"Kamu sakit, Dev?" tanya Bu Rahma setelah melihat nampan di nakas yang berisi roti bakar dan Paracetamol. Disentuhnya kening sang putra yang tidur terlentang.
"Panas banget badanmu. Biar di antar Pak Karyo pergi ke dokter."
"Tidak usah, Ma. Habis minum obat juga baikan."
"Ya, udah. Buruan sarapan terus minum obat. Adekmu datang tadi malam."
"Udah ketemu tadi."
Bu Rahma melangkah dan membuka jendela kaca, hawa segar menyerbu masuk. Kabut masih tebal di luar. Diperhatikannya setiap jengkal kamar Devin. Selama ini memang jarang masuk kamar putranya. Setiap datang selalu fokus pada putrinya di paviliun.
"Mama hari ini pulang. Biar adikmu yang di sini. Dia libur sampai Senin nanti."
Wanita anggun itu duduk di sebelah Devin yang sedang makan roti bakar.
"Kamu ingat Ninis, nggak? Putrinya Bu Wini. Seminggu yang lalu baru wisuda S2."
"Hmm ...," jawab Devin malas. Pasti pembicaraan akan mengarah pada perjodohan yang pernah ditawarkan mamanya.
"Kapan-kapan kalian ketemuan. Nanti Mama yang ngatur."
Devin tidak menjawab, dihabiskan roti dan minum obat, kemudian meneguk air putih hangat di gelas hingga habis.
"Mama sebenarnya bosan ngingetin kamu soal nikah. Umurmu sudah tiga puluh lebih, Dev. Rekan Mama sudah pada punya cucu. Ayolah, tentukan pilihan atau ikut pilihan Mama. Ninis tentunya."
"Aku tidak ingin membicarakan tentang ini, Ma. Nantilah aku nyari sendiri."
"Nanti kapan? Nunggu ubanan dulu, ya?"
Bu Rahma terlihat kesal.
"Mama sebenarnya nggak suka jodoh-jodohin anak. Mama ngasih kebebasan kalian untuk mencari pasangan sendiri. Tapi sekarang Mama nggak bisa nunggu lagi. Kamu setujui saja pilihan Mama."
Devin memandang mamanya yang bangkit dari duduk. Wanita itu membenahi blouse putih yang dipakainya dengan rok plisket panjang warna cokelat tua. Jilbab putih dengan garis-garis cokelat sudah rapi menutup rambut.
"Mama mau pulang, mau langsung ke kampus. Ada kelas jam sepuluh nanti."
Bu Rahma melangkah keluar kamar, meninggalkan Devin yang merasakan tambah pusing kepala mendengar tuntutan sang mama. Dia diam sejenak sebelum memanggil Kamalia.
"Keluarlah, Lia!"
Dari dalam kamar mandi muncul Kamalia dengan wajah tegang. Gadis itu mengintip keluar dari pintu yang tembus ke ruang kerja.
"Mamaku sudah turun. Tapi kamu jangan keluar dulu. Tunggu beliau pergi dengan mobilnya. Dari jendela itu kamu bisa lihat ke bawah."
Kamalia melangkah dan berlindung di balik dinding. Melihat ke halaman bawah. Tampak seorang wanita masuk ke Fortuner putih yang kemudian meluncur pergi. Keluar halaman dan melaju di jalan beraspal yang berselimut kabut tipis.
"Aku akan turun, ibu sudah pergi." Kamalia mengambil nampan di nakas.
"Tidak usah ngobrol banyak hal dengan Ben. Terutama soal hutang pamanmu itu. Bilang saja kamu kerja di sini sebagai asisten pribadiku."
"Apakah dia tidak akan memberitahu keberadaanku pada Ibu?"
Devin menggeleng.
"Baiklah, aku akan turun dulu."
Kamalia melangkah keluar.
Di ruang makan ia melihat Ben sedang melahap nasi goreng.
"Kamu sembunyi di mana hingga Mama nggak ngelihat?" tanya Ben saat Kamalia lewat di belakangnya.
"Di kamar mandi."
"Hm, selamat juga kalian. Padahal aku sudah bersiap untuk menyaksikan pengantin dadakan," canda Ben tanpa menoleh.
Kamalia melangkah lagi menuju dapur belakang. Mbok Darmi dan Sumi tampak berwajah tegang memandang Kamalia.
"Ibu nggak melihatmu?" tanya Sumi.
"Enggak."
"Alhamdulillah," ucap Sumi dan Mbok Darmi bersamaan.
"Kami ikut tegang, Lia. Sebelum nyuci baju, sarapan dulu bareng kami," ajak Mbok Darmi.
Sumi mengambil tiga piring nasi goreng di atas meja dapur. Membawa ke meja teras belakang. Ketika mereka asyik berbincang sambil makan, Ben datang dan ikut duduk di sana, sambil menikmati white coffee di cangkir.
"Namamu siapa?" tanya Ben pada Kamalia.
"Kamalia."
"Mamalia?"
Kamalia melirik tajam pada cowok tampan yang sedang menyesap kopinya. Ben tersenyum.
"Wih, tatapanmu itu. Tembus ke d**a rasanya."
Mbok Darmi dan Sumi tertawa.
"Jangan diambil hati, Lia. Mas Ben emang suka bercanda orangnya," kata Mbok Darmi.
"Rumah ini serasa hidup kalau Mas Ben pulang," tambah Sumi.
"Pastilah, kan kalian di sini hidup sama robot."
Ben tertawa, tapi Mbok Darmi dan Sumi diam. Takut saja jika tiba-tiba Devin muncul.
Kamalia sudah bisa beradaptasi dengan cara Ben berinteraksi. Bahkan mereka saling menceritakan tentang kuliah dan kampus.
"Jadi, kamu baru wisuda tahun kemarin?"
"Ya. Molor setahun. Karena skripsiku telat."
" Berarti kita seumuran, dong. Aku dua puluh tiga."
"Sama," jawab Kamalia.
"Aku langsung lanjut S2. Nggak nyangka kampus kita deketan."
Kamalia mengangguk.
"Sarjana kok milih jadi pembantu. Nggak salah pilih, nih? Atau memang sebenarnya antara kamu dan Mas Dev ada hubungan?"
"Enggak."
"Ngapain kerja jadi pembantu?"
"Aku kerja sebagai asisten Tuan."
"Oh, asisten yang merangkap ngurus segala hal tentang Mas Dev."
"Aku dapat gaji tambahan dari kerjaan ini. Lagian aku enggak pulang, rumahku jauh," jawab bohong Kamalia.
"Jauh? Di mana itu?"
"Ya, jauh."
"Iyalah, jauhnya mana? Kan memang tempat ini jauh dari mana-mana."
"Untuk apa ngurus soal itu?" tanya Dev yang tiba-tiba berdiri sambil bersedekap dan menyandar di pintu. Wajah Devin terlihat lebih segar. Bajunya sudah ganti dan memakai jaket jeans warna biru.
"Wih, dah sembuh kakakku tercinta. Jangan lupa transferannya."
Devin tidak menjawab, tapi berbalik dan melangkah pergi. Tidak lama kemudian terdengar mobil meninggalkan garasi.
*****