BAB 09 - Sudah Selesai?

1452 Words
Saking tak percaya dengan apa yang dia lihat, Sonya sampai mengira bahwa Zeron tengah mabuk. Ingin sekali dia pastikan sendiri, tapi nyatanya dia tak seberani itu. Karena itulah, Sonya hanya menerka-nerka lewat apa yang dia lihat. Tanpa berani bersuara, Sonya diam saja dan pasrah menunggu Zeron bicara. Dengan langkah ringan namun tergesa, Sonya menuju lemari pakaian. Tangannya menyibak pintu lemari dan meraih satu set pakaian tidur yang tertata rapi di dalamnya. Ada cukup banyak pilihan, sebagian besar merupakan hadiah dari keluarga suaminya, baik dari para ipar maupun sang mertua. Kebanyakan berwarna netral, namun matanya langsung terpaku pada piyama hitam polos yang terlihat paling sederhana. Kebetulan, warna itu senada dengan piyama yang dikenakan Zeron malam ini. Entah kenapa, hal sepele itu membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Setelah mantap dengan pilihannya, Sonya segera melangkah menuju kamar mandi. Tentu saja, dia tidak mungkin berganti pakaian di hadapan Zeron. Meski secara teknis dia adalah istrinya, tetap saja ada batas malu yang belum bisa ia langgar. Sebenarnya dia bisa saja meminta Zeron keluar untuk sementara waktu, tapi Sonya cukup tahu diri. Dia tak ingin merepotkan atau terlihat menyusahkan. Maka, tanpa berkata apa-apa, dia memilih mencari jalan tengah, berganti pakaian di kamar mandi secara diam-diam. Namun baru saja tangannya menyentuh kenop pintu kamar mandi, suara berat Zeron terdengar dari arah belakang, menghentikan gerakannya seketika. "Ganti saja di sini, jangan biasakan mempersulit hidupmu," ucap Zeron datar, namun terdengar sangat tegas. Sonya membeku. Suaranya tak bisa keluar. Dari posisi berdirinya, dia bisa melihat bahwa Zeron tidak menatap ke arahnya. Pria itu masih duduk dengan pandangan lurus ke depan, seolah sama sekali tidak peduli. Tapi justru karena itulah, Sonya semakin bingung. Bagaimana mungkin Zeron tahu apa yang akan ia lakukan? Bagaimana bisa dia berkata seolah tahu persis situasi yang sedang terjadi, padahal tak menoleh sedikit pun? "I-iya, Pak ...." Suaranya nyaris tak terdengar. Rasa takut masih mendominasi dirinya, membuatnya memilih patuh tanpa banyak membantah. Pelan-pelan, Sonya bergerak mengambil posisi paling aman, tepat di belakang Zeron, memastikan tubuhnya tidak berada dalam jangkauan pandang sang suami. Meski pria itu tidak melihat ke arahnya, Sonya tetap merasa tak nyaman jika harus berganti pakaian di tempat terbuka. Dengan hati-hati, dia membelakangi Zeron. Tangannya bergetar, dia memulainya dari dalam, mengenakan pakaian pelindung terlebih dahulu. Setelah itu, perlahan dia mengenakan atasan piyama, lalu dilanjutkan dengan celana panjang yang pas di tubuhnya. Gerakannya canggung, serba hati-hati, seolah setiap sentuhan kain pada kulitnya bisa memicu ketegangan baru. Tapi untungnya, semua proses itu selesai tanpa hambatan berarti. Dan sepanjang waktu itu, Zeron tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi. "Huft, selesai," Begitu selesai mengenakan pakaian tidurnya, Sonya menarik napas lega. Udara terasa lebih ringan di dadanya, seolah beban ketegangan yang sempat mencengkeramnya perlahan mengendur. Ia menunduk, merapikan bagian bawah piyama sambil dalam hati bersyukur karena semua berlangsung lancar tanpa insiden memalukan. Dia benar-benar mengira semuanya aman. Tak ada yang melihat, pikirnya. Zeron masih tetap di tempat semula, tak bergeming, tak mengucap sepatah kata pun sejak perintah singkat tadi. Maka dengan pelan, Sonya bergerak menuju sisi ranjang, hendak berbaring tanpa menimbulkan suara. Namun, tanpa dia sadari, Zeron ternyata tak sepenuhnya diam. Dari tempat duduknya yang tampak tenang, tepat di hadapannya terpasang sebuah cermin besar yang menjadi bagian dari lemari. Dan lewat pantulan di permukaan cermin itu, Zeron bisa menyaksikan segalanya, tanpa perlu menoleh sedikit pun. Selama Sonya mengganti pakaian, mata tajam Zeron memperhatikan setiap gerak-geriknya. Dari saat wanita itu memulai dengan sedikit gemetar, hingga saat dia buru-buru membalikkan badan untuk berganti pakaian sambil tetap menunduk malu. Semua tertangkap jelas di dalam pantulan yang tak bisa Sonya duga. Sudut bibir Zeron terangkat membentuk senyum tipis. Tapi senyum itu bukan senyum hangat atau ramah. Ada sesuatu yang ganjil di balik ekspresi itu, terlalu tenang, terlalu dingin, dan menyimpan banyak maksud tersembunyi. Senyum yang tak memberi rasa nyaman, justru membuat bulu kuduk meremang jika seseorang menyadari maknanya. Senyum milik seorang pria yang menikmati permainan dalam diam. Yang menyembunyikan agenda di balik sorot matanya yang datar. Seorang pria berbahaya yang bisa menipu dengan wajah datar dan suara tenang. Dan, tepat di saat Sonya melewatinya untuk meletakkan jubah mandi ke tempatnya, Zeron kembali bersikap tenang dan mengalihkan pandangan ke layar ponsel seolah memang hanya itu yang dia lakukan. Meski begitu, ekor matanya tetap bisa menangkap gerak-gerik Sonya dan begitu sadar sang istri hendak mengoleskan lotion anti nyamuk ke lengannya, Zeron sontak angkat bicara. "Sonya!!" . . "Kenapa, Pak?" tanya Sonya dengan nada hati-hati, matanya menatap Zeron yang tiba-tiba melontarkan larangan tak terduga. "Kamu ngapain pakai itu? Di sini tidak ada nyamuk," jawab Zeron dengan alis yang sedikit berkerut, nada suaranya terdengar tak suka. Sonya masih terdiam, di telapak tangan, lotion anti nyamuk favoritnya sudah terlanjur dituang. Aroma khas yang wangi dan menyegarkan mulai menyebar, tapi tangan Sonya tetap membeku. Cara Zeron melarangnya terlalu mengejutkan, seperti ada hal besar di baliknya. "Iya, tapi saya suka. Ini wangi dan ada ekstrak bengkoangnya juga." Sonya berusaha menjelaskan pelan-pelan, dengan harapan Zeron mengerti. Tapi Zeron hanya menatapnya dengan ekspresi datar. Bodo amat! pikir pria itu. Mau ada ekstrak bengkoang, mawar, atau bahkan serpihan berlian di dalamnya, semua itu tidak ada artinya. Yang penting, rasa pahit dari lotion itu masih jelas terasa di lidahnya. Namun, tentu saja Zeron tidak akan mengatakannya secara terang-terangan. Itu bunuh diri namanya. "Saya bilang jangan ya jangan. Paham?" Suara Zeron penuh penekanan, juga tegas dan Sonya masih tetap bingung dibuatnya. "Iya, tapi maksud saya kenapa dilarang?" "Pahit!!" jawab Zeron spontan, dan seketika, dia tampak menyesal. Wajahnya berubah memerah, matanya sedikit membesar, seolah sadar bahwa dia baru saja membocorkan sesuatu yang seharusnya tetap terkubur dalam-dalam. "Pahit?" Sonya mengulang dengan alis berkerut. Otaknya masih sibuk memproses maksud ucapan Zeron. Agaknya dia melupakan sesuatu, sungguh dia lupa bagaimana pria itu tak hanya memeluk atau mencium sekujur tubuhnya, tapi menjelajahi lebih jauh dari itu. "Pahit gimana maksudnya?" Sonya masih tampak penasaran, dan Zeron segera membuang muka. "Ehm ... ma-maksud saya, baunya aneh. Jangan dipakai." Ucapannya terbata, suara Zeron juga terdengar gugup walau coba ditutupi. Di sisi lain, Sonya hanya menarik napas panjang. Bukannya bertanya lagi, dia memilih menaruh kembali lotion itu, berusaha mengembalikan cairan yang tersisa ke dalam botolnya. Wajahnya tetap tenang, tapi dalam hatinya, dia memaki. "Ada-ada saja. Hidung Pak Zeron itu rusak atau bagaimana? Ini lotion wangi banget padahal." Tentu saja, omelannya hanya dalam hati. Tak mungkin dia berani mengucapkannya langsung. Keberaniannya belum sampai sejauh itu. Sambil membersihkan telapak tangannya dengan tisu basah, Sonya memastikan tak ada sisa aroma lotion yang menempel. Semua dia lakukan demi memenuhi keinginan Zeron, pria tak tertebak yang dia yakini akan tidur di kamar ini. Dugaan itu semakin kuat ketika Zeron tiba-tiba merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan menepuk sisi kosong di sebelahnya, seolah memberi isyarat agar Sonya tidur segera. Memang tidak ada kata-kata, hanya tindakan. Akan tetapi, cukup untuk membuat Sonya terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menurut. Lebih baik begitu, daripada ditegur dengan nada kasar seperti tadi. Perlahan, dia naik ke atas ranjang dan merebahkan diri. Sonya sengaja memilih posisi di tepi ranjang, nyaris menggantung, seolah kalau dirinya berbalik dalam tidur, dia akan jatuh ke lantai. Keheningan menyelimuti kamar. Tak ada percakapan, hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar samar. Sonya menggeliat kecil, menggerakkan kaki yang mulai kedinginan. Tapi gerakan kecil itu rupanya tak luput dari perhatian Zeron. Zeron hanya menatap, lama, penuh arti. Beberapa saat kemudian, pria itu berdehem pelan, jelas untuk menarik perhatian. "Kenapa, Pak? Mau saya matikan lampunya?" tawar Sonya, menatap lampu utama yang masih menyala. "Ehm, boleh," jawab Zeron singkat. Tanpa protes, Sonya bangkit dari ranjang, melangkah pelan dan mematikan lampu utama. Seketika kamar jadi redup, hanya disinari cahaya lembut dari lampu tidur di nakas. Suasana berubah drastis, hangat, tenang, tapi juga menyimpan ketegangan samar. Sonya kembali ke ranjang, menarik selimut sampai ke d**a. Udara malam terasa menusuk, dan rasa canggung mulai menguasai dirinya. Tiba-tiba, dia merasakan ranjang sedikit bergerak. Gerakan halus, namun cukup untuk membuatnya tahu bahwa Zeron tengah bergeser, mendekat. Semakin lama, jarak itu menghilang. Sonya tak tahu kapan pastinya Zeron mulai berpindah, tapi saat ini, tubuh pria itu sudah berada sangat dekat. Napas mereka hampir bersinggungan. Di bawah temaram cahaya lampu tidur, mata Sonya bertemu dengan tatapan Zeron. Tatapan itu gelap, penuh misteri dan entah kenapa, ada sisi menghipnotis yang membuat Sonya sulit berpaling. Tatapan itu jatuh ke bibirnya lebih dulu. Cukup lama sebelum akhirnya perlahan naik, hingga menatap matanya langsung. Sonya menahan napas, jantungnya berdentum di d**a, keras dan tak teratur. Zeron mencondongkan tubuh sedikit. Bibirnya terbuka, namun suaranya baru keluar beberapa detik kemudian. "Ehm ... Sonya," ucapnya begitu pelan hingga membuat Sonya meneguk ludah dan tak mampu menjawab. Tatapan Zeron kian menusuk, dan saat bibir mereka menyisakan jarak beberapa inci, suara berat Zeron kembali terdengar jelas di telinga Sonya. "Bagaimana pendarahannya ... apa sudah selesai?" . . - To Be Continued -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD