Eva yang lemah lembut menyusut air matanya. Ia memang cengeng, tidak seperti Kamalia yang tegas dan tegar.
"Udahlah, nggak usah nangis. Jelek tahu! Calon manten harus bahagia. Jangan memikirkan aku. Pasti aku bisa jaga diri."
Mereka berpelukan untuk terakhir kalinya, sebelum Kamalia ikut sopir Devin yang menjemput.
🌷🌷🌷
Sejak selesai salat Subuh, Kamalia hanya duduk termenung di atas sajadah. Tadi dia berwudhu ketika jarum jam masih menunjukkan pukul empat pagi. Agar tidak dipergoki Bu Rahma yang mungkin tidur di vila ini.
Hingga beranjak siang, belum terdengar Devin beraktivitas. Kamalia curiga kalau pria itu sakit, karena tadi malam mendengar Devin bersin beberapa kali.
Gadis itu memberanikan diri keluar dari ruangannya. Benar saja, Devin masih meringkuk memakai selimut. Untuk beberapa saat Kamalia mematung di depan sang majikan. Bingung harus berbuat apa. Ia menarik kembali tangannya yang hendak menyentuh kening.
Ah, ia harus tahu apakah Tuannya demam atau tidak. Kembali dihulurkan tangan untuk menyentuh kening Devin. Panas, dia demam.
Saat itu Devin merubah posisi, terlentang dan menyibak selimut.
Padahal lagi demam, tapi ia tidur tidak memakai baju.
"Akan kuambilkan sarapan dan obat," pamit Kamalia sesaat setelah Devin membuka mata dan menatapnya.
Pria itu tidak menjawab, berarti di bawah aman. Mungkin mamanya tidur di paviliun. Akhirnya Kamalia melangkah pergi.
Ketika menarik lebih lebar pintu kamar yang terhubung dengan ruang kerja, Kamalia terkejut bukan main. Ada seorang cowok berwajah mirip Devin berdiri dan menatapnya kaget.
"Siapa kamu?" tanya cowok itu pada Kamalia.
Kamalia menoleh ke arah Devin yang tak kalah kaget, apalagi sang adik menatapnya curiga karena bertelanjang d**a.
"A-aku permisi dulu." Kamalia menerobos keluar dan langsung menuju lantai bawah.
Cowok itu masuk dan duduk di tepi tempat tidur Devin.
"Siapa gadis tadi, Mas. Teman kencanmu? Nggak ada takut-takutnya ya, padahal Mama ada di sini?"
Sambil memegangi kepalanya yang pusing berat, Devin bangun dari pembaringan.
"Jangan punya pikiran m***m. Semua tidak seperti yang ada diotakmu. Dia pekerja di sini."
"Ah, yang bener saja. Secantik itu masa iya kerja jadi pembantu. Udahlah! Mas nggak usah ngeles. Gadis itu pacarmu, 'kan? Berapa kali on sampai pusing begitu."
"Diam kamu, Ben. Sudah kubilang kan dia pekerja di sini. Dia masuk kemari karena tahu aku lagi sakit."
"Iyakah?" ejek sang adik sambil tersenyum jahil.
"Awas, kalau kamu bocorin ini ke Mama, jangan buat Mama ngamuk. Akan kupangkas habis uang bulananmu," ancam Devin.
"Yaelah, pakai ngancam segala. Ngapain juga ditutupi, akhirnya Mama bakalan tahu juga. Nikah aja kenapa, sih. Mama kan udah ngebet banget pengen punya cucu."
"Shut up. Sudah kubilang kalau kamu itu salah paham."
"Iya-iya, salah paham."
Ben berdiri kemudian menyingkap gorden yang masih tertutup. Cahaya matahari belum tampak, karena kabut tebal masih menyelimuti.
"Jam berapa kamu berangkat, sepagi ini sudah sampai sini?"
"Aku dah sampai vila jam sembilan malam tadi. Sumi yang bukain pintu."
Devin meraih t-shirt putih yang ada di pojok kasur dan memakainya. Ben kembali duduk di ranjang kakaknya.
"Bener, cewek tadi bukan gebetan, Mas?"
"Bukan. Tidak usah nanya-nanya lagi."
"Oke, berarti ada peluang untuk dideketin, 'kan? Cantik banget dia. Bangun tidur aja udah secantik itu, apalagi kalau di dandanin. Kalah deh, primadona kampusku." Ben menjeling pada kakaknya.
"Jangan macam-macam," dengkus Devin kesal.
"Lah, katanya bukan siapa-siapa. Masa nggak boleh dideketin."
"Bisa diam nggak kamu?"
"Bisa ... kalau ada uang tutup mata. Akan kulupakan bahwa telah melihatnya dikamar ini. Mahalan dikit ini uang suapnya, karena aku juga melihat Mas dalam keadaan telanjang ... dada." Ucapan Ben disertai tawa jahilnya.
"Sialan, keluar sana! Aku mau tiduran. Akan kutransfer nanti."
"Oke, Masku sayang."
Ben geloyor pergi. Di tangga ia berpapasan dengan Kamalia yang membawa roti gandum bakar dan Paracetamol.
"Tunggu!" cegahnya pada gadis itu.
Kamalia berhenti dua tangga di atas Ben.
"Namaku Ben. Apa kamu calon kakak iparku?"
"Bukan. Aku pekerja di sini," jawab tegas Kamalia.
"Hm, oke. Selamat bekerja kalau begitu. Hati-hati sama singa di dalam kamar!" Ben tersenyum menggoda diakhir kalimatnya.
"Kamu bicara dengan siapa, Ben? tanya Bu Rahma yang tiba-tiba muncul dari ruang tengah. Kamalia segera naik dengan cepat sebelum ketahuan.
"Nggak ada, Ma. Aku bicara sama handphone," jawab Ben. Padahal ia tidak sedang membawa ponsel.
Bu Rahma yang tahu kalau putra bungsunya suka bercanda segera mendekat. Memandang ke ujung tangga. Sepi.
Ben segera turun, tapi Bu Rahma melangkah naik.
"Mama mau ke mana?"
"Lihat kakakmu, jam segini belum keluar kamar."
Habislah.
Ben hanya bengong melihat sang Mama melangkah cepat hingga sampai tangga atas.
Next ....