04. Tried to Forget It

1141 Words
Claretta meringkuk di tempat tidurnya, jam kini sudah menunjukkan pukul dua siang. Sudah berapa jam ia tertidur? Ia bangkit dan berjalan dengan gontai menuju kamar mandi. Matanya menatap lurus pada bayangan dirinya di depan cermin, kedua matanya bengkak dan masih terdapat sisa-sisa air mata di bawah matanya. Ia menghela napas lalu menghidupkan keran dan mencuci wajahnya. Setelah membasuh wajahnya, ia pun mulai melakukan mandi. Sekitar lima belas menit ia berada di dalam kamar mandi, akhirnya ritual paginya telah selesai. Ia memakai kaos putih polos dengan celana pendek berwarna hitam sepaha. Kruyukk... Kruyuk... Claretta mengusap perutnya yang berbunyi, sejenak ia mengingat-ingat kapan terakhir kali ia makan. Terakhir ia makan kemarin sore. Dengan malas, Claretta berjalan keluar kamar untuk mencari makanan yang ia harap di dapur ada. *** Cklek! "Axelino, cucu laknatku apa kabar?" seorang pria berumur kisaran enam puluhan tahun masuk ke dalam ruangan Axelino tanpa mengetuk pintu. Axel mendongak menatap kakeknya yang baru saja masuk, sekilas ia lumayan terkejut atas kehadiran kakeknya yang tiba-tiba. "Duduk dulu, Kek," sahut Axel cuek. Leon -- kakek Axelino-- berjalan menuju sofa di sudut ruangan dan duduk di sana. "Sudah lama tidak berjumpa, Kek. Apa kabar?" tanya Axelino basa-basi, pria itu berjalan mendekati sofa dan duduk di seberang sang Kakek. "Kabarku baik, tidak tahu esok," sahut Leon acuh tak acuh. Axel tertawa geli. "Aku doakan semoga Kakek besok sakit," ujarnya kurang ajar. Leon langsung menatap Axelino garang. "Cucu durhaka!" rutuknya. Sekali lagi, Axelino tertawa tapi dua detik kemudian tawanya lenyap dan digantikan dengan wajah serius menatap Leon. "Ada masalah apa hingga Kakek datang ke sini?" Leon mengangkat bahunya. "Hanya berkunjung." Axelino menatap Kakeknya curiga. "Aku yakin bukan itu alasanmu ke sini, Kek." Leon menghela napasnya berat. "Usiamu sudah hampir tiga puluh, apa kamu tidak berniat untuk menikah, Xel?" Axelino menggeleng. "Aku masih muda, belum saatnya menikah, Kek." "Kalau aku di sampingmu, sudah ku pastikan kepalamu ku jitak," gerutu Leon kembali kesal. "Hampir tiga puluh tahun kamu bilang masih muda? Kamu sehat?" omel Leon. Axelino mendengus dan menatap Leon malas. "Aku akan menikah, tapi nanti." "Usiaku sudah terlalu tua, aku hanya ingin melihatmu sudah menikah sebelum aku pergi. Kamu tidak berpikir aku akan abadi di dunia ini bukan? Bisa saja esok maut menjemputku," ucap Leon panjang lebar lalu menarik napas panjang. "Jangan berbicara seperti itu, atau aku akan meng-aminkannya," sahut Axelino menatap Leon datar. Selaknat-laknatnya ucapannya pada Leon, ia tidak benar-benar seperti itu. Axelino sangat menyayangi kakeknya ini. Leon menggeleng-gelengkan kepalanya. "Benar-benar cucu durhaka." "Apa selama ini tidak ada satu pun wanita yang mendekatimu? Kenapa aku tidak pernah melihatmu berkencan dengan wanita? Jangan bilang kamu?" Leon tidak meneruskan ucapannya, ia menutup mulutnya dan menatap Axelino tidak percaya. Baiklah terlalu lebay, tapi memang sengaja dilakukan oleh Leon. Anggap saja dia tengah akting. "Aku normal, Kek!" seru Axelino tidak terima. "Buktikan kalau begitu, aku mendapat kabar dari Xanda kalau kamu menjadi trending topik di negara ini. Kamu tau? Di dalam berita tersebut dinyatakan kamu adalah gay." Leon berpura-pura bergidik ngeri atas ucapannya sendiri seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jangan dengarkan Xanda, dia mengada-ngada!" Leon mengangkat bahunya, "Dia asisten terpercayaku, tidak mungkin ia berbohong apalagi mengada-ngada." "Sebelum aku pergi aku ingin melihatmu menikah, Axel. Coba kamu pikirkan lagi semua ini, aku yakin banyak wanita yang menyukaimu mengingat kamu mewarisi ketampanan ku," kata Leon. Axelino mendengus mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Kakeknya. Terlalu percaya diri. Sudah tua masih saja kepedean! "Kakek kembalilah ke hotel atau pulang ke rumah utama, pasti melelahkan melewati perjalanan udara Jerman ke Los Angeles," ujar Axel, bermaksud mengusir secara halus. Tuntunan pernikahan yang Leon lalukan cukup membuat Axelino pusing. "Kamu mengusir kakekmu ini?" Axelino menggeleng. "Bisakah untuk tidak berpikiran buruk selalu pada cucumu, Kek?" tanya Axelino pura-pura sakit hati dengan ucapan Kakeknya. Leon tertawa. "Baiklah, aku akan pulang. Ah iya, Xanda sepertinya pergi. Jadi sekretarismu Adam yang akan mengantarku pulang, tidak apa bukan jika aku meminjam sekretarismu?" Axelino mengangguk. "Tidak masalah, Adam ada di ruangan seberang, Kek. Kakek ke sana saja." Leon pun mengangguk lalu berjalan keluar ruangan Axelino, sebelum menutup pintu ia kembali mengingatkan Axelino untuk mencari calon istri untuk dinikahi dan tidak menjadi bujang lapuk selamanya. Setelah kepergian Leon, Axelino kembali duduk di kursinya. Pikirannya melayang pada Claretta, gadis yang ia tiduri. Apakah Claretta saja yang ia jadikan sebagai istrinya? Itung-itung sebagai tanggung jawabnya karena sudah mengambil kesucian Claretta. Kalau kamu bertanggung jawab pada Claretta, berarti kamu juga harus bertanggung jawab pada semua wanita yang kamu tiduri selama ini, Axel! ㅡsebuah bisikan muncul membuat Axelino berpikir ulang. Lalu, jika kamu bertanggung jawab pada Claretta. Apa kabar dengan Eleanor yang menjadi kandidat calon istrinya yang telah di atur oleh Mamanya? Axelino menggeram. Untuk apa juga ia harus bertanggung jawab? Bukankah gadis itu kemarin sudah memaki dan menampar wajahnya? Gadis seperti itu tidak perlu diberi pertanggung jawaban. *** Jam kini sudah menunjukkan pukul lima sore. Sudah dua hari ini Claretta benar-benar bolos bekerja, tiba-tiba ia merasa tidak peduli jika gajinya akan dipotong karena menghilang. Baginya gaji tidak lah penting dibandingkan suasana hati, tubuh dan pikiran yang kacau. Tok... Tok... Tok... Claretta mendengar ketukan pintu itu, tapi ia sama sekali tidak berniat membukanya. Brak! "Kenapa kamu tidak membuka pintunya?!" seru Sania kesal. Tak kunjung dibukakan pintu oleh Claretta membuat Sania cemas, tanpa babibu ia langsung menekan beberapa digit angka password apartemen Claretta. Tadinya ia berpikir jika ia masuk sembarangan maka Claretta akan marah, makanya ia memilih mengetuk pintu terlebih dahulu. "Kalau kamu mengetahui password nya, kamu bisa langsung masuk tanpa mengetuk, San," sahut Claretta cuek. "Kenapa tadi kamu tidak bekerja? Aku menunggumu tau!" Sania mengeluarkan pertanyaan yang sejak tadi bersarang di kepalanya. "Aku lelah," jawab Claretta jujur. Sania terdiam, ia menangkap nada sedih dan putus asa di suara sahabatnya itu. Sania mendekati Claretta dan duduk di samping gadis itu. "Apa ini ada kaitannya dengan kamu yang pulang kemarin malam dengan keadaan yang berantakan? Kamu bisa menceritakannya padaku, jangan memendam masalahmu sendirian." Sania memegang bahu Claretta, ia menatap Claretta penuh simpati. Claretta menggeleng. "Sama sekali tidak ada kaitannya dengan itu, San," dustanya. Maafkan aku, San. Aku belum siap bercerita padamu. ㅡbatin Claretta sendu. "Ya sudah kalau begitu. Ayo kita makan malam, aku yang traktir deh," hibur Sania. "Apa kakakmu tidak mencari dirimu? Kenapa sore-sore begini kamu masih berkeliaran?" Claretta mengalihkan topik. Sania menggeleng, "Aku sudah izin tadi. Lagipula aku dan Kak Xander sudah buat kesepakatan tentang kebebasanku haha." Claretta hanya mengangguk kecil saja. "Apa kamu lapar, Cla?" tanya Sania. Claretta menggeleng. Nafsu makannya hilang, bahkan perutnya sama sekali tidak berbunyi. "Oke, kamu lapar, kita pesan pizza dan burger aku yang bayar!" seru Sania heboh, ia mengambil ponselnya di tas untuk memesan makanan. "Tidak perlu, aku tidak lapar, San." Claretta menggeleng sekali lagi. Ia meyakinkan Sania dengan wajahnya. "Ck, tidak baik menolak rezeki," decak Sania kesal. Claretta menghembuskan napasnya. "Ya sudah terserah padamu." Sania pun tersenyum lebar lalu kembali fokus pada layar ponselnya dan memilih beberapa topping pizza dan minumannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD