Lebih dari satu jam Sonya menghabiskan waktu di kamar mandi hanya demi berusaha membersihkan diri, sekaligus menghilangkan jejak Zeron di dalam tubuhnya agar tidak menjadi bayi.
Begitu keluar, bibirnya sudah pucat pasi dan jemarinya berkerut seperti jari aki-aki. Langkahnya begitu pelan, sakit yang dia rasakan cukup menghambat pergerakan karena ini adalah pengalaman pertama baginya.
Hal itu bisa dibuktikan dengan noda darah di atas seprai, tepat di sebelahnya Zeron sudah tertidur pulas dengan selimut yang hanya menutupi bagian sensitifnya.
Menyaksikan pria itu tidur dalam dalam dan terlihat begitu tanpa beban, Sonya hanya menghela napas panjang.
"Bagaimana bisa dia tidur setenang itu setelah merenggut kehormatanku?" Kata-kata itu lolos dari bibir Sonya, dan jelas mengandung makna tersirat bahwa dia tak habis pikir dengan jalan pikiran Zeron.
Ingin rasanya dia berontak lagi, menunjukkan kemarahan dan bersikap sebagai korban. Namun, apa hendak di kata? Semua sudah terjadi, secara jelas dan nyata dia tidak perawan lagi dan yang merenggutnya adalah suami sendiri.
Tidak ada yang salah sebenarnya, kan memang haknya Zeron. Terlebih lagi, pernikahan mereka sah secara agama, juga negara.
Hanya tidak diumumkan di depan umum saja, atau mungkin belum dan Sonya berharap jangan sampai. Cukup keluarga mereka saja yang tahu, selebihnya tidak perlu karena sesuai permintaan Zeron, dia ingin citra di keluarga itu baik, tidak lebih.
Sejenak melupakan tentang itu, saat ini Sonya merasa ngantuk berat dan ingin terus turut istirahat. Usai menyempatkan diri untuk berganti pakaian, Sonya merebahkan tubuhnya di sisi ranjang yang kosong.
Pelan-pelan dia kembali naik, selain untuk meminimalisir rasa sakit, Sonya juga khawatir sampai Zeron terjaga dan berakhir diterkam untuk kedua kalinya.
Begitu merebahkan dirinya pun, Sonya begitu hati-hati dan setelah menemukan posisi nyaman, mata lelahnya mulai terpejam.
Dia tidur dengan posisi telentang, tapi dengan selimut yang menutup hingga ke bagian d**a seolah kembali takut dija-mah.
Sebenarnya yang paling aman adalah dia tidur di kamar lain, atau bisa diganti dengan membangunkan Zeron agar kembali ke kamarnya saja.
Namun, lagi dan lagi Sonya tidak ingin terancam bahaya dan memilih untuk tidur segera.
Berharapnya bisa nyenyak karena memang lelah. Dan, agaknya semesta berpihak padanya karena tidur Sonya malam ini benar-benar memuaskan.
Tidak ada gangguan, bahkan ketika dia kembali membuka mata, cahaya mentari sudah terlihat dari celah jendela yang sedikit terbuka.
Dia juga mendapati bahwa dirinya tidak lagi tidur berdua, melainkan sendiri dan Zeron tak lagi berada di sampingnya.
"Jangankan bersikap baik, membangunkanku saja dia tidak mau."
Beberapa saat terdiam, Sonya masih berusaha mengumpulkan nyawa. Dia menggeliat demi melonggarkan otot-otot yang terasa begitu kencang seolah baru saja melakukan olahraga berat.
Matanya kemudian menatap ponsel yang tergeletak di lantai karena tadi malam sempat Zeron buang.
Perlahan, Sonya turun dari atas tempat tidur dan meraih ponsel tersebut dengan susah payah.
"Sampai retak gini, beneran dia banting pakai tenaga dalam sepertinya," gumam Sonya menatap layar ponsel yang sudah retak bagian luar dan menimbulkan garis hitam di bagian tengah.
Memang, ponselnya cukup jadul di zaman itu. Bagian luarnya juga sudah terlihat memprihatinkan, tapi kehilangan hartanya tetap saja membuat hati Sonya terasa perih.
Jika saja tidak ada 2M sebagai penggantinya, mungkin Sonya akan menangis darah.
"Ah sudahlah, beli lagi apa susahnya ... untuk apa 2M kemarin coba?" Sonya bermonolog demi berusaha menenangkan dirinya.
Tidak ingin sedih berlama-lama untuk hal semacam itu, Sonya kembali fokus pada tujuan. Mengingat waktu sudah hampir pukul sembilan, dia harus buru-buru mandi dan segera ke kantor tempatnya magang.
Sebenarnya agak sedikit telat, tapi setidaknya datang. Maklum saja, jatah libur yang ditentukan sudah dia pakai semua karena beberapa hari di awal praktik, Sonya harus ke rumah sakit karena sang ibu sedang parah-parahnya.
.
.
Tanpa sarapan, dia hanya sempat mandi dan berganti pakaian. Juga memoles wajahnya tipis agar tidak terlihat pucat begitu tiba di sana.
Sonya datang sendirian, bersuamikan presiden direktur tidak membuatnya diperlakukan spesial dengan diberi fasilitas berupa mobil sekaligus sopirnya.
Mimpi jika sampai benar iya, begitu pikir Sonya karena sejauh ini, penggambaran sosok Zeron tidak jauh-jauh dari pelit, medit dan perhitungan.
Perlakuan Zeron sama sekali tidak membuat Sonya pusing, apalagi tersinggung. Dia masa bodo saja dan melanjutkan langkah ke ruangan tempat di mana dia melakukan tugasnya bersama teman-teman yang lain.
"Wih tumben telat ... kamu nginep di rumah sakit lagi?"
"Iya, San, nggak tega ninggalin ibu," sahut Sonya sedikit berbohong pada Sandra, teman dekatnya itu.
Mana mungkin dia mengaku bahwa tadi malam dia tidak ke rumah sakit dan justru menghabiskan malam pertama dengan suami yang telah membayarnya begitu mahal.
"Oh, iya sih ... kasihan beliau kalau ditinggal."
"Makanya itu, San, aku nggak mungkin-"
"Eh bentar!! Ada yang telepon, aku angkat dulu boleh ya?" Tidak mungkin Sonya tidak memperbolehkan, jelas saja hal itu harus dan karenanya dia segera mengangguk pelan.
Menyisakan dia bersama anak-anak lain yang kebetulan memang tidak begitu dekat, dan Sonya memilih diam.
Setelah menyelesaikan beberapa tugas ringan yang masih sanggup dia kerjakan, Sonya tiba-tiba merasakan sakit menusuk di perutnya.
Sakit itu datang begitu mendadak dan membuatnya terpaksa menghentikan pekerjaannya. Dengan napas tertahan, dia memaksakan diri untuk bangkit dan keluar dari ruangannya, berharap bisa segera sampai ke toilet sebelum segalanya terlambat.
Wajahnya memerah, bukan hanya karena rasa sakit, tapi juga karena rasa malu yang menggelayut. Dia berlari kecil, menahan desakan dalam tubuhnya yang nyaris tak bisa ditahan lagi, tapi takdir seolah ingin menguji kesabarannya lebih jauh.
Di tengah langkah terburu-burunya, Sonya justru bertemu dengan sosok yang paling ingin dia hindari saat ini, Zeron.
Sang suami berdiri di lorong yang sama, dengan postur tegap dan tatapan tenang penuh wibawa seperti biasanya. Langkahnya mantap, membawa aura yang tak pernah gagal menarik perhatian siapa pun di sekitarnya.
Sonya mendadak canggung, detak jantungnya melambat dan seketika perutnya yang sakit pun terasa seperti tertahan oleh kecanggungan itu. Dia bingung harus berbuat apa.
Dan saat jarak di antara mereka semakin dekat, Sonya memilih satu-satunya cara yang terasa paling aman.
"Selamat pagi, Pak Zeron," ucapnya pelan, menunduk dalam sebagai bentuk penghormatan. Suaranya bergetar halus, nyaris tertelan oleh udara pagi yang sunyi.
Namun, tak ada balasan. Tak ada anggukan, tak ada lirikan sekalipun. Zeron melewatinya begitu saja, seolah dia hanyalah bayangan tak berarti.
Seketika itu, hati Sonya mencelos. Ada denyut perih yang tak bisa dijelaskan kata-kata. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, rapat dan gemetar.
“Bodoh,” batinnya lirih. “Apa yang kamu harapkan, Sonya? Bukankah posisimu di hidupnya hanya sekadar pelampiasan saja?”
.
.
- To Be Continued -