Nenek Ana tidak begitu pandai menulis, beliau hanya menuliskan dua kata di atas amplop cokelat itu. “Untuk Falisha”. Di dalam amlop cokelat itu berisi uang yang selama ini Nenek Ana kumpulkan dari hasil berjualannya.
Nenek Ana pernah mengatakan bahwa dia sedang menabung untuk biaya aku kuliah. Aku sangka Nenek Ana bercanda. Ia berpesan padaku jika beliau meninggal aku diminta mencari amplop cokelat di lemarinya dan di bagian tumpukan baju paling bawah.
Aku saat itu tidak menanggapinya serius, karena aku begitu yakin Nenek Ana akan hidup lama dan tetap bersamaku. Aku lupa bahwa ada hal-hal tak terduga yang tidak direncanakan bisa terjadi di dunia ini.
Besok aku akan ke rumah Lili, aku akan meminjam laptopnya untuk melakukan pendaftaran online di kampus tujuanku. Sebenarnya aku bisa saja ke warnet, namun aku juga ingin bertemu dengan temanku itu. Aku pun mengirimkan pesan pada Lili, bahwa aku akan ke rumahnya besok pukul 10 pagi.
Aku mengirimkan pesan pada Lili bahwa aku sudah di depan rumah yang dia sebutkan ciri-cirinya di telepon. Aku sampai di rumah Lili, kedua orang tua Lili berangkat bekerja. Aku baru pertama kali mengunjungi rumahnya, dan berbekal alamat yang Lili kirimkan lewat pesan teks. Hampir saja aku menyasar, untungnya tidak begitu jauh. Rumah Lili terdiri dari dua lantai, catnya berwarna ungu muda, dengan taman dan kolam di depan rumahnya.
Lili menyambutku dengan senang hati. “Masuklah, Fal!”
“Terima kasih. Maaf jika aku merepotkanmu, Li.”
“Tidak, Falisha. Kamu sudah yakin mau mendaftar di kampus itu?”
Aku mengangguk. “Aku mendapat beasiswa di kampus itu Li, mana bisa aku pilih kampus lain?”
“Tapi dengan nilaimu, kamu bisa mendaftar di universitas mana pun yang kamu mau.”
“Dimana pun sama saja, Li. Yang terpenting bagiku biayanya tidak terlalu mahal,” kekehku.
“Baiklah, ayo ke kamarku!”
Aku pun mulai membuka website universitas yang aku tuju. Mulai mengisi data-data yang diperlukan. Dan terakhir mengirimkan formular pendaftaran dengan pasti. Setelah ini aku akan mencoba mencari pekerjaan paruh waktu, karena sepertinya jika berjualan kue bagelen akan memakan banyak waktu. Jika saja Nenek Ana masih ada, beliau yang akan membuat kue bagelenya dan aku tinggal menjajakannya. Namun kini aku harus melakukannya seorang diri, dengan kesibukan perkuliahanku nanti, aku pikir waktu yang aku punya tidak cukup.
Aku akan mencari pekerjaan yang jam kerjanya sore hingga malam atau aku akan menyambi menjadi guru les anak Sekolah Dasar atau mungkin Sekolah Menengah Pertama. Setidaknya aku punya penghasilan untuk membiayai hidupku sehari-hari. Aku tidak boleh bemanja-manja, walaupun Bu Puja dan Ardan selalu siap membantuku. Aku tidak mau terus merepotkan mereka. Aku harus bisa hidup mandiri.
Bukannya aku tidak akan melanjutkan usaha Nenek Ana, aku sudah diberitahu resep dan langkah-langkah pembuatannya. Jika hari libur pun aku turut membantu Nenek Ana membuat kue bagelen, jadi aku sudah paham betul. Aku simpan baik-baik dalam memoriku. Kelak jika aku sudah bekerja dan memiliki modal, aku akan wujudkan janjiku pada Nenek Ana. Membuat toko kue dan membuat kue bagelen Nenek Ana terkenal di seluruh Indonesia. Bermimpilah selagi mimpi itu gratis.
“Sudah selesai, Fal?”
“Sudah, Lili. Kamu jadi mendaftar di tempat Kak Ardan?”
Lili mengangguk malu-malu. “Semoga saja diterima.”
“Diterima mendaftar di kampusnya atau diterima mendaftar jadi pacar Kak Ardan nih?” godaku pada Lili, yang membuat temanku itu melemparkan bantal padaku.
Aku berkuliah di Universitas Pendidikan Indonesia, Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis, Program Studi Manajemen. Aku memutuskan untuk berhijab dan menjadi Falisha yang baru. Melupakan kenangan-kenangan pahit yang aku alami. Mencoba membuka diri untuk berteman dan bergaul dengan orang lain, tidak lagi menjadi Falisha yang kaku.
Jarak rumah Nenek Ana dan kampusku sekarang lumayan jauh. Aku memutuskan untuk kost karena jika pulang pergi akan memakan banyak biaya. Dalam kamar kosku terdapat kasur, lemari plastik, dan kipas angin. Karena aku hanya sanggup membayar kamar seharga ini, jika ingin yang lebih luas dan ber-AC aku harus mengeluarkan biaya dua kali lipat.
Lili akhirnya diterima satu kampus bersama Ardan. Aku turut senang mendengarnya, dan berharap rencana pendekatannya dengan Ardan berjalan lancar. Tanpa sadar aku tertawa sendiri membayangkannya.
Akhir-akhir ini aku tidak lagi sering kontak dengan Arsalan Daffa. Sepertinya pelan-pelan aku mulai melupakannya, dan aku berharap dia menemukan perempuan yang lebih baik dariku. Besok adalah hari pertama aku masuk kuliah, aku masih tidak percaya kini aku menjadi seorang mahasiswi. Tujuanku berkuliah disini untuk mencari ilmu berbisnis untuk bekalku nanti membuka sebuah usaha di kemudian hari.
***
Hari pertama aku kuliah dan agendanya hanya perkenalan. Pagi ini kami berkumpul dalam satu ruangan berisi seluruh mahasiswa dan mahasiswi fakultas. Siang harinya, kami di bagi menurut jurusan dan berkumpul dengan teman sekelas masing-masing. Acaranya cukup seru karena ada game juga yang dimainkan.
Ternyata tidak mudah bagiku mengakrabkan diri, apalagi di kampus yang cukup terkenal. Aku hanya mahasiswi berbekal beasiswa, sedangkan teman-temanku yang lain bahkan membawa mobil untuk berkuliah. Aku selalu mengingat pesan Arsalan untuk tidak rendah diri dan aku pantas berteman dengan siapa pun. Aku mencoba mendekat dan berbaur dengan teman-temanku yang lain, meski terkadang mereka tidak menyambutku dengan hangat. Ada yang menatap dengan tatapan yang tidak dapat ku artikan.
Tidak mudah menjadi diriku yang baru, rasanya aku ingin kembali menjadi Falisha yang lama. Falisha yang pendiam dan tertutup, tapi jika seperti itu aku pasti akan semakin dikucilkan. Teman sekelasku yang satu grup denganku saat game berlangsung adalah Aliyah dan Safiyah. Mereka kembar namun tidak identik, jadi aku bisa membedakan mereka. Kosma kelasku bernama Nufail. Acara perkenalan hari ini sudah selesai dan semua mahasiswa dan mahasiswi di perbolehkan pulang. Diberitahukan bahwa jadwal kuliah akan keluar dalam beberapa hari.
"Al, Saf, aku pulang duluan, ya?" Aku pamit pada Aliyah dan Safiyah.
"Iya, Fal," sahut Aliyah.
"Kamu kos dimana?" tanya Safiyah.
"Dekat kok, aku hanya perlu berjalan 15 menit."
"Oke. Sampai bertemu nanti di kelas lagi." Safiyah melambaikan tangannya padaku.
Aku merebahkan diriku di atas kasur kamar kostku. Cukup melelahkan perkenalkan hari ini, aku berangkat pukul tujuh pagi dan pulang pukul empat sore. Aku harus tetap semangat. Jika jadwal perkuliahan sudah keluar, aku akan segera mencari pekerjaan paruh waktu mengikuti jadwal kuliahku yang kosong.
Menatap langit-langit dengan pikiranku yang acak. Aku meninggalkan rumah Nenek Ana, dan tidak ada yang membersihkannya. Sepertinya aku akan pulang dua atau tiga bulan sekali untuk membersihkannya.
Bapakku bahkan tidak bertanya apa aku melanjutkan pendidikanku atau tidak. Apa beliau takut aku meminta uang? Jika iya pun, apakah salah seorang anak meminta uang pada bapaknya sendiri?
Jangan tanya ibuku, beliau sama sekali tidak menghubungiku. Kedua orang tuaku hidup namun terasa sudah tidak ada bagiku. Ah, untuk apa memikirkan mereka yang sama sekali tidak memikirkan aku. Katakanlah aku gadis sebatang kara, karena aku berjuang untuk hidupku sendiri.