Tak peduli apapun yang dilakukan Bara padanya saat ini, rasa cinta yang begitu dalam seolah mengalahkan dinding-dinding ketahanannya. Alexa pun tak memikirkan apa status mereka, pikirannya hanya terfokus pada sentuhan Bara yang hangat dan gejolak asmara di antara mereka. Apalagi, Bara semakin lama semakin menjelajahi tubuhnya, membuat ia tenggelam dalam perasaan nikmat.
"Apakah ini benar-benar cinta? Kenapa aku nggak bisa menahan perasaan ini?" batin Alexa, bercampur antara rasa cinta yang membara dan bingung akan perasaan yang memburu hatinya.
Meskipun dalam hatinya Alexa sadar bahwa hubungan mereka terlarang, ia seakan kehilangan kontrol atas dirinya sendiri dan hanyut dalam buaian asmara. Dalam keadaan tak sadarkan diri, keduanya mencapai puncak kenikmatan. Bara terlelap karena efek obat yang diberikan oleh seseorang dalam minumannya, sementara Alexa terdiam dalam pergolakan perasaan bercampur penyesalan dan kepuasan yang sama-sama memenuhi hatinya.
Beberapa jam kemudian, Bara mengerjap-ngerjapkan matanya sambil memegangi kepalanya yang terasa berat. Ia tersadar dalam keadaan linglung, merasa asing dengan ruangan tempat ia berada saat ini. Di saat itu juga, Bara mendengar suara tangisan di sampingnya yang membuat hatinya berdesir. Dengan cepat ia membuka mata lebar-lebar, betapa terkejutnya saat melihat sosok Alexa yang sedang menangis, duduk meringkuk di tepi ranjang mereka.
Bara bergegas bangkit, namun ia semakin terkejut saat menyadari bahwa tubuhnya tidak mengenakan pakaian sama sekali. Instan itu pula ia menutupi dirinya dengan selimut, berusaha untuk berbicara pada Alexa.
"Kamu kenapa menangis? Apa yang sudah terjadi di antara kita?" Bara bertanya dengan nada panik, sambil berusaha mengingat peristiwa yang seharusnya baru saja terjadi sebelum ia tertidur.
Sementara itu, Alexa tak menjawab. Ia terus menangis tersedu-sedu.
"Astaga, aku sudah ingat sekarang. Alexa, maafkan aku. Aku benar-benar tidak sadar, aku sudah menodaimu. Tapi … kenapa kamu tidak menolaknya?" Rasa penyesalan menghantui hati Bara dan memunculkan nada frustasi dalam suaranya.
Perlahan, Alexa mengangkat wajahnya yang tampak semakin pucat akibat tangisan dan menatap Bara dengan sorot mata yang tajam.
"Sekarang kamu menyalahkan aku, iya?" kata Alexa dengan suara bergetar, matanya menatap Bara penuh kekecewaan dan rasa terluka yang mendalam. "Aku juga nggak tahu, Om, kenapa aku membiarkan hal ini terjadi. Mungkin karena cintaku yang begitu dalam untuk kamu. Sekarang, apa yang bisa aku lakukan? Aku sudah nggak suci lagi. Lihat itu!" isaknya sambil menunjuk sprei yang ternoda bercak merah, simbol kesucian yang telah hilang.
Bara terpaku, tangannya gemetar saat ia mencoba mengenakan pakaiannya kembali. Kepanikan dan penyesalan bergemuruh dalam dadanya, sementara pikirannya kalut mencari jalan keluar dari situasi tragis ini. Dengan langkah yang gontai, dia mendekat, meraih tubuh Alexa yang rapuh dan mendekapnya dalam upaya untuk memberi sedikit penghiburan.
"Aku tahu ini salah, Lexa, aku tahu. Tapi, aku bersumpah, aku tidak bermaksud," ucap Bara, suaranya serak oleh emosi. "Aku akan bertanggung jawab. Apapun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini."
Kata-katanya berusaha menenangkan, tetapi keduanya tahu hidup mereka telah berubah untuk selamanya di malam yang tak terlupakan itu.
"Benarkah? Bagaimana caranya kamu akan bertanggung jawab? Apa Om akan menikahi aku?" tanya Alexa dengan penuh harap.
"Tolong beri aku waktu, nanti akan aku pikirkan jalan keluarnya," ujar Bara dalam kebingungan dan ketakutan yang bercampur aduk.
Sebagai pria dewasa yang pernah gagal dalam berumah tangga, Bara merasa sulit untuk membuka hatinya lagi. Baru saja menikah, istrinya mengalami kecelakaan dan meninggal dunia, membuat rasa cinta yang terlalu besar terhadap mendiang istrinya masih terasa begitu kuat.
"Apakah aku bisa mencintai lagi setelah kehilangan istriku?" gumam Bara dalam hati.
Namun, bukan berarti Bara tidak menyukai Alexa, wanita yang sudah ia kenal sejak Alexa kecil. Waktu itu, usia Bara masih menginjak 18 tahun dan baru saja lulus sekolah. Sebagai anak yatim piatu yang kesulitan ekonomi, Bara dibantu oleh Alexander, ayah Alexa, dengan mengizinkannya bekerja di perusahaannya sebagai asisten. Bahkan karena tak memiliki keluarga, Alex menjadikannya adik angkat dan menganggapnya sebagai keluarga sendiri dengan setulus hati. Tak hanya Alex, Delia dan Alexa juga menerimanya dan bersikap begitu baik kepadanya selama ini. Kini, setelah ia berhasil menjadi CEO di perusahaan tersebut, Bara merasa berhutang budi pada keluarga Alexa.
Bara berusaha untuk menenangkan pikirannya, mencari solusi yang terbaik untuk mereka berdua, agar tidak mengecewakan Alexa dan keluarganya.
"Apa yang harus kulakukan? Apakah menikahi Alexa adalah jalan yang tepat, ataukah ada solusi lain yang bisa membuat semua orang bahagia?" pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikiran Bara. Ia merasa tidak pantas dan takut mengecewakan kedua orang tua Alexa.
Dibalik semua yang terjadi, kegundahan menghantui Bara. Bagaimana mungkin ia bisa melarikan diri setelah apa yang terjadi? Bukankah seharusnya ia bertanggungjawab? Namun, kekhawatiran memuncak memikirkan reaksi kedua orang tua Alexa apabila mereka mengetahui bahwa ia telah menodai putri mereka dan tidak menyetujui hubungan mereka. Ini semua benar-benar menjerumuskan Bara ke dalam kebingungan dan frustasi yang mendalam.
Di tengah kekalutan hatinya, deringan ponsel memecah lamunan. Segera Bara menatap layar ponselnya, ada sebuah panggilan dari Alexander, ayah Alexa.
"Alexa, Papa kamu menelpon. Aku yakin dia pasti khawatir karena kita belum pulang dan sudah lewat dari tengah malam," ucap Bara, suaranya mencoba tetap tenang.
Alexa, dengan suara lembut, menenangkan, "Ya sudah, Om. Jawab saja, supaya Papa nggak semakin cemas."
Bara mengangguk, mengambil napas dalam sebelum ia menjawab. "Iya, Bang. Acaranya baru saja selesai. Kami juga segera pulang," ujarnya, mencoba menyembunyikan getaran di suaranya.
Panggilan berakhir, tapi ketegangan di hati Bara tak kunjung reda, bertambah kuat dengan detik yang terus berlalu.
Lalu, Bara kembali fokus pada Alexa. "Ayo sekarang kita pulang. Aku janji, aku tidak akan melepaskan tanggung jawab. Tapi tolong beri aku waktu," ucapnya dengan serius.
Alexa, yang tadinya menangis, mulai menenangkan dirinya. Ia segera merapikan pakaiannya yang semula hanya dipakai asal-asalan, lalu bersama Bara keluar dari kamar dan meninggalkan hotel tersebut.
***
Pagi harinya, Alexa menghampiri Bara yang sedang duduk di meja makan. "Pagi, Om Bara," ucapnya dengan nada yang berbeda dari semalam. Ia tidak lagi terlihat putus asa, malah tampak seperti tidak terjadi apa-apa di antara mereka berdua.
Hal ini membuat Bara merasa kebingungan. "Alexa, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan rasa khawatir.
"Ya, aku baik-baik saja. Memangnya aku kenapa?" balas Alexa sambil mengunyah roti yang baru saja ia olesi dengan selai coklat.
"Tidak ada apa-apa," jawab Bara, mencoba menyembunyikan kekagetannya.
"Oh ya, Papa dan Mama mana, Om? Kenapa hanya kamu sendiri yang ada di sini?" tanya Alexa, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Bara merasa bingung dengan perubahan sikap Alexa ini. Apakah dia benar-benar sudah melupakan kejadian semalam, atau dia hanya berpura-pura? Sementara di satu sisi, Bara juga lega melihatnya sudah kembali seperti semula, namun di sisi lain, ia takut jika dia menutupi perasaannya yang sebenarnya.
"Papa dan Mama kamu baru saja pergi. Sebenarnya mereka mau berpamitan dengan kamu, tapi karena kamu masih di kamar, jadi mereka hanya menitipkan pesan," ungkap Bara.
"Oh, berarti kita bebas dong?" kata Alexa yang entah mengapa membuat Bara merasa kebingungan dan mengernyitkan dahinya.
"Maksud kamu bebas apa?" tanya Bara tak mengerti. Omong kosong apa yang dipikirkan Alexa sebenarnya?
"Om, kamu mau nikahin aku nggak? Kalau nggak, aku akan bilang sama Papa dan Mama kalau kita sudah buat bayi," celetuk Alexa tanpa berpikir panjang.
Bara tercengang mendengar pernyataan itu, apakah dia sadar akan apa yang diucapkannya? "Astaga, Alexa, jaga mulut kamu! Aku pasti akan bertanggung jawab, tapi tidak begini juga caranya. Satu hal lagi, kecilkan suaramu! Bagaimana kalau Bibi mendengarnya dan bicara dengan orang tua kamu? Semuanya pasti akan jadi masalah," tegur Bara, mencoba menjaga agar keadaan tidak semakin buruk.
"Mendengar soal apa?"
Namun, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang muncul di ruang makan. Bara dan Alexa langsung terkejut, melihat siapa orang yang ada di hadapan mereka saat ini. Rasa ketakutan melanda keduanya, seakan-akan waktu sejenak berhenti dan perasaan cemas mulai menyelimuti hati.
Bersambung …