Zeron terduduk di sisi ranjang, wajahnya redup, sorot matanya kabur oleh bayangan yang kembali muncul dalam pikirannya. Wajah Sonya muncul begitu kuat saat dia menangis, merintih, memohon sebuah kesempatan. Bayangan itu terasa nyata, emosinya begitu hidup, membuat d**a Zeron terasa sesak tanpa alasan yang bisa ia pahami. “Ya Tuhan kenapa belum pergi juga?!” Dia memijit pelipis, mencoba mengusir kegelisahan itu, tapi rasa cemasnya tak kunjung reda. Dia teringat pada ucapan Lutvia sebelumnya, bahwa ia harus meminum obat itu secara teratur agar tidak mengalami serangan panik atau halusinasi semacam ini. Dengan jari gemetar, Zeron kembali mengonsumsinya. Merasa tak berhasil hanya satu, dia menelan satu kapsul lagi. Beberapa waktu Zeron tunggu efeknya, tapi rasa tak nyaman di dadanya bel

