05. Positive

1363 Words
Huekk... Huekk... Huekk... Claretta memuntahkan kembali isi perutnya untuk kesekian kalinya di pagi ini. Kini sudah pukul sebelas, ia sedang membersihkan beberapa meja cafe dan membantu Barbara sedikit memasak di dapur. Sejak tadi pagi ia merasa sangat tidak enak badan, ia merasa badannya lemas dan tak bertenaga. Sejak pukul lima subuh tadi semua dimulai, ia tiba-tiba bangun dan memuntahkan cairan bening. Sepertinya ia masuk angin, mengingat udara kini telah mulai memasuki musim dingin. Dari pagi hingga sekarang ia tidak berhenti muntah, tiap satu jam setidaknya ada tiga kali ia keluar masuk toilet. Claretta benar-benar sangat tersiksa sekarang. Apakah ia harus ke rumah sakit? "Cla, are you okay?" tanya Selin, salah satu pegawai tetap di cafe ini. Selin bekerja sebagai pelayan, sama seperti dirinya. Claretta membasuh bibir luarnya lalu mengangguk. "Hanya masuk angin biasa, Sel." Selin menatap Claretta tidak percaya. "Mustahil masuk angin membuatmu keluar masuk toilet terus! Kamu terlihat sangat pucat, Cla." Claretta hanya mengedikkan bahunya acuh. "Kalau tidak percaya, ya sudah. Ayo kembali bekerja, saat siang seperti ini banyak pelanggan yang datang!" Selin pun menurut dan tak bertanya lagi, mereka pergi keluar toilet dan melanjutkan pekerjaan masing-masing. Bruk! "Ya tuhan! Cla!" pekik Selin tertahan, matanya melotot melihat tubuh Claretta yang ambruk pingsan. "ANTONIO, BARBS, COMEHERE!" teriak Selin dengan suara yang keras, memanggil Antonio dan Barbara. Selin menatap Claretta panik, ia mengguncang-guncangkan tubuh temannya itu dan menepuk pelan pipi Claretta. "Apa yang terjadi?" Barbara datang bersama Antonio, mata mereka menatap kaget pada Claretta yang pingsan di dekapan Selin. "Apa yang terjadi pada Claretta?" tanya Barbara panik. "Hei, bawa dia ke rumah sakit. Feeling-ku sejak tadi ternyara benar, Claretta sakit!" seru Barbara. Ia menyuruh Antonio untuk menggendong Claretta dan masuk ke dalam mobil miliknya. Antonio dengan sigap menggendong Claretta dan memasukkam gadis itu ke dalam mobil Barbara seperti yang diperintahkan. Barbara masih menatap Claretta cemas. "Selin kamu pergi bersama Antonio, aku tidak bisa meninggalkan cafe ini begitu saja. Nanti aku akan ke sana," ucap Barbara. Selin mengangguk lalu ia memangku kepala Claretta. "Hati-hati Antonio!" Antonio mengangguk lalu masuk dan mulai mengendarai mobil Barbara meninggalkan pekarangan cafe. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit, karena Antonio membawa mobil dengan ugal-ugalan. Claretta pun dibawa ke ruangan UGD dan diperiksa oleh dokter. Menunggu itu tidak enak, itulah yang dirasakan oleh Antonio dan Selin. Menunggu Claretta diperiksa sangat menyiksa mereka, terlebih mereka juga takut kalau terjadi sesuatu yang serius pada Claretta. Tapi mereka berharap tidak ada hal yang serius terjadi. Seperti kata Claretta tadi, dia hanya masuk angin. Semoga saja hanya begitu. Lima belas menit kemudian, dokter keluar dari ruangan UGD. Selin lah yang pertama kali berdiri dan menghampiri sang dokter. "Jadi dok, apa yang terjadi?" "Apakah anda keluarga pasien?" Selin menggeleng, "Saya temannya, dok." Dokter perempuan itu menghela napas. "Bis-" "HEI, APA YANG TERJADI PADA CLARETTA?" Sania tiba-tiba muncul seraya berlari dan memekik, ia mendapat kabar dari Barbara kalau Claretta pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Mendengar itu tentu membuatnya kaget dan langsung meninggalkan kantor kakaknya lalu menuju ke sini. Hari ini Sania memang absen dari cafe karena ingin menemui Xander. Antonio sampai terperanjat kaget mendengar suara Sania yang sangat besar. "Kecilkan suaramu, ini rumah sakit," tengurnya. Sania nyengir, ia menatap dokter yang tak jauh di dekatnya lalu ia meringis dan bergumam maaf. "Jadi, apa yang terjadi, dok?" "Anda keluarga pasien?" Tanpa ragu Sania mengangguk, "Saya sepupunya." Tentu saja Sania berbohong. "Baik, ikuti saya, Nona." Sania pun mengikuti dokter itu ia memberi kode pada Selin dan Antonio untuk tetap tinggal dan menjaga Claretta. "Jadi dok, apa yang terjadi? Tidak ada hal yang serius bukan?" tanya Sania tidak sabaran, bahkan mereka baru saja duduk di kursi ruangan dokter yang bernama Adara ini. Dokter Adara mengangguk. "Memang tidak ada hal yang serius yang terjadi, tapi kalau bisa Ibu Claretta harus mejaga kondisi tubuhnya. Jangan bekerja yang berat-berat karena itu dapat memengaruhi kesehatan janin di perutnya," jelasnya. Sania tertegun. Janin? "Maksud dokter, sepupu saya hamil?" tanya Sania memastikan. Raut penuh keterkejutan tidak luput dari wajah Sania. Dokter Adara mengangguk. "Usia janin sudah memasuki satu bulan. Jangan bilang anda tidak tahu?" Sania terdiam, pikirannya tiba-tiba blank mendengar kabar ini. Siapa pelakunya? Siapa yang telah menghamili Claretta? Tangan Sania terkepal kuat, rahangnya mengeras. Ia benci mengetahui fakta ini, fakta bahwa Claretta hamil. Ayolah, Claretta baru berumur dua puluh satu. Belum saatnya menanggung beban seperti ini! "Baiklah, dok. Saya akan memperhatikan sepupu saya lebih baik lagi." Sania akhirnya berbicara. Dokter Adara tersenyum. "Kandungan seusia seperti ini memang sangat rentan, calon ibu akan sering muntah dan kandungan pun akan sangat rentan mengalami keguguran. Jadi tolong lebih diperhatikan lagi ya Ibu Claretta nya, jangan lupa sampaikan ini pada suaminya," pesan dokter Adara. "Baik, dok." "Obat bisa ditebus di apotek, Ibu Claretta bisa pulang saat sadar nanti." Sania kembali mengangguk paham. "Terima kasih, dok." Sania pun pamit undur diri lalu keluar dari ruangan dokter Adara. Setelah dari ruangan dokter Adara, Sania pergi ke apotek untuk menebus beberapa obat Claretta. Dan setelah itu ia kembali ke UGD. "Bagaimana, San? Claretta gapapa kan?" Antonio bertanya dengan cemas. Sania tersenyum lalu mengangguk. "Cuma masuk angin biasa sama kelelahan." Selin dan Antonio bernapas lega. "Syukurlah dia baik-baik saja." Sania hanya tersenyum. "Kalian kembali lah ke cafe, aku akan menunggu Claretta sadar." Selin dan Antonio mengangguk. "Baiklah, sampai jumpa, San!" Sania mengangguk kecil. "Hati-hati." Setelah kepergian Selin dan Antonio, Sania masuk ke UGD dan duduk di kursi sebelah ranjang Claretta. Ia menatap Claretta yang masih terbaring menutup matanya. Pikirannya melayang-layang pada kejadian satu bulanan yang lalu, di mana Claretta pulang pagi dengan kondisi yang berantakan. Apakah di saat itu semuanya dimulai? Siapa yang tega melakukan hal menjijikkan seperti itu pada Claretta hingga membuat sahabatnya ini hamil? Tangan Sania terkepal kuat, ia akan mencari tahu semuanya. Ia bukan detektif atau semacamnya, tapi ia bisa meminta bantuan pada kakaknya Xander. Apa yang tidak bisa dilakukan oleh Xander? Semua bisa kakaknya lakukan. "Ngghh." Lamunan singkat Sania buyar kala mendengar suara erangan Claretta. Ia menatap datar Claretta yang baru saja membuka mata. Dapat Sania lihat Claretta tengah memandangnya heran dan bingung. "Kenapa di rumah sakit? Sejak kapan kamu di situ, San?" tanya Claretta. Sania hanya diam, ia meneliti wajah Claretta yang berangsur normal, tidak pucat seperti tadi. "Siapa yang telah malakukannya padamu?" tanya Sania dingin. Claretta menatap Sania tidak paham. "Apa maksudmu?" Sania memutar bola matanya. "Kamu hamil, dan siapa ayah dari bayi itu Claretta Rinjani?" tanya Sania dengan penuh penekanan. Mata Claretta membola ia menatap horor sahabatnya. "A-apa maksudmu?" "Aku yakin telingamu masih berfungsi dengan baik," ketus Sania. "Ti-tidak mungkin aku hamil!" pekik Claretta tidak percaya. Kini pikiran Claretta sangat berkecamuk, bagaimana dia bisa hamil?! Seperkian detik kemudian ingatannya tentang kejadian sebulan lalu datang membuatnya tertegun. Apa karena kejadian itu yang membuatnya seperti ini? "Apa semua ini berawal sejak kamu pulang dalam keadaan berantakan waktu itu, Cla?" tanya Sania datar. Claretta diam, hati kecilnya mengatakan iya. Namun ia tidak berani mengungkapkannya pada Sania. "Jawab aku!" sentak Sania marah karena merasa diabaikan. Claretta menunduk, tangannya meremas sprei bangsal rumah sakit ini. Perlahan airmata keluar dari pelupuk matanya. Sania yang melihat Claretta menangis pun terhenyak, emosi yang menggelora beberapa detik lalu sirna. Ia menatap Claretta bersalah. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud membentakmu, Cla." Claretta hanya diam, lalu ia menarik dan melipat kakinya, menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya yang ditumpu di kedua kaki. "Kalau kamu ada masalah harusnya cerita padaku, jangan dipendam seperti ini." Sania berujar pelan, dengan perlahan ia mendekati Claretta dan memeluk sahabatnya itu. "Apa kamu tidak mau berbagi masalahmu padaku, Cla?" Sania terus mengoceh. Claretta mendongak dan menatap Sania sayu. "Axelino Maxwell." Sania menatap Claretta tidak mengerti. "Siapa dia?" "Orang yang membuatku seperti ini," ucap Claretta lirih. Mata Sania membulat, terkejut. "Serahkan urusan ini padaku, aku akan menghabisinya!" tukas Sania penuh amarah, matanya berkilat marah menatap Claretta. Claretta menggeleng. "Dia orang yang berkuasa, jangan membuat masalah, San." Sania menatap remeh dan berdecih pelan. "Kamu lupa aku siapa, Cla? Aku Sania Daniellova." Claretta menghembuskan napasnya berat. "Aku masih ingat kamu siapa, San. Aku hanya tidak ingin kamu kenapa-napa nantinya." Sania mendengus. "Baiklah, aku tidak akan ikut campur." Tapi bohong. ㅡbatin Sania. Tidak ada yang bisa menghalangiku balas dendam, lihat saja nanti. Pasti Axelino itu akan habis ditanganku. ㅡtekad Sania dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD