benar mendesakku untuk segera pulang, karena khawatir terjadi apa-apa jika pulang terlalu larut. Aku pun menurutinya dan pamit pulang. Sepertinya malam ini bukan malam keberuntunganku, ojek online yang sedari tadi aku pesan terus saja mencancel orderanku. Bagaimana aku bisa pulang jika seperti ini terus? Aku tidak mungkin menelepon Ardan, butuh waktu dua jam untuknya kemari. Akhirnya aku memutuskan untuk jalan menjauh dari kedai kopi, aku pikir akan segera mendapat ojek online jika bukan di kedai, namun tetap saja belum ada yang menyangkut. Satu mobil berhenti tepat di depanku. Tiga orang laki-laki yang tadi di kedai kopi tadi menghampiriku. “Hai, Cantik. Mau pulang? Ayo kami antar,” tawarnya, yang tentu saja aku balas dengan gelengan. Aku memundurkan langkahku. Sungguh aku takut sekali. Untungnya ada satu motor yang berhenti tepat di belakang mobil mereka. Sang pengandara motor melepaskan helm full facenya, sehingga aku bisa melihat siapa dia. Dia Rivan. “Menjauh dari pacarku!’ seru Rivan, yang membuat aku menatapnya penuh tanda tanya. “Santai bung, kami tidak tahu dia sudah memiliki kekasih,” sahut salah satu dari mereka. Kemudian tanpa permisi berbalik dan masuk ke dalam mobil. Saat mobil itu melaju aku bernapas lega dan mengelus dadaku. Rivan berjalan mendekatiku. “Kenapa kamu belum pulang juga? Ini sudah jam sepuluh lebih.” “Aku ingin pulang, Kak. Tapi ojek online yang aku pesan belum satu pun yang ada menerima orderanku. Sepertinya karena sudah terlalu malam dan posisi mereka jauh dari sini.” Aku bahkan sampai menunjukkan ponselku pada Rivan. “Kalau begitu aku yang akan mengantarmu pulang.” Aku pun tidak punya pilihan lain. Aku akhirnya menerima tawaran Rivan untuk diantar pulang. Dalam perjalanan aku bertanya padanya dari mana dia tahu aku belum pulang. “Bagaimana Kak Rivan tahu aku belum pulang?” “Brian meneleponku, dia bilang tadi kamu ada di depan kedai, lalu tiba-tiba berjalan menjauh. Biasanya dia melihatmu di jemput salah satu ojek online, dan dia melihat orang-orang yang menganggumu pergi. Dia khawatir terjadi apa-apa padamu,” terang Rivan. “Terima kasih ya, Kak.” Hanya ucapan itu yang bisa aku katakan setelahnya. Ternyata baik Brian maupun Rivan, keduanya laki-laki baik. Aku beruntung dipertemukan dengan banyak orang baik dalam hidupku. Aliyah dan Safiyah, serta Rivan dan Brian. Sesampainya di depan gerbang kosku, Rivan membuka helmnya. “Lain kali jangan pulang larut seperti ini,” larangnya. “Iya, Kak. Tapi tadi kedai sedang ramai, aku tidak enak meninggalkan Kak Brian sendirian.” Rivan pun mengerti dan memakai helmnya kembali untuk segera pulang. Aku pun melihatnya sampai hilang dari pandanganku dan memasuki gerbang kosku. Sepertinya memang terlalu beresiko kerja sampai malam hari untuk seorang perempuan. Namun mau bagaimana lagi, pagi hingga siang aku harus ke kampus. Aku hanya punya waktu di Sabtu dan Minggu, itu pun sudah untuk mengajar les anak-anak Sekolah Dasar. Jika aku berhenti bekerja di kedai kopi milik Brian, aku tidak akan mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhanku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD