Kedatangan Ben Sepagi Itu 1

868 Words
"Makanlah, Lia. Pagi tadi kamu hanya sarapan sedikit karena terburu-buru." Sumi menggeser piring porselen yang penuh nasi dan lauk. "Apa Ibu belum pulang?" Sumi menggeleng. Mereka bicara sangat lirih agar tidak terdengar dari luar. "Belum. Beliau masih di paviliun. Tuan sudah pergi ke perkebunan." "Dia pasti akan memarahiku. Aku tidak membalas semua pesannya karena ponsel sedang aku charge. Apalagi sekarang ponsel itu tertinggal di kamar bawah." "Nanti aku ambilkan." "Terima kasih, ya." Sumi mengangguk. "Makanlah, cepat." Kamalia meraih piring dan makan dengan lahap. Ia memang lapar dan haus. Apalagi habis setrika baju cukup bayak. "Ini baju mahal semua, Lia," kata Sumi sambil meraba sebuah kemeja warna dark blue. "Iya. Harga celana dalamnya saja bisa kubelikan beberapa bajuku." Sumi terkikik sambil menutup mulut. "Apa dia memang pria yang cerewet dan banyak mengatur?" "Tidak. Sebenarnya dia pria yang nggak banyak bicara dan dingin. Kami jarang sekali diajaknya bicara. Tapi sejak Mbak Mita depresi, Tuan jadi mengkhawatirkan banyak hal. Tuan sangat menyayangi kakaknya. Apalagi sejak ibu mendesak Tuan agar segera menikah, membuatnya seperti tertekan." "Kenapa Mbak Mita tidak diajak tinggal di vila ini saja. Mudah juga untuk mengawasi." "Dulu juga tinggal di sini. Setelah dua kali mencoba melompat dari balkon, akhirnya dipindahkan ke paviliun." Kamalia meraih gelas berisi air putih dan meneguk separuh isinya. "Apa Tuan tidak punya pacar?" "Aku nggak tahu kalau sekarang. Dulu pernah ada seorang gadis yang sering kemari. Rambutnya disemir pirang. Teman kuliah Tuan. Tapi seperti gadis itu saja yang tergila-gila. Dan sudah lama rumah ini jarang ada tamu sejak Mbak Mita sakit. Semua relasi dan rekan bisnis akan menemui Tuan di gudang. Bisa jadi Tuan membawa pacarnya ke sana." Kamalia selesai menghabiskan makannya. Air putih juga diteguk habis. "Aku habiskan semuanya, Sum. Siapa tahu bakalan terkurung lama di sini." "Kalau nggak kamu habiskan aku bakal marah. Untuk ke sini aja tadi penuh perjuangan. Mengendap-endap takut kalau tiba-tiba ibu masuk dan aku masih berada di tengah tangga." "Terima kasih, ya!" ucap Kamalia sambil menepuk bahu temannya. "Iya, sama-sama." "Apa biasanya ibu nyetir sendiri kalau datang ke sini?" "Nggak. Sama Pak Gino, sopirnya. Tuan melarang ibu nyetir sendiri kalau perjalanan jarak jauh." Sumi bercerita banyak tentang keluarga majikan. Bu Rahma yang anggun dan sangat baik. Devin yang suka memberikan hadiah untuk para pekerjanya. Ben, adiknya Devin adalah pemuda yang tampan dan humoris. Sifat yang sangat bertolak belakang dengan sang Kakak yang pembawanya selalu serius dan kaku. "Kamu sendiri sudah telepon keluargamu apa belum?" Kamalia menggeleng. Dia juga bingung mau menghubungi kakaknya dengan cara apa. Mau memakai ponsel yang dipinjami Devin juga takut. Kalau dia bermasalah dengan Devin, otomatis akan bermasalah dengan pamannya juga. Kamalia malas menghadapi masalah dengan keluarga. Padahal ingin sekali menelepon Eva yang tadi pagi melangsungkan pernikahan. Pasti kakaknya juga menunggu kabar darinya. "Teleponlah, Lia. Mereka pasti menunggu kabar darimu." Sumi tidak tahu kalau hanya sang kakak yang pasti mencemaskannya. Apalagi Kamalia masuk rumah itu sebagai ganti untuk dirinya. "Aku tak berani memakai handphone Tuan." "Pakai punyaku. Biar aku ambilkan. Kamu bisa telepon sekarang atau nanti malam." "Besok-besok saja. Malam nanti adalah malam pertama Mbak Eva. Aku tidak ingin mengganggunya." "Oh, kakakmu menikah?" "Ya." "Sayang ya, dihari bahagianya kamu nggak bisa hadir. Harusnya minta izin sama Tuan untuk hari ini saja. Tuan baik, kok. Pasti ngizinin." Kamalia tersenyum tipis. Sumi belum tahu apa yang menyebabkan dia bekerja di vila Devin. 🌷🌷🌷 Jam sepuluh malam Kamalia mendengar pintu kamar dibuka. Pasti Devin baru pulang. Ditariknya selimut karena udara terasa makin menusuk hingga ke tulang. Pria itu tidak membangunkannya. Tidak juga mengirimi pesan lagi, setelah ia mengirim balasan permintaan maaf karena tidak menjawab telepon atau puluhan pesan yang dikirimnya. 'Apakah dia marah? Ah, bodoh amat.' Terdengar shower menyala dari kamar mandi. Juga suara bersin yang berulang kali. Setelah itu suara kembali hening. Mungkin Devin sudah beranjak tidur. Sejak mengantarkan makan malam untuknya tadi sore, Sumi tidak menemuinya lagi. Mungkin dia sibuk di bawah. Kamalia hanya ingin bertanya, apakah mamanya Devin sudah pulang apa belum. Rasanya ia tidak betah terkurung di ruangan itu. Seperti dalam tahanan. Hingga larut malam Kamalia belum bisa tidur. Ia memikirkan kakaknya. Semoga pernikahannya tadi lancar tidak ada gangguan. Keluarga mertuanya sangat baik, Kamalia sering di ajak ke rumah Mas Ragil. Ibunya yang jualan kue di pasar itu sering mendapatkan pesanan. Makanya Eva sering mengajaknya untuk membantu di sana. Tentu setelah ini mereka akan kesulitan untuk bertemu. Bahkan mungkin sama sekali tidak akan berjumpa lagi, hingga nanti hutang-hutang itu lunas. Tidak terasa air mata Kamalia luruh ke sudut netra. Eva, satu-satunya saudara yang tidak bisa disaksikan pernikahannya. Sungguh menyedihkan. "Biar aku saja yang bayar hutang itu. Mbak, 'kan mau nikah sama Mas Ragil. Jangan membuat keluarga mereka kecewa dengan menunda pernikahan kalian. Lihatlah, betapa baiknya mereka sama kita," kata Kamalia dua hari sebelum pergi ke vila Devin. Eva meneteskan air mata. "Kita lepas saja lahan sawah yang tinggal sepetak itu. Buat ngelunasi hutang, Paman. Daripada kamu jadi pembantu di sana." "Jangan, Mbak. Lahan itu bisa Mbak sewakan dan uangnya untuk modal usaha. Mudah-mudahan tahun ini Mas Ragil lolos ikut ujian CPNS. Yang penting Mbak jaga baik-baik sertifikat yang tinggal satu-satunya itu. Jangan sampai jatuh ke tangan mereka." "Seharusnya kamu kerja lebih layak, Lia. Sayang ijazah kamu." "Nantilah, kalau hutang itu lunas. Aku akan merintis karier."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD