Setelah acara tahlilan ba’da Magrib dan orang-orang sudah pergi. Aku meraih jaket dan pergi dari rumah. Terdengar suara Pak Rahman menanyakan aku ingin kemana, dan aku tidak menjawabnya. Bibi Mina sudah langsung kembali ke Jakarta sejak malam kemarin, ia berasalan anaknya tidak bisa ditinggal bersama suaminya terlalu lama, padahal dia baru saja tiba siang harinya.
Aku melangkahkan kaki tanpa tujuan. Aku hanya terus berjalan sampai tak terasa di kawasan Sungai Citarum. Aku menuju salah satu jembatan dan berdiri tepat di pembatas. Bisikan-bisikan setan mulai terdengar agar aku melompat dan mengakhiri hidupku. Jujur, aku memang ingin melakukannya. Hidup pun rasanya sudah percuma. Orang tua tak ada untukku, padahal mereka masih hidup dan sehat. Nenek Ana yang aku sayangi pun sudah tiada.
Aku menengok pada air sungai di bawahku. Apa aku akan mati jika melompat dari sini? Lalu jika aku mati apa masalah hidupku artinya sudah selesai? Aku bertanya pada diriku sendiri.
“Lompatlah! Untuk apa kamu menunggu? Bukankah memang tujuanmu untuk mati?” teriak Kakek Tua yang tiba-tiba muncul entah dari mana. “Kenapa? Kamu takut mati? Kalau kamu takut, segera turun dari sana!”
"Tidak. Aku tidak takut mati. Aku akan lompat!" Aku sudah bersiap melompat, namun Kakek Tua itu dengan cepat menarikku.
"Kamu pikir dengan mati bisa menyelesaikan masalah hidup yang kamu hadapi?"
"Sudah tidak ada artinya aku hidup. Alasanku bertahan di dunia ini sudah meninggalkan aku."
"Aku tidak tahu apa yang kamu hadapi. Tapi bukan hanya kamu yang bernasib buruk. Jangan pernah merasa hidupmu paling menyedihkan. Coba buka matamu! Masih banyak orang di dunia ini yang bernasib lebih sial darimu. Contohnya Kakek ini." Kakek Tua itu menuntunku untuk duduk di trotoar.
"Aku ditinggalkan oleh istriku setahun lalu. Anakku satu-satunya mengusirku dari rumah. Dia tidak mau mengurusku yang sudah tua renta ini. Akhirnya aku hidup terlunta-lunta di jalanan. Tapi aku tidak pernah berpikir untuk mengakhiri hidupku. Selama aku bernapas, selama itu juga aku berusaha tetap bertahan hidup." Kakek Tua melanjutkan ceritanya. "Aku yakin kamu memiliki teman atau saudara yang bisa jadikan sandaran. Sedangkan aku benar-benar sendirian. Oleh sebab itu, jangan pernah berpikir mengakhiri hidupmu yang berharga. Yakinlah kamu bisa melewati ini semua. Tuhan pasti memilih mengujimu bukan karena tanpa alasan."
Aku merenungkan perkataan panjang lebar Sang Kakek. Kemudian akhirnya hanya bisa menangis tanpa menyahut. Dalam hati aku membenarkannya. Aku merasa menjadi manusia yang paling menyedihkan di dunia, padahal masih banyak orang yang memiliki masalah hidup lebih berat dari yang aku hadapi. Aku teringat janjiku pada Nenek Ana, aku akan sukses dan membahagiakannya.
Setidaknya aku memenuhi salah satu janjiku, aku harus sukses. Walaupun Nenek Ana sudah tidak ada di dunia ini untuk aku bahagiakan, aku yakin beliau bisa melihatku dari sana. Nenekku pasti turut bahagia di surga jika melihatku sukses dan bahagia. Namun aku malah terus bersedih seperti ini, parahnya aku berniat mengakhiri hidupku. Nenek Ana pasti sangat kecewa padaku. "Maafkan aku, Nek ...," lirihku dalam hati.
"Ingatlah satu hal. Walaupun aku disakiti oleh anakku, aku tidak pernah mendo'akan hal buruk untuknya. Aku selalu berdo'a agar Allah SWT menyadarkannya, dan semoga do'aku terkabulkan sebelum aku tutup usia." Kakek Tua ini terlalu baik hati. Beliau disakiti oleh anaknya tapi masih bisa mendo'akan kebaikan untuk sang anak. "Hari semakin malam sebaiknya kamu pulang." Kakek Tua itu bangkit dan berjalan begitu saja meninggalkan aku.
"Kakek! Terima kasih!" Aku segera berdiri dan berterima kasih sebelum Kakek Tua itu menjauh.
Beliau berhenti dan menoleh padaku, Kakek Tua itu hanya tersenyum kemudian kembali melanjutkan langkahnya.
Untungnya aku membawa ponsel, aku melihat jam di ponselku menunjukan pukul 22.40 itu artinya malam sudah larut. Ragu-ragu aku menelepon Ardan, aku tidak sanggup jika harus berjalan lagi sampai ke rumah. Berharap Ardan belum tidur dan mau menjemputku, karena tidak ada lagi yang bisa aku tuju selain dirinya. Aku tidak mungkin menelepon Arsalan, dia berada di Singapura. Bisa-bisa dua hari aku disini jika menunggu Arsalan yang menjemput.
"Halo ... Kak Ardan? Apa aku mengganggu?"
"Tidak. Aku memang belum tidur. Ada apa Falisha?"
"Apa Kakak bisa menjemputku?"
"Memangnya kamu dimana?"
"Aku ... di jembatan Sungai Citarum."
"Sedang apa kamu malam-malam disana? Tunggu aku. Jangan kemana-mana!"
Aku menunggu Ardan dengan cemas, jalanan semakin sepi. Aku tidak sadar berjalan jauh sekali, aku pergi dari rumah sekitar pukul 8 malam tadi. Terlihat satu motor mendekat, cahaya lampunya menyilaukanku.
Ardan tepat berhenti di depanku. Dia turun dari motor dan memelukku singkat. "Apa kamu sudah gila?!" Ardan marah padaku. "Untuk apa kamu malam-malam ada disini? Jangan katakan kamu berniat melompat dan mengakhiri hidupmu?!"
"Kak, jangan memarahiku. Jika Kak Ardan marah seperti itu, aku akan sungguh lompat dari sini."
"Astaga, Falisha. Kamu membuatku gila. Aku seperti ini karena menganggap kamu adikku. Ibuku bahkan menganggapmu anak perempuannya. Kamu bisa tinggal bersama jika kamu mau. Kenapa berpikir sepicik itu?"
"Maafkan aku." Aku hanya bisa menunduk karena merasa bersalah. Seharusnya aku tidak terbujuk godaan setan. Bukankah sudah jelas bunuh diri adalah hal yang dilarang bagi semua agama.
"Ayo, pulang."
"Pulang ke rumah Nenek Ana ya? Jangan ke rumah Kak Ardan?"
"Iya," sahut Ardan cepat.
Ternyata Ardan membohongiku, ia membawaku ke rumah yang ia tinggali bersama Bu Puja. Aku sempat protes namun Ardan berkata hanya untuk malam ini. Dia takut aku kabur dari rumah lagi. Bu Puja menyambutku dengan khawatir. "Kamu baik-baik saja, Fal?" Dia mengecek kondisiku.
"Aku baik-baik saja, Bu. Maaf malam-malam malah merepotkan."
"Tidak, sama sekali tidak merepotkan. Ibu kaget saat Ardan berkata akan menjemputmu di kawasan Sungai Citarum, dan Ibu yang meminta Ardan untuk membawamu kemari."
"Terima kasih, Bu ... Kak Ardan. Kalian sangat baik padaku."
"Sekarang istirahatlah! Dan ingat, jangan berpikir pendek lagi atau aku akan marah lagi padamu, Fal." Ardan berjalan meninggalkan aku bersama Bu Puja.
"Tidak usah meladeni Ardan. Ganti baju dulu ya? Sepertinya pakaian Ibu tidak terlalu besar untukmu. Malam ini kamu tidur bersama Ibu ya." Bu Puja menuntunku untuk segera beristirahat.
Dasar saja aku manusia yang tidak bisa bersyukur. Aku memiliki teman sebaik Lili. Aku memiliki Bu Puja dan Kak Ardan yang bersedia menganggapku sebagai keluarganya. Aku harus lebih pandai bersyukur lagi setelah ini.
***
Acara tahlil tujuh hari Nenek Ana baru selesai diadakan. Kak Ardan dan Bu Puja turut hadir membantuku. Sebenarnya Pak Rahman juga turut hadir setiap hari, namun setelah tahlil bapakku itu langsung pulang seperti tetangga-tetanggaku yang lain. Aku dan bapakku sendiri bagai orang asing sekarang.
“Fal, apa kamu sudah tahu akan mendaftar kuliah dimana?” tanya Bu Puja.
“Sudah, Bu. Aku mendapat beasiswa di salah satu universitas negeri, walau hanya pengurangan biaya semester. Aku bersyukur dan sangat terbantu. Untung saja uang awal perkuliahan bisa dicicil.”
“Jika kamu kesulitan, kamu bisa katakan pada Ibu. Ibu akan membantumu.”
“Tidak, Bu. Aku punya tabungan, dan diam-diam Nenek Ana juga memiliki tabungan untuk biaya kuliahku.”
“Jangan sungkan pada kami, Falisha.” Ardan mengingatkan.
“Iya, Kak. Terima kasih atas bantuan Kak Ardan selama ini.”
“Aku bosan mendengar ucapan terima kasihmu, Fal.”
“Memangnya apa lagi yang bisa aku ucapkan?”
“Sudah-sudah. Rasanya kalian sudah seperti kakak-beradik sungguhan, setiap bertemu pasti bertengkar.”
Bu Puja dan Kak Ardan pun pamit pulang. Setelah mengantar kepergian mereka, aku kembali memasuki kamar Nenek Ana. Aku membuka lemarinya dan kembali mengambil sebuah amplop cokelat yang terselip di bagian paling bawah tumpukan baju.