Aku berjalan dari kos menuju kampusku, jadwal kuliah Senin sampai Jum'at, dan rata-rata berada antara jam 09.00 sampai jam 14.00 walaupun setiap harinya tidak sama. Yang terpenting tidak ada yang sampai sore hari. Aku bisa mencari kerja dengan jam kerja 16.00 sampai 21.00 mungkin, jika ada. Atau aku akan les anak-anak sekolah seperti rencana awalku.
Aku akan membuat brosur dulu dan membagikannya pada orang tua yang mempunyai anak sekolah dasar. Kebetulan kostku dekat dengan pemukiman warga. Membayangkannya saja aku sudah lelah, tapi aku tidak boleh mengeluh. Menempuh pendidikan maupun bekerja sama lelahnya.
Aku harus pandai bersyukur bisa berkuliah, di saat orang lain mungkin ingin berada di posisiku. Seperti temanku, Citra, dia memutuskan untuk bekerja dulu karena terbentur biaya untuk melanjutkan kuliah. Ia berkata padaku uang hasil kerjanya akan dia kumpulkan untuk mendaftar kuliah tahun depan.
Sore tadi aku membagi-bagikan selembaran berisi promosi untuk les anak sekolah dasar dari rumah ke rumah. “Permisi, Bu. Barangkali sedang mencari guru les tambahan untuk anaknya, bisa hubungi saya.” Aku tersenyum seramah mungkin.
Ada yang menyambut baik, ada juga yang langsung membuang brosur yang aku berikan. Aku tidak mengambil hati. Semoga saja ada orang tua yang menghubungiku, harapku dalam hati.
Aku mendapat telepon masuk dari nomor tidak dikenal, dengan secepat kilat aku mengangkatnya. Ternyata telepon ini dari salah satu orang tua yang aku beri brosur sore tadi. Aku berteriak dalam hati, baru saja aku berharap, sedetik kemudian ada telepon masuk.
Namanya Bu Dea, dia memberitahu rumahnya yang memiliki pagar hitam dengan cat berwarna abu-abu, aku pun langsung mengingatnya. Aku dan Bu Dea berjanji akan bertemu besok untuk mendiskusikan mengenai hari dan jam yang cocok untuk anaknya. Aku berterima kasih berkali-kali pada Bu Dea.
Mata kuliah pertamaku hari ini adalah Pengantar Manajemen. Aku begitu bersemangat menyambut hari ini. Tidak ku sangka kini aku menginjak usia 18 tahun. Aku duduk di antara Aliyah dan Safiyah. Mereka berdua baik padaku sejak perkenalan awal kami.
Aku mencatat hal-hal penting yang dosen kami sampaikan, namanya Pak Rivan, dia kelihatannya masih muda. Tanpa sengaja aku mendengar suara bisik-bisik di belakangku.
"Dosen muda itu masih single tahu. Dia kakak dari Nufail, Kosma kelas kita." Berkat ketajaman pendengaranku, kini aku tahu sedikit informasi dosen muda di depanku.
"Untuk tugas minggu depan, buat kelompok yang terdiri dari tiga orang. Lalu pilih salah satu judul disini untuk dipresentasikan." Rivan menunjuk layar proyektor. "Ada yang ingin ditanyakan?" Semua orang terdiam pertanda sudah paham atau memang tidak ada yang ingin bertanya. "Baiklah jika tidak ada yang ingin bertanya --"
Saat Rivan ingin mengakhiri sesi mata kuliahnya, salah satu teman kelasku yang bernama Dahlia mengangkat tangannya.
"Nama saya Dahlia, Pak. Izin bertanya, apa Bapak sudah mempunyai istri?" Pertanyaan Dahlia sontak mengundang tawa seluruh orang di kelas.
Rivan tersenyum tenang dan menjawab. "Belum." Jawaban dari Rivan mengundang riuh sangsi terutama dari para mahasiswi. "Kalau calon istri?" Dahlia bertanya lagi.
"Belum juga," jawab Rivan ramah. "Ada lagi yang ingin ditanyakan?" Rivan menjeda beberapa saat. "Baiklah, jika tidak ada, saya akhiri perkuliahan hari ini." Rivan mengucap salam dan meninggalkan ruangan.
Saat jam istirahat aku, Aliyah, dan Safiyah pergi ke kantin bersama. Untuk makan dan berbagi sedikit cerita mengenai keluarga kami. Dimulai dari aku. “Ibu dan bapakku berpisah, lalu aku tinggal bersama nenekku … namun Nenek Ana meninggal saat aku lulus SMA.” Ceritaku mengudang raut iba dari kedua teman kembarku itu.
“Kamu kuat sekali Falisha.” Aliyah menepuk pundakku.
“Iya, kalau itu aku, mungkin aku tidak sanggup menanggungnya. Lalu dimana kedua orang tuamu?” Safiyah menimpali.
Aku mengedikkan bahu. “Ibuku sudah menikah lagi dan yang aku dengar dia pergi bersama suaminya ke Jakarta. Kalau bapakku masih satu desa denganku dan sudah memiliki istri baru.”
Aliyah dan Safiyah kompak beristigfar. “Apa tidak ada yang menanyakan keadaanmu?”
Aku menggeleng. “Aku baik-baik saja tanpa mereka. Bahkan jika boleh, aku ingin menganggap mereka sudah tiada.”
“Tidak boleh begitu, Fal,” tegur Safiyah.
“Ya, aku tahu. Tapi rasanya hatiku sakit sekali jika mengingat janji mereka padaku.” Suaraku mulai bergetar. “Mereka berjanji kasih sayang mereka tidak akan berkurang, namun nyatanya semua hanya omong kosong.”
Terdengar Aliyah menghela napas. “Semoga ibu dan bapakmu secepatnya sadar. Aku yakin mereka akan menyesal suatu hari nanti karena menyia-nyiakanmu.”
“Apa kalian tidak keberatan berteman dengan gadis sebatang kara seperti aku?”
“Tentu saja tidak,” sahut Aliyah dan Safiyah kompak.
“Terima kasih, Aliyah, Safiyah.” Aku menatap mereka bergantian dan tersenyum.
***
Sesuai janjiku, sepulang kuliah aku mengunjungi rumah Bu Dea untuk membicarakan mengenai les anaknya yang saat ini duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar. Aku mengucap salam dan memperkenalkan diri. Perkenalan singkat di depan rumah, aku diajak masuk ke dalam rumah oleh Bu Dea. “Mari bicara di dalam saja, Falisha.”
“Dito, kemari dulu sebentar!” Terdengar Bu Dea memanggil anaknya. Tak berapa lama, Bu Dea dan Dito muncul bersamaan.
“Ini namanya Kak Falisha, guru lesnya Dito,” ucap Bu Dea pada anaknya. “Kak Falisha, ini Dito, anakku.”
Aku pun mencoba menyapa Dito dengan seakrab mungkin. “Hai, Dito. Namaku Falisha, kamu bisa memanggilku Kakak,” sapaku sambil mengulurkan tangan.
Untungnya Dito anak yang mudah akrab, dengan capat ia menyambut uluran tanganku. “Namaku Dito.”
“Sebenarnya Dito sudah termasuk anak yang pandai, dia selalu masuk ranking 10 besar di kelasnya. Namun tidak ada salahnya kan jika aku ingin prestasi Dito meningkat?” Bu Dea mengusap kepala Dito lembut.
Aku mengangguk, membenarkan perkataan Bu Dea. “Benar, Bu. Semoga saja prestasi Dito semakin meningkat.”
“Apakah bisa di hari Kamis dan Sabtu?” tanyanya.
“Maaf, Bu. Apa bisa Sabtu dan Minggu?” tawarku. “Karena kuliah saya libur di kedua hari itu.”
“Baiklah. Jam Sembilan pagi saya ya?” tanya Bu Dea yang langsung aku setujui. “Kalau memang prestasi Dito meningkat, saya bisa promosikan kamu pada orang tua teman-teman Dito,” lanjut Bu Dea.
Aku langsung sumringah. “Wah, saya sangat berterima kasih, Bu.”
“Sama-sama,” sahut Bu Dea sambil tersenyum.
Setelah dirasa perbincangan kami cukup, aku pun pamit pulang pada Bu Dea dan berkali-kali mengucapkan terima kasih. Aku berjalan pulang ke kos dengan senyum yang tak pudar dari bibirku. Saking senangnya, sampai-sampai aku tidak sadar ada motor yang sedang melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Aku merasakan satu tangan menarikku dan akhirnya kami terjatuh bersama.
Aku mendengar sang pengendara motor berhenti dan mengumpat padaku. “Sialan! Kalau ingin menyeberang lihat-lihat!” Kemudian kembali melajukan motornya. Aku tentu saja membalas umpatannya, namun dalam hati.
Siapa yang ingin tertabrak siapa juga yang marah-marah! Gerutuku.
Aku membersihkan telapak tanganku yang kotor karena terjatuh dan berkata pada orang yang sudah menolongku. “Kamu baik-baik saja? Terima kasih sudah meno—” Aku menganga tidak percaya. “Pak Rivan?”
Rivan menepuk-nepuk kemejanya yang sedikit kotor karena terjatuh. “Sama-sama. Kamu tidak apa-apa? APa kamu mengenalku?”
Ah, sepertinya dia lupa atau memang terlalu banyak anak didiknya sehingga tidak mengenalnya satu per satu. “Iya, Pak. Saya Falisha, baru saja tadi pagi Bapak mengisi mata kuliah di kelas saya.”
“Oh, ternyata kamu salah satu mahasiswiku. Aku melihat kamu berjalan dengan senyum bahagia, sampai-sampai akan menyeberang tidak melihat kanan dan kiri.”
Aku menggigit bibirku, kemudian tersenyum canggung. “Iya, Pak. Saya baru saja mendapat pekerjaan sebagai guru les privat, jadi terlalu senang, sampai tidak menyadari keadaan. Sekali lagi terima kasih Pak Rivan sudah menolong saya.” Aku membungkukkan badan.
“Tidak perlu sampai seperti itu.” Rivan menyuruhku untuk bersikap biasa saja. “Kamu mencari pekerjaan? Untuk apa?” tanya Rivan dengan alis bertaut.
“Ceritanya panjang, Pak. Yang jelas saya butuh biaya untuk membayar kos dan untuk makan sehari-hari. Apa Bapak punya kenalan yang membutuhkan guru les atau mungkin karyawan paruh waktu? Pekerjaan apa saja, Pak. Asalkan waktunya sore sampai malam hari.” Aku berbicara panjang lebar pada Dosen Muda itu.
“Saya punya teman yang baru membuka kedai kopi, tapi saya tidak tahu apa dia masih membutuhkan karyawan atau tidak. Bagaimana jika kamu berikan nomor ponselmu? Aku akan bertanya padanya dulu, lalu menghubungimu jika sudah ada kabar darinya.” Tanpa aku duga, Rivan menawarkan pekerjaan padaku.
“Benarkah? Terima kasih banyak, Pak.” Buru-buru aku mengeluarkan ponselku. “Nomor Pak Rivan berapa? Nanti saya telepon.” Aku sudah siap memencet angka-angka di ponselku.
Rivan pun menyebutkan nomor ponselnya dan aku melakukan panggilan. Tak lama berselang terdengar ponsel miliknya berbunyi. “Sudah masuk,” katanya. “Siapa namamu tadi?”
Apakah namaku sesulit itu untuk diingat? Protesku, namun dalam hati. “Falisha, Pak.” Aku memberitahunya sekali lagi.
“Baik, sudah saya simpan, Falisha. Nanti saya hubungi, ya.” Aku berterima kasih sekali lagi dan melihatnya pergi menjauh.