"Adam, ikuti aku," titah Axelino. Axelino memakai kembali jasnya dan memasukkan ponsel dan dompetnya ke saku jasnya.
Adam yang baru saja mengantarkan sebuah laporan keuangan pada Axelino pun menatap bosnya dengan heran.
"Tuan mau kemana?" tanyanya.
"Tempat Claretta," sahut Axelino santai.
Adam menatap Bosnya kaget. Dia tidak salah dengar bukan?
"Apa yang akan Tuan lakukan di sana?" tanya Adam lagi. Axelino menggerutu dalam hati, Adam sangat cerewet sekali.
Axelino mendengus. "Aku ingin memastikan sesuatu."
"Sesuatu seperti?" Adam masih bertanya.
Axelino menatap Adam tajam, matanya menyiaratkan 'sekali lagi kamu bertanya, aku pites palamu.'
Adam menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Baik, Tuan. Ayo!"
Axelino dan Adam berjalan beriringan menuju parkiran. Setibanya mereka di parkiran mereka masuk ke dalam mobil Axelino dengan Adam lah yang mengendarai mobil tersebut.
"Ke flat Claretta 'kan, Tuan?" tanya Adam memastikan sekali lagi tempat tujuan mereka.
Axelino mengangguk dengan malas. "Bukankah sudah ku katakan tujuan kita sekarang?"
Dalam hati Adam bertanya-tanya apa maksud dan tujuan Axelino pergi ke rumah wanita bernama Claretta. Apa mereka memiliki sebuah hubungan khusus? Namun Adam tidak ingin memikirkannya lebih jauh, ia memilih fokus mengendarai mobil.
Sekitar dua puluh menit kemudian mereka tiba di sebuah gedung apartemen yang sangat jauh dari kata mewah, apartemen itu terlihat sangat sederhana.
"Apa Tuan tau di flat nomor berapa dia tinggal?" tanya Adam.
"Tinggal kamu tanya saja nanti pada resepsionisnya nanti, gampang kan?" sahut Axelino santai. Pria itu membuka mobil dan berjalan keluar.
Kaki panjangnya berjalan memasuki lobby apartemen sederhana ini. Adam mengekori Axelino dari belakang. Axelino berjalan menuju sofa yang tersedia, sedangkan Adam ke meja resepsionis.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya seorang resepsionis perempuan yang sedang berjaga di mejanya.
"Hm, penghuni bernama Claretta Rinjani tinggal di lantai berapa ya, Nona?" tanya Adam, ia tersenyum. Bermaksud tebar pesona karena resepsionis itu terlihat cantik.
"Anda siapa, ya?" tanya Resepsionis wanita itu.
"Saya temannya, baru datang dari Chicago dan berniat mengejutkannya," jawab Adam dengan lancar. Bagus, ia pandai sekali mengarang cerita.
"Miss. Rinjani tinggal di lantai tiga flat nomor 301," ujar resepsionis itu.
Adam mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Adam berbalik dan kembali menghadap Axelino yang dari kejauhan sedang memainkan ponselnya.
"Dia tinggal di lantai tiga, Tuan. Flat nomor 301," ujar Adam saat sudah di depan Axelino. Axelino berdiri dan berjalan duluan menuju lift.
Tidak butuh waktu yang lama, kini mereka berdua telah sampai di lantai tiga dan berdiri di depan pintu bernomor 301. Axelino menekan bel flat Claretta.
Trriiingggg!
Hening, tidak ada jawaban sama sekali.
Adam mencoba menekan bel itu juga berulang kali lalu mengetuk pintu karena tidak kunjung mendapat balasan.
Tok... Tok... Tok...
Tok...
Cklek!
Tangan Adam berhenti di udara saat pintu Flat telah dibuka menampilkan sosok Claretta yang memakai kaos putih dan celana pendek sepaha.
Alis Claretta terangkat naik melihat dua orang asing yang berdiri di depan pintu.
"Ada perlu apa ya, Tuan?" tanya Claretta. Ia masih belum menyadari kehadiran Axelino karena ia fokus menatap Adam.
"Claretta Rinjani." Mata Claretta kini beralih pada pria berjas abu-abu di samping pria yang berjas hitam.
Matanya terbelalak kaget melihat seseorang yang ia kenal berdiri di hadapannya. Mundur selangkah, Claretta langsung menutup pintu flatnya dengan gerakan cepat. Namun pergelangan tangan pria berjas hitam menghalaginya dan membuka lebar pintu kembali secara paksa.
"Apa yang anda lakukan?!" seru Claretta panik. Ia berusaha kembali menutup pintu sekuat tenaga.
"Jangan takut, kami hanya ingin berbicara pada anda, Nona." Adam bersuara, ia ikut menahan pintu flat ini dengan kuat. Membantu Bosnya tentu saja.
Claretta menggeleng-gelengkan kepalanya, menolak bicara. "Tidak ada yang harus dibicarakan, silakan pergi dari sini," usirnya dengan ketus.
Axelino menyeringai ia memajukan tubuhnya dan mendorong kuat pintu flat Claretta hingga terbuka lebar. Claretta sampai terjungkal ke belakang tapi untungnya tidak hingga jatuh.
"Apa yang kamu lakukan!?" Claretta berseru marah. Rasa takut memang mendera dirinya, tetapi kemarahan di dalam dirinya lebih mendominasi saat ini.
"Aku hanya ingin berbicara denganmu," ujar Axelino santai.
Pria itu melenggang masuk ke dalam flat lalu duduk di salah satu sofa kecil yang ada di tengah-tengah ruangan.
Claretta menatap tajam pria yang bersikap seenaknya saja itu. Saat ini ia sedang sendirian di flat, karena Sania pergi sejak pagi tadi.
Adam menyusul duduk di samping Axelino. "Kenapa berdiri? Duduklah," titah Axelino.
Claretta merasa tidak harus patuh pada pria arogan di depannya sekarang. Ia mendelik tajam, "Keluarlah sekarang selagi aku masih berbicara dengan baik pada kalian."
Axelino terkekeh geli melihat tingkah Claretta.
Hei, apa ada yang lucu?!
"Adam, kamu tunggulah aku di mobil. Aku akan berbicara berdua dengannya, kamu tahu bukan? Barusan ia mengusirmu," ujar Axelino. Adam mengangguk singkat lalu berdiri. Ia pamit dan berjalan keluar flat Claretta.
"Aku tidak mengusirnya saja, kamu juga tidak diterima di sini. Bisa kamu pergi, Tuan?" usir Claretta ketus.
"Sekarang jelaskan padaku tentang ini." Axelino mengeluarkan secarik kertas yang tadinya tersimpan di balik jas yang ia kenakan, ia mengabaikan pengusiran yang dilakukan secara terang-terangan oleh Claretta.
Claretta mengambil kertas yang diberikan Axelino, matanya terbelalak kaget melihat diagnosa tentang dirinya di rumah sakit beberapa hari yang lalu.
Pria ini sudah tau bahwa ia hamil? Seketika wajah Claretta berubah pucat, apa yang akan dilakukan pria ini? Apalah dia akan membunuhnya?
"I-ini ti-tidak benar," sahut Claretta gelagapan. Ia melempar sembarangan kertas itu.
Axelino menatap Claretta dengan mata yang memicing, curiga. "Aku tidak percaya."
"Semua sudah jelas," sambung Axelino sambil menyeringai.
"Kejadian waktu itu hanyalah kecelakaan dan sekarang timbul hasil akibat dari kecelakaan itu." Axelino menjeda kalimatnya, ia menatap Claretta datar.
"Anggap tidak terjadi apa-apa, dan gugurkan kandunganmu. Aku tidak ingin terikat dengan siapapun, berapa banyak uang yang kamu butuhkan? Aku akan ganti rugi karena sudah mengambil keperawananmu."
Claretta menganga mendengar penuturan Axelino barusan. Benar-benar pria berengsek!
BRAKKK!
"Pergi sana kamu b******n! Mati aja kamu sekalian!" Tiba-tiba Sania datang dan langsung melempar tas ransel ber-merk Gucci miliknya tepat ke arah Axelino.
Ransel mahal itu mendarat dengan sempurna menghantam punggung Axelino. Pria itu menggeram, ia berbalik menatap Sania dengan mata yang tajam.
"KELUAR KAMU DARI FLAT INI, SIALAN!" teriak Sania, mengusir Axelino.
Axelino mendengus. "Besok akan ku jemput, kita akan ke rumah sakit."
Setelah mengatakan hal itu, Axelino pergi keluar dengan langkah yang santai. Meninggalkan Claretta yang tertegun dan Sania yang masih marah-marah mengusir Axelino. Sania juga menendang kaki Axelino beberapa kali, namun itu tidak membuat Axelino marah. Axelino sama sekali tidak merasakan sakit akan tendangan itu.
Claretta tergugu di tempatnya, tangannya mengelus perutnya yang masih rata. Anaknya tidak bersalah, kenapa harus dilenyapkan?
Axelino, b******n tidak tahu malu yang sangat kejam. Claretta sungguh membenci pria itu.
Terkutuklah kamu, b******n!