Bab 1. Acara Perjamuan
Wanita muda, cantik dan bernama Alexa Elena Alexander itu menatap pria di hadapannya dengan serius. Keputusasaan tersirat jelas di wajahnya. Rambut gelombangnya yang biasanya terjaga kini terurai kusut, seakan mencerminkan kekacauan dalam hatinya.
"Om Bara, aku nggak mau tahu. Pokoknya, kamu harus menjadi kekasihku! Karena kalau enggak, aku nggak akan pergi ke kampus hari ini!" teriaknya, suara penuh emosi dan ketetapan hati.
Bara, pria tampan dengan hidung mancung, hanya bisa menatap Alexa dengan raut wajah yang rumit. Ia sudah dianggap sebagai keluarga oleh orang tua Alexa, ini sangat menguji batasnya.
"Lexa, ini adalah semester terakhirmu. Kamu tidak akan lulus jika terus bermalas-malasan," ujarnya, mencoba menyadarkan gadis itu dengan suara lembut namun teguh.
Alexa menggigit bibirnya, rasa frustrasi dan keinginan bercampur menjadi satu. "Biarkan saja aku nggak lulus, Om. Apa pedulimu?!" balasnya dengan nada tinggi.
Dia mendekat, matanya menatap dalam ke arah Bara. "Kamu tahu kalau aku sudah lama mencintaimu, tapi kenapa kamu nggak bisa menerima cintaku? Apa kurangnya aku? Kita juga sudah dekat sejak aku masih kecil," ucapnya, suara bergetar dan hatinya terasa hendak pecah. Seolah tiap kata yang diucapkan adalah darah yang menetes dari hatinya yang terluka.
"Sadarlah, kamu itu keponakanku, Lexa. Aku sudah dianggap oleh ayahmu sebagai adiknya sendiri. Mana mungkin aku menjalin hubungan denganmu, tolonglah mengerti!" Bara berusaha menjelaskan dengan nada yang dipenuhi penekanan, merasakan jantungnya terasa tercekik oleh situasi yang mustahil ini.
"Om, status kita hanya sebagai keluarga angkat dan itu bukan penghalang! Aku yakin, Papa dan Mama pasti akan mendukung hubungan kita, mereka sangat percaya padamu." Alexa menyahut dengan penuh semangat, matanya berbinar saat ia memberikan senyuman menggoda.
Tetapi, Bara tetap bersikukuh, "Lexa, aku rasa kamu tidak lupa kalau aku ini seorang duda dan usiaku jauh di atasmu. Kamu masih berusia 22 tahun dan aku 30 tahun, kamu pantas mendapatkan seseorang yang lebih muda, lebih pantas untukmu." Suara Bara keras, mencoba menutupi getar emosional yang sebenarnya menghancurkan dirinya.
"Usia hanya angka, Om! Yang aku pedulikan adalah ketulusan. Aku mencintaimu, aku juga tahu kamu sangat peduli dan sayang padaku. Tapi kenapa, seolah sangat sulit bagi kamu untuk memulai hubungan yang lebih serius denganku?" Bulir bening mulai keluar dari pelupuk mata Alexa, saat dia mengungkapkan perasaan terdalamnya dengan suara yang patah.
Konflik di antara mereka terasa semakin memuncak, seperti dinding tebal yang menghalangi jalan mereka. Cinta yang diharapkan Alexa tampaknya hanya semakin menjauh, mengingatkan pada mimpi yang hampir tidak mungkin diwujudkan.
"Bara, Alexa, ternyata kalian masih di rumah? Sudah jam berapa ini? Lexa, ingat ya, kamu masih bersantai-santai di semester terakhirmu, apa kamu ingin menjadi mahasiswi abadi?" Tiba-tiba terdengar suara Delia Elena Johnson, ibunya Alexa, dengan nada tajam dan khawatir sambil berjalan cepat mendekati mereka.
"Maaf, Kak. Aku sudah mengajak Alexa pergi ke kampus, sekaligus aku juga akan pergi ke perusahaan. Tapi, sepertinya dia tidak mau pergi hari ini," ujar Bara dengan jujur.
Suara Lexa terdengar tegas, "Om Bara! Kenapa sih kamu malah ngadu? Siapa bilang aku nggak mau ke kampus? Ayo, kita pergi sekarang!" Raut wajahnya tampak kesal, namun tergesa-gesa dia menyalami dan berpamitan pada ibunya. Lalu dia pun bergegas keluar dari rumah, meninggalkan Bara di belakang.
"Kak, aku pergi dulu ya," pamit Bara.
"Iya, hati-hati. Bara, Kakak titip Alexa ya. Jangan terlalu mengikuti sikap keras kepala dan manjanya," ucap Delia, raut wajahnya mencerminkan kecemasan dan harapan.
"Iya Kak, tenang saja," sahut Bara, lalu menyusul Alexa dengan langkah gontai.
Perjalanan menuju kampus dilalui dengan hening yang mendadak. Alexa, yang biasanya penuh keceriaan, kini larut dalam sunyi. Setiap pertanyaan yang dilempar Bara hanya dibalas dengan jawaban sepotong, seolah tiap kata membutuhkan usaha yang berat.
Tiba di kampus, Alexa melangkah keluar dari mobil tanpa sepatah kata pun. Tak ada salam perpisahan, tak ada senyum manis yang biasa menghiasi wajahnya. Bara hanya bisa menyaksikan punggung Alexa yang menjauh, meninggalkan hatinya yang terasa tertindih.
"Maafkan aku, Alexa," gumam Bara dalam hati. "Aku memang tak bisa memenuhi keinginanmu, tapi menjagamu sudah membawa kebahagiaan tersendiri bagiku."
***
Malam itu, ada sebuah perjamuan besar yang diadakan oleh satu pengusaha, di hotel bintang lima. Akan dihadiri oleh figur-figur penting dan pengusaha top, termasuk orang tua Alexa. Namun, dengan kesibukan yang tak bisa ditinggalkan, Alexander memilih untuk tidak hadir. Bara, dengan setia dan tanggung jawab, mewakili Alexander. Bukan kali ini saja, Bara memang sudah sering menghadiri acara penting bersama Alexander ataupun mewakilinya, banyak juga di antara mereka yang sudah mengetahui hubungan Alexander dan Bara. Bara tak hanya menjadi CEO di perusahaan milik Alexander, namun juga adik angkat pria tersebut.
"Alexa, kamu temani Bara ke perjamuan malam ini, ya?" ucap Alex tiba-tiba, membuat Alexa dan Bara sama-sama terkejut.
Nada Alexa terasa kaku saat menjawab, "Aku nggak mau." Meskipun sebenarnya ia sangat menginginkannya, hanya saja ada bagian dalam dirinya yang mendambakan Bara untuk memohon kehadirannya.
Namun, Bara yang tidak ingin memaksa hanya mengangkat bahu dengan rasa pasrah. "Bang, kalau memang Alexa tidak mau, mungkin lebih baik aku pergi sendiri saja. Tidak masalah walaupun tanpa pendamping."
Alexa merasa jengkel mendengarnya. "Kenapa Om Bara tidak peka seperti itu, sih? Bukankah seharusnya dia berusaha membujukku? Aku tidak percaya, kalau aku sama sekali tidak memiliki daya tarik," gumam Alexa dalam hati, penuh dengan kekecewaan.
"Bara, kamu tahu semua yang hadir malam ini akan membawa pasangan. Sedangkan kamu tidak memiliki pasangan ataupun teman dekat wanita." Alex mencoba memberi penjelasan dengan nada serius, menatap Bara yang terlihat kalem. "Dan kamu, Alexa, kamu harus ikut, tidak boleh menolak," lanjutnya dengan tegas pada putrinya.
Tiba-tiba, Alexa merasa desakan dari dalam hatinya. "Baiklah, kalau memang Om Bara menginginkannya dan dia yang memintaku, aku akan ikut," ujarnya, hatinya bergetar, antara harap dan gundah, menantikan kata-kata selanjutnya dari Bara.
"Ya sudah. Alexa, apakah kamu bersedia menemaniku ke acara perjamuan malam ini?" Suara Bara bergetar penuh harap saat dia bertanya.
"Oke, kalau begitu aku mau," jawab Alexa dengan semangat yang tidak kalah gairahnya, merasakan kelegaan karena perselisihan kecil mereka telah berakhir.
Bara dan Alexa kemudian menuju kamar masing-masing, bergegas untuk bersiap karena waktu yang mendesak mereka untuk segera hadir di acara tersebut. Alexa berdandan dengan teliti, memilih gaun hitam yang memperlihatkan siluet anggunnya dengan sempurna, serta riasan yang menghias wajah cantiknya dengan tambahan keindahan yang memukau.
Setelah Alexa siap, ia melangkah keluar menuju ruang depan. Di sana, Bara sudah menunggunya dengan sabar. Pada saat itu, pandangan Bara terpaku, terpesona oleh kilau kecantikan Alexa yang terasa berbeda malam itu—luar biasa mempesona.
"Kenapa, Om? Ada yang aneh ya, dengan dandananku?" tanya Alexa, suaranya membuyarkan lamunan Bara yang terhanyut dalam kekaguman.
"Oh, tidak. Justru kamu sangat cantik," puji Bara, senyumnya merekah, mata tak lepas memandang.
"Apakah Om Bara sedang memujiku?" batin Alexa, sebuah senyuman malu menghiasi bibirnya, merasakan sebuah kebahagiaan yang lembut menyelimuti. "Terima kasih, ucapnya lirih.
"Ya sudah, ayo kita berangkat," ajak Bara dengan suara penuh antisipasi.
Alexa menganggukkan kepalanya, memastikan semuanya sudah siap. Dalam sekejap, keduanya meluncur dengan mobil mewah menuju perjamuan yang telah dinantikan. Selama 40 menit perjalanan, mereka membayangkan apa yang akan terjadi di malam yang penuh kemegahan itu.
***
Setibanya di hotel mewah, tempat acara itu diadakan, Alexa dan Bara langsung menuju ke ruang VIP. Pintu terbuka, lampu gemerlap menyambut mereka seolah memberi isyarat tentang malam yang tak terlupakan. Kedatangan mereka yang bergandengan tangan bak pasangan kekasih, membuat semua mata tertuju pada mereka dan juga sangat iri karena keduanya terlihat begitu serasi, menjadi pasangan paling memukau pada acara malam itu.
Tak lama, Frans sebagai sang pemilik acara, mendekat dengan senyum lebar. "Selamat datang, Pak Bara, pengusaha muda dan sukses. Dan ini, bukankah Nona Alexa?" sapa Frans dengan rasa kenal yang mendalam, mengingat Alexa sebagai putri dari seorang Alexander yang ternama.
"Terima kasih, Pak Frans. Maaf, hari ini Pak Alex tidak bisa hadir. Jadi, saya dan keponakan saya yang mewakilinya," jawab Bara dengan nada hormat.
Belinda, istri Frans yang elegan, langsung terpana. "Oh, jadi ini keponakannya Pak Bara. Saya kira kalian berdua pasangan, karena begitu serasi. Yang satu cantik dan yang satu tampan," celetuknya dengan rona bercanda namun ada kekaguman yang tidak tersembunyi.
Alexa tersenyum, rasa bangga dan sedikit gugup bercampur menjadi satu. Malam itu, mereka tidak hanya akan berbaur dengan para tamu, tapi juga mempertahankan nama besar keluarga dalam setiap percakapan.
"Terima kasih, Tante. Tapi maaf, kami memang bukan sepasang kekasih," ucap Alexa sambil tersenyum, namun suaranya terdengar sedikit ragu.
"Tidak perlu mengucapkan terima kasih atau minta maaf, Sayang. Tante yang seharusnya minta maaf karena tadi sudah salah paham," ujar Belinda dan Alexa hanya menanggapinya dengan anggukan kepala, serta senyuman.
"Pak Bara, bagaimana kalau kita menghampiri para klien di sana dulu," ajak Frans seraya menunjuk.
"Oh, iya, Pak. Anda duluan saja, nanti saya akan menyusul," sahut Bara. Sehingga Frans dan Belinda pun pergi terlebih dulu, meninggalkan Bara dan Alexa.
Kemudian, Bara menatap Alexa dengan intens. "Lexa, apa kamu mau ikut aku menghampiri klien? Atau kamu lebih memilih menikmati acara di sini?"
Alexa menggigit bibir bawahnya, gelisah. "Nggak deh, Om. Lebih baik aku di sini saja. Lagi pula, aku nggak terlalu paham dengan urusan bisnis yang pasti akan kalian bicarakan. Aku mau mencoba makanan di sini saja," jawabnya.
"Ya sudah, nanti aku akan menyusul kamu," sahut Bara. Setelah itu, dengan langkah yang pasti, ia berlalu menuju pertemuan klien.
Sementara Alexa, hatinya berdebar karena mengetahui ia akan sendirian, menapaki ruang prasmanan yang gemerlap dengan hidangan yang tersaji indah. Matanya menelusuri setiap dessert, mencoba meredakan perasaan canggung yang muncul. Karena biasanya, ia hadir dalam acara semacam ini bersama ayah dan ibunya. Namun kali ini, ia menemani Bara, pria yang dalam diam ia harapkan lebih dari sekadar keluarga. Namun dalam hati sang pria, Alexa hanyalah keponakannya, cinta yang tak pernah berbalas.
Di tengah keramaian bersama klien, Bara merasa kepalanya menghantam seperti disambar petir, rasa sakit yang memaksa dia untuk mencari perlindungan di toilet.
Alexa, dengan mata penuh kekhawatiran, melihat Bara berjalan sempoyongan. Instingnya terpacu, kaki-kakinya berlari kecil mengejar, mencegah tragedi yang mengintai.
"Om Bara, kamu kenapa?" Suara Alexa bergetar saat menahan tubuh Bara yang nyaris ambruk.
Bara menatapnya dengan tatapan yang memilukan. "Lexa, rasanya begitu panas," suaranya parau.
"Kamu kenapa, Om?" desakan Alexa semakin panik.
"Alexa, tolong ... bantu aku mencari air. Aku tidak kuat, gerah sekali," pinta Bara dengan nada memohon.
Alexa berfikir cepat, harus beraksi. Jika membawa Bara ke toilet penuh sesak itu, dia tahu tak mungkin bisa menemaninya. Dalam sekejap, keputusasaan dan ketakutan menyelimutinya, tapi ia tahu harus bertindak segera untuk menyelamatkan Bara dan memastikan kondisinya.
Dengan langkah yang penuh kegentingan, Alexa membantu Bara memasuki kamar hotel terdekat yang tak terkunci. Gerak mereka tergesa-gesa, dipacu oleh keadaan darurat yang tak terduga. Alexa berupaya menuntun Bara ke kamar mandi, namun belum sempat sampai, tubuh Bara terasa semakin memanas, gejolak aneh menggelora di dalam dirinya.
Dalam kebingungan yang mendalam, Bara menghentikan langkah Alexa dan menatap wanita itu dengan mata yang berkaca-kaca, penuh permohonan.
"Tolong aku, Alexa," bisik Bara lemah, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menguasainya.
Tiba-tiba, dengan gerakan yang tak terduga, Bara meraih Alexa dan mencium bibirnya dengan lembut yang penuh kegentingan. Alexa terkejut, hatinya berkecamuk ingin menolak karena merasa ada yang tidak beres dengan Bara. Namun, tali-tali cinta dan keinginan untuk membantu membuatnya luluh.
Akhirnya, Alexa pun membalasnya, sehingga membuat ciuman itu berubah semakin mendalam, semakin penuh gairah. Dengan napas yang tercekat, Bara menggiring Alexa ke arah tempat tidur, mendorong batas-batas yang tak terelakkan karena gejolak yang sudah tidak bisa ia tahan lagi, membanjir dalam desakan yang membara.
Bersambung …