Airin baru saja keluar dari kamar dengan penampilan yang sudah rapi pagi itu. Dia sudah bersiap untuk berangkat kerja dan bertemu ibunya yang tengah menikmati sarapan seorang diri di dapur. Kemudian dia meletakan satu lembar uang berwarna biru di atas meja, tepat di mana ibunya sedang menikmati sarapannya.
“Untuk satu hari ini, usahakan mama jangan boros!” katanya mengingatkan ibunya.
Elsa mengambil uang tersebut dan mengangkatnya, seraya berucap, “Lima puluh ribu?”
“Pasti cukup, Ma. Mama gak perlu keluar, di rumah saja,” ucap Airin yang sedang mengisi air mineral dari dispenser dan meneguknya pelan-pelan.
“Maksud kamu, Mama seharian di dalam rumah terus begitu?” tanya Elsa dengan nada ketus.
Airin meletakan gelas yang sudah kosong di kitchen sink, lalu menoleh ke arah ibunya.
“Uangku sudah menipis, Ma. Gajian juga masih satu minggu lagi. Tolong dihemat, ya!” pinta Airin.
“Minta sama pacarmu yang baik hati itu, Rin. Atau, datangi Papamu di kantornya, bilang minta uang!”
Airin menggelengkan kepalanya pelan. Tidak mungkin dia berani meminta uang pada Bara, pria yang dipacarinya kurang lebih enam bulan ini. Meskipun pria itu selalu memberinya uang tanpa dia minta, tetap saja dia sungkan. Airin juga tidak mungkin mendatangi kantor atau rumah ayahnya. Bisa-bisa baru saja sampai teras dia pasti sudah diusirnya.
“Pokoknya Mama jangan keluar, apa lagi pergi sama teman-teman sosialita Mama. Ingat, Ma! Kita sudah tidak seperti dulu lagi,” katanya mengingatkan ibunya lagi.
“Tentu saja Mama mengingatnya, Rin. Kalau saja kamu tidak melabrak perempuan itu, mungkin saat ini kita masih hidup berkecukupan di rumah mewah kita yang sekarang dikuasai oleh pelakor itu. Ini semua karena ulah kamu, Rin!”
Airin benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran ibunya. Bertahan dengan suami tukang selingkuh demi memuaskan egonya yang tidak mau hidup susah. Ditambah setiap hari selalu diisi dengan pertengkaran-pertengkaran yang tiada habisnya. Airin yang mendengarnya saja sudah hampir gila oleh kelakuan orangtuanya.
“Aku berangkat, Ma.” Gadis itu memilih tidak menggubris perkataan ibunya yang terus menyalahkan dirinya atas semua yang menimpa mereka saat ini. Selalu itu yang diucapkan ibunya setiap kali mereka terlibat perdebatan. Seolah di sini hanya dia yang bersalah dan tidak ada yang peduli dengan kesehatan mentalnya.
Airin memang tidak pernah menyangka kalau apa yang dilakukannya tiga tahun lalu membuat dia dan ibunya terusir dari rumah. Ayahnya lebih memilih selingkuhannya ketimbang dia dan ibunya yang sudah menemani hingga sukses seperti sekarang ini. Oleh sebab itu dia bertanggung jawab atas hidup ibunya saat ini.
Sejak perceraian ibu dan ayahnya, mereka hidup pas-pasan. Ayahnya menolak memberi harta gono-gini pada ibunya, dan hanya memberi nominal uang yang tidak seberapa. Dulu kehidupan mereka terbilang sangat mewah, apa yang diinginkan Airin selalu terpenuhi. Ibunya pun memiliki banyak teman yang royal. Namun, setelah kejadian dia melabrak wanita itu, ayahnya menjadi murka dan menceraikan ibunya langsung. Membuktikan bahwa rasa cinta ayahnya hanya setipis tisu pada mereka.
Lalu di sinilah mereka, tinggal di pinggiran kota dengan hidup seadanya. Airin berhasil membeli rumah sederhana dari uang pemberian sang ayah yang tidak seberapa itu.Tidak ada lagi rumah mewah dengan perabot lengkap dan segala isinya. Tidak ada lagi pelayan yang selalu melayani mereka. Tidak ada lagi supir yang kerap kali mengantar jemput ke mana pun mereka pergi. Semua kemewahan itu telah dicabut paksa oleh Gunawan Tirtanadi dan membuang anak dan istrinya ke jalanan tanpa belas kasih.
Airin Shandy gadis berusia dua puluh dua tahun yang terpaksa harus berhenti kuliah karena tidak memiliki biaya. Dia harus bekerja di dua tempat untuk mendapatkan uang banyak. Kehidupan keras mulai membentuknya menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. Beruntung dia tidak ditinggalkan oleh teman-temannya. Keempat temannya masih setia berada di sampingnya membantu banyak hal untuknya, meski dia merasa sungkan bila terus menerus menerima bantuan dari para sahabatnya itu.
Jalan pintas yang ditawarkan oleh Mila pun dengan cepat dia tolak.Menjadi sugar baby. Dulu, tiga tahun lalu dia pernah melakukannya, itu pun terpaksa karena dia sangat penasaran ditambah keadaan keluarganya yang sangat membuatnya butuh pelarian. Pria yang menjadikan dirinya sugar baby-nya sangat membuat Airin terpikat. Sebelum perpisahan mereka pria itu memintanya untuk berhenti melakukan pekerjaan itu, tetapi dia tidak mengatakan apa pun dan berniat untuk mencari pria dewasa lainnya. Untung saja Mona menasehatinya berulang kali dan membuatnya sadar. Akhirnya Airin pun secara tidak langsung menuruti permintaan pria itu untuk tidak lagi melakukan pekerjaan tersebut.
“Selamat pagi, Mbak Tita,” sapa Airin pada perempuan yang berjaga di kasir.
“Pagi, Rin.”
Airin bergegas masuk ke ruang loker untuk meletakan tas selempangnya dan berganti seragam kerja. Kemudian kembali ke depan untuk memulai kerja.
Mulai pukul tujuh pagi sampai pukul tiga sore, Airin akan bekerja di sebuah toko perlengkapan rumah tangga di salah satu mall di pusat kota. Lalu, malamnya dia akan bekerja part time di sebuah cafe hingga pukul sebelas malam. Sangat melelahkan memang. Namun, dia harus melakukannya untuk memenuhi kebutuhan dia dan ibunya. Teman-temannya selalu memberikan semangat untuknya. Begitu juga dengan Bara, pria yang belum lama ini menjadi kekasihnya.
Omong-omong soal Bara, pertama kali Airin bertemu dengan pria itu di cafe tempatnya bekerja sekitar sepuluh bulan lalu. Pria itu berasal dari Jakarta dan berada di kota ini karena mendapat mutasi dari tempatnya bekerja. Bara sudah tinggal di Surabaya kurang lebih satu tahun lamanya, dan bolak balik Jakarta-Surabaya setiap tiga bulan sekali.
Bara adalah pria yang sangat baik dan memiliki selera humor yang tinggi. Usia Bara dan Airin hanya terpaut tiga tahun. Namun, Bara terlihat sangat dewasa dan teratur. Setelah berkenalan kurang dari empat bulan, Bara langsung menyatakan perasaan cintanya pada Airin. Karena Airin pun merasakan hal yang sama, akhirnya mereka resmi berpacaran.
Sore harinya usai beres kerja, Airin akan pulang lebih dulu ke rumah untuk istirahat. Membuat makan malam untuk dia dan ibunya. Airin dipaksa untuk bisa melakukan segalanya dimulai dari memasak, mencuci, dan semua pekerjaan rumah. Bila dia sedang lelah, dia akan menyewa orang untuk mengurus semua itu. Tapi, sering kali dia yang melakukan semua pekerjaan tersebut karena sayang dengan uangnya.
“Rin, bisa gak belikan Mama ini.”
Airin melirikkan matanya ke arah ponsel yang dipegang ibunya untuk menunjukkan benda yang diinginkannya.
“Apa itu?” tanyanya sembari mengaduk-aduk sup ayam di panci.
“Ini alat untuk merawat wajah, jadi wajah kita akan tetap kencang dan ....”
“Berapa harganya?” tanya Airin memotong ucapan ibunya tanpa berminat mendengar manfaat lain dari alat kecantikan tersebut.
Elsa kembali menjauhkan ponselnya dari Airin.
“Murah kok, cuma satu juta lima ratus,” katanya enteng.
Airin mendengus. Harganya setengah dari gajinya bekerja di toko. ‘Murah dari mananya,’ pikirnya kesal.
“Nanti saja belinya, kalau Airin dapat uang banyak,” ujarnya seraya mematikan kompor, lalu menuang sup ke mangkuk besar yang sudah dia siapkan sebelumnya.
“Kapan, Rin?! Mama maunya sekarang,” kata Elsa sedikit merajuk.
Airin tidak menanggapi permintaan ibunya. Seperti biasa dia akan mengabaikannya dan beberapa saat kemudian ibunya akan mulai melupakannya. Walaupun nantinya akan kembali ingat dan mengungkitnya lagi.
Usai makan malam, Airin mencuci wadah kotor bekas makannya. Elsa sama sekali tidak pernah melakukan pekerjaan rumah, sementara Airin pun tidak pernah menyuruhnya. Dia sudah merasa lelah bila harus selalu berdebat dengan ibunya, setiap kali dia meminta untuk membantunya mengurus rumah. Ibunya sangat pemalas, yang dilakukannya hanya bermain sosial media yang tidak ada bosan-bosannya. Mungkin karena sudah terbiasa hidup berkecukupan dan dilayani orang lain, sehingga dia terkejut ketika berada di bawah dan merasa jijik.
Satu jam kemudian Airin sudah bersiap akan pergi ke cafe tempat kerjanya yang lain. Hari ini dia harus berangkat awal karena salah satu pegawai ada yang tidak masuk sehingga membuatnya harus datang lebih awal.
“Jangan lupa kunci pintunya, Ma. Aku sudah bawa kunci cadangan,” ucap Airin yang sudah rapi malam itu.
Elsa hanya menanggapinya dengan gumaman. Matanya terlalu fokus pada layar di depannya yang sedang menayangkan acara reality show.
Ojek online yang dipesannya sudah standby di depan rumah dan langsung membawa Airin ke cafe tempat kerjanya.
Tiba di cafe Airin bergegas berkumpul di ruangan yang bersebelahan dengan kitchen. Bar captain memulai briefing malam itu. Selanjutnya mereka mulai mengambil pekerjaan masing-masing.
“Airin, pacar kamu di sini," kata Irish memberi tahu.
Saat ini Airin tengah mengambil istirahat sepuluh menitnya usai mengantar beberapa pesanan pengunjung.
“Nanti deh, aku temui dia.”
“Jangan bikin dia dikerubuti lalat-lalat nakal,” goda Irish lagi dengan senyum meledek sembari berjalan ke arah meja di mana beberapa menu sudah disiapkan oleh koki.
Airin mengambil nampan dan mengisinya dengan menu pesanan pengunjung. Kemudian dia keluar dari kitchen mencari nomor meja sesuai dengan pesanan. Setelah itu dia menemui Bara yang seperti biasa selalu duduk di meja bartender.
“Hai," sapanya pada pria itu.
“Hai, cantik.” Bara memasang senyum menawannya ke arah Airin.
“Sudah lama?”
“Baru lima menitan. Nanti aku antar pulang," kata pria itu.
“Masih ada tiga jam lagi. Yakin mau nunggu aku sampe selesai?”
“Seyakin aku sama kamu.”
“Ck! Gombal!”
Bara tertawa lepas. Airin pun kembali melangkah masuk ke dalam kitchen untuk melanjutkan pekerjaannya.
Saat jam pulang, Bara benar-benar menunggu Airin di pelataran cafe dengan motor maticnya. Ini hampir tengah malam, tidak mungkin dia membiarkan pacarnya pulang seorang diri, walaupun sebelum ini Airin sudah terbiasa pulang sendiri dan baik-baik saja.
“Padahal besok kamu ngantor ‘kan, mestinya tidak usah nunggu aku,” ucap Airin yang sudah berdiri di sebelah motor Bara.
“Gak usah bawel! Ayo, naik!” titah Bara yang kemudian menyalakan mesin motornya. Airin pun naik ke jok belakangnya dan memeluk pinggang pria itu.
“Mau makan dulu?” tanya Bara sedikit menoleh ke arah belakangnya.
“Aku sudah kenyang. Langsung pulang aja, ya!”
“Siap!” Pria itu pun mulai melajukan kendaraannya di jalanan protokol yang malam itu nampak lengang.
Airin semakin memeluk erat tubuh Bara, karena angin malam yang berembus dingin mulai menusuk kulit. Kurang dari lima belas menit kemudian, Bara menghentikan laju kendaraannya tepat di depan rumah Airin. Gadis itu turun dari atas motor dan mengernyit melihat sebuah mobil terparkir di depan rumahnya.
“Itu mobil siapa?” tanyanya lirih.
“Kamu gak kenal?” tanya Bara yang juga melirik ke arah kendaraan roda empat itu.
Airin menggelengkan kepalanya.
“Coba masuk dan cari tahu, aku akan menemanimu kalau kamu takut,” ucap Bara pengertian.
Airin menoleh ke arah Bara dan mengangguk.
Bara turun dari kendaraan roda duanya sembari memasukan kunci motor ke saku celananya. Kemudian mereka naik ke atas teras, Airin mulai memasukkan anak kunci ke slot pintu. Degup jantungnya berdetak kencang, pikiran buruk mulai berputar-putar di kepalanya memikirkan ibunya dengan siapa di dalam rumahnya. Tidak mungkin kan kalau ibunya punya kekasih, atau yang lebih buruk ibunya berselingkuh dengan suami orang lain.
Ruang tamu sudah gelap begitu juga dengan ruangan lain, Airin pun menyalakan lampu dan seketika ruang tamu menjadi terang benderang. Kemudian dia berjalan ke arah pintu kamar ibunya mencoba mendengar apa yang terjadi di dalam sana. Matanya sudah hampir menangis memikirkan hal buruk yang akan dia lihat di depan sana.
Bara tetap berada di belakang Airin, menjaga gadis itu kalau-kalau terjadi sesuatu yang buruk.
Airin menempelkan telinganya di pintu kamar ibunya. Sontak saja matanya melotot mendengar suara yang sangat tidak asing itu. Gegas saja dia mengetuk kamar ibunya.
“Ma! Buka pintunya, Ma!” panggilnya pada sang ibu sembari mengetuk pintunya secara tidak sabaran.
Tidak menunggu lama pintu di depannya terbuka dan Airin terkejut melihat sosok ibunya yang hampir naked.
”Mama?!”
Airin pun tambah terkejut lagi setelah melihat siapa laki-laki yang berada di dalam kamar ibunya.
“Ya, Tuhan! Apa yang kalian lakukan?!” Hampir saja gadis itu pingsan dan terjerembab ke lantai kalau saja Bara tidak menahan tubuhnya.