BAB 08 - Sehangat Kasih Sayang Ayah

1558 Words
Sonya sampai tergagap, dia melangkah maju demi memastikan apa yang dia lihat. Sempat berpikir bahwa yang kini dia lihat hanya sebatas halusinasi, tapi semua itu terbantahkan tatkala Zeron mendekat dan duduk tepat di sofa yang tadi hampir Sonya tiduri. Belum berani bicara lagi, Sonya jujur saja takut pria itu marah karena dia memang tidak izin sama sekali. Perkiraannya bahwa semua akan baik-baik saja dengan pulang esok hari ternyata salah besar. Sungguh tidak dia sangka bahwa sang suami akan menyusulnya ke rumah sakit. Dan, jika dilihat Zeron masih mengenakan pakaian yang dia gunakan tadi siang. "Ehm-" "Kamu sejak kapan di rumah sakit?" Mereka bicara secara bersamaan, tapi Zeron lebih mendominasi hingga Sonya mengalah untuk sesaat. "Tadi siang, Pak." Zeron tampak berpikir, keningnya sampai berkerut di sana. "Tadi siang?" "Iya," jawab Sonya disertai anggukan pelan. Dan hingga detik ini Sonya masih berdiri dan belum berani untuk ikut duduk di sebelah sang suami. Jika ditanya alasannya, tentu saja dia gugup dan khawatir Zeron risih. Mengingat, sebelum ini hubungan mereka memang tidak sedekat itu. Sonya tidak senekat anak lain yang terang-terangan mencari perhatian pada pria tampan itu. Dia, terlalu polos dan juga lurus sampai Zeron sendiri menghela napas panjang dibuatnya. "Kamu kenapa berdiri di situ? Bisulan?" "Ah?" Sonya mengerjap pelan, pertanyaan Zeron agak konyol, tapi jujur dia bahkan tidak memiliki niat untuk tertawa saking takutnya. "Kamu," ulang Zeron tanpa menatap ke arah istrinya. Pria itu kini beralih menggulung lengan kemeja hingga ke sikunya. "Kenapa berdiri di situ, Sonya?" Kembali Zeron mengulangi pertanyaannya, tapi kata-kata terakhir yang tadi cukup mencengangkan tak lagi terdengar. Tanpa menunggu diperintahkan kedua kali atau dengan kata-kata kasar lebih dulu, Sonya segera mendekat dan duduk di sisi Zeron. Jarak mereka lumayan, seperti musuh bebuyutan. Sesekali, Sonya melirik kegiatan Zeron melalui ekor matanya. Dari tempatnya duduk, Sonya bisa melihat Zeron menyibukkan diri dengan mengecek beberapa pesan di sana. Kemungkinan bukan berurusan dengan pekerjaan, karena melihat dari nama grupnya, seperti grup keluarga. "Si-alan, bisa-bisanya mereka menjadikanku bahan candaan," gumam Zeron begitu pelan, nyaris seperti bisikan. Tak selesai di sana, pria itu juga menutup ponselnya segera dan dari gelagat yang Zeron perlihatkan, bisa dipastikan dia sedang kesal. Dan, sebelum Zeron melirik ke arahnya, Sonya sudah lebih dulu memalingkan muka lantaran khawatir tertangkap basah. Sudah tentu dia akan malu jika sampai terjadi nantinya. Karena yang dia lakukan termasuk lancang, andai Zeron sadar bahwa dirinya mengintip, besar kemungkinan akan dihukum atau minimal mendapat kata-kata mutiara yang biasanya sedikit di luar logika. "Kamu tadi mau bilang apa?" Suara Zeron kembali terdengar memecah keheningan. Cukup santai dan tidak bermaksud mengejutkan. Anehnya, Sonya tetap terperanjat bahkan tangannya sampai dingin. "Ehm it-itu ...." "Apa?" "Maaf, saya tidak izin untuk datang ke sini tadi siang," ucapnya bergetar, dan itu tidak dibuat-buat. Dia memang gugup, berhadapan dengan Zeron dari jarak sedekat ini adalah sesuatu yang tak pernah Sonya duga karena sebelumnya, dia hanya melihat Zeron dari kejauhan saja. Permintaan maafnya tak segera mendapat tanggapan. Dan hal itu makin membuat hati Sonya semakin tak karu-karuan. "Baguslah kalau sadar, setidaknya saya tidak perlu menjelaskan bahwa itu sebuah kesalahan." Dingin sekali dia menjawab, mungkin memang benar marah dan Sonya tidak ingin merasa tersakiti olehnya. "Iya, Pak ... say-" "Ibumu bagaimana? Apa sudah membaik?" Belum selesai Sonya bicara, pria itu kembali menyela. Kali ini, dia tidak lagi hanya duduk, tapi beranjak berdiri dan melangkah demi memandangi mertuanya dari dekat. Sonya mengekor di belakangnya, dan bermaksud menjelaskan pertanyaan yang Zeron lontarkan tentu saja. "Sedikit lebih baik, dokter bilang masih ada harapan beliau bisa sembuh total." "Syukurlah jika begitu," ungkap Zeron disertai helaan napas panjang. Tatapan Zeron begitu tulus, dengan jelas Sonya melihat pria itu menggenggam jemari ibunya sembari memberikan usapan lembut di sana. Bisa ditarik kesimpulan sebenarnya pria itu sangat perasa, peduli dan tahu tata krama. Masih Sonya ingat betul bagaimana Zeron datang baik-baik dan meminta persetujuan agar diterima sebagai menantu. Ya, Zeron sebaik itu sebenarnya. Walau statusnya adalah istri yang Zeron bayar mahal, tapi pria itu tidak memperlakukan dirinya layaknya barang. Di hadapan ibunya, Zeron meminang dirinya baik-baik, layaknya memang diinginkan. Andai saja sang ibu tidak mengalami gangguan ingatan, kemungkinan besar akan sebahagia itu dan tidak akan bertanya berulang-ulang siapa suaminya. . . "Sudah malam, Bapak tidak pulang?" tanya Sonya memecah keheningan. Terhitung satu jam sejak awal datang, Zeron tampaknya betah di sana hingga Sonya memberanikan diri untuk bertanya. "Terus kamu?" "Saya?" Sonya menunjuk dirinya sendiri, jelas bingung tentu saja. "Hem." "Saya ...." Sonya sontak melirik ke arah ibunya. Sejak tadi, wanita itu terbangun dan mereka sempat berbincang hangat hingga membuatnya seolah lebih dekat bersama Zeron, sang menantu. Sebagai seorang ibu, dan kebetulan memori tentang Zeron masih segar di otak Nirina, wanita itu mengulas senyum hangat sebelum kemudian meminta putrinya untuk pulang. "Tapi, Bu?" "Sudah, ikut saja suamimu ... ibu tidak masalah, banyak dokter dan suster di sini, besok-besok datang lagi." Sonya menunduk, berat sekali sebenarnya andai dia harus meninggalkan sang ibu. Namun, di sisi lain Zeron tampaknya memang sengaja datang untuk menjemput, hanya memang belum bicara saja. "Onya ...." "Heum?" "Sana pulang, Nak, lagian di sini tidak ada tempat untukmu tidur." "Itu ad-" "Sayang jangan membantah, ini perintah, sana pulang," titah Nirina tak terbantahkan, dan hal itu membuat Sonya mau tidak mau harus pulang. Mereka pamit baik-baik, Zeron juga demikian. Pria itu diperlakukan layaknya menantu kesayangan, karena memang status Sonya adalah anak tunggal dan tidak akan mungkin ada menantu lain. Selain itu, salah-satu faktor utama kenapa Zeron begitu terima ialah tata krama dan etikanya. Di hadapan sang mertua, dia memang terlihat sebagai suami yang berwibawa dan siap membahagiakan istrinya. Jelas Nirina tidak akan menduga bahwa Zeron telah membayar anaknya hanya demi mendapatkan status sebagai suami di hadapan keluarga besarnya. "Hati-hati ... Ibu serahkan Sonya sepenuhnya, tolong jaga baik-baik karena hanya dia harta yang ibu punya, Zeron." "Iya, Bu, tidak perlu khawatir soal itu," ucap Zeron meyakinkan sang mertua, tampak tidak ada keraguan ketika dia mengucapkannya. Bahkan, Zeron bersandiwara layaknya pria romantis dengan merangkul pundak Sonya dan mengelusnya pelan ketika bicara di hadapan sang mertua. Begitu keluar dari ruangan tersebut, rangkulan itu dia lepas dan berjalan biasa saja di sebelah sang istri. Sedikit menyebalkan, Sonya bahkan mencebikkan bibir mendapati perlakuan Zeron yang begitu pandai mengambil hati ibunya itu. Sepanjang perjalanan pulang, Sonya diam saja, begitupun dengan Zeron yang sibuk mengemudi di sampingnya. Sesekali ada notifikasi pesan dari ponsel Zeron, tapi berakhir diabaikan karena mungkin tak penting di matanya. Sampai akhirnya, secara tiba-tiba Sonya mendapati perutnya berbunyi hingga wajahnya sontak bersemu merah. "Kamu? Kamu belum makan?" tanya Zeron tak melepaskan Sonya dari pandangan, seolah memastikan juga karena seingatnya sudah diberikan uang untuk membeli makan. "Sudah." "Sudah kapan?" "Tadi siang, pas di rumah sakit." Seketika itu, Zeron mengembuskan napas kasar. "Terus malam ini belum?" Sonya ingin berbohong, tapi lagi dan lagi perutnya berisik. Seolah mengerti bahwa yang di sebelah adalah ATM berjalan dan harus dikuras hartanya. "Dasar ... kamu ingin merusak nama baik saya atau bagaimana?" "Ti-tidak, lagian apa hubungannya?" "Jelas ada, kalau sampai ibumu tahu bagaimana? Sudah pasti dia akan berpikir bahwa menantunya membuatmu kelaparan, paham?" "Soal itu jangan khawatir, saya sudah bilang kalau Bapak kasih-" "Shuut, saya tidak memintamu bicara, Sonya." Tak hanya sekadar berucap, tapi pria itu juga menempelkan jemari ke bibir Sonya sebagai cara untuk membuatnya bungkam. Tanpa banyak bicara lagi, Zeron kemudian berbalik ke sebuah restoran cepat saji. Makan malam paling cepat dan bisa dipastikan bergizi, dia memberi satu porsi, cukup untuk istrinya sebelum pulang dia sudah makan malam. Selesai dengan itu, mereka lanjut pulang dan begitu tiba, Zeron kembali bicara hingga dan memperlakukan Sonya layaknya bocah. "Apapun yang terjadi, utamakan perut dulu ... tidak perlu sampai keroncongan baru inisiatif mau makan." Sonya menatap satu cheese burger dengan kentang goreng yang sudah Zeron siapkan di meja makan. Duduk tanpa segera meraihnya, kemudian disusul dengan kehadiran Zeron yang kembali dengan segelas air dan juga obat di tangan kanannya, kemungkinan pria itu sengaja masuk ke kamar tamu lebih dulu. "Obatnya jangan lupa diminum, setelah itu mandi dan langsung tidur ... ya," ucap Zeron begitu lembut, dan Sonya hanya mampu mengangguk pelan. Lidahnya kelu, tak sanggup hanya untuk sekadar mengucapkan terima kasih. Perhatian dan sikap hangat pria itu membuat matanya berkaca-kaca, dan ketika di suapan pertama Sonya tak kuasa menahan tangis karena sudah begitu lama dia tidak mendapat perhatian dari seorang pria yang dulu adalah ayahnya. Orang bilang, menangis saat makan adalah another level of pain, dan itu yang saat ini Sonya rasakan. Menjadi seorang yatim pasif yang mana dia punya ayah tapi lepas tangan sakitnya luar biasa, dan malam ini dia seolah merasakan hangat kasih sayang ayahnya lewat Zeron. Dan, setelah semua tuntas dia beranjak ke kamar untuk mandi dan lanjut tidur seperti yang Zeron perintahkan. Mengingat pria itu, dia melirik ke arah kamar utama, kamar yang dia ketahui tempat Zeron berada. Kemungkinan, untuk malam ini dan seterusnya, mereka tidak akan sekamar lagi karena Zeron sedang tidak dalam keadaan mabuk. Jujur dia juga tidak berharap untuk sekamar sebenarnya, dan Sonya juga tak ingin memikirkan tentang itu terlalu lama. Dia fokus saja, mandi dan menenangkan diri beberapa saat. Hingga keluar, dengan menggunakan jubah mandi, Sonya melangkah pelan. Tak disangka, begitu keluar dari kamar mandi dia mendapati Zeron yang sudah duduk manis di tepian ranjang dengan penampilan tampak segar tengah mengutak-atik ponselnya. Detik itu pula, jantung Sonya berdegup kencang dan dia mulai menerka apa yang terjadi pada sang suami. "Pak Zeron ngapain di sini? Apa mungkin mabok lagi?" . . - To Be Continued -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD