6. Merajuk

1193 Words
Suara dering ponsel membangunkan tidur Airin pagi itu. Dia pulang ke kosan sekitar pukul tiga dini hari, karena Sandra mengajaknya untuk berkenalan dengan teman-teman barunya. Airin menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Tangannya menyurgar rambut panjangnya ke belakang. Suara dering panggilan telepon masih terdengar, Airin pun bergegas mengambil benda pintar itu dan melihat siapa yang menelepon. “Halo?” sapanya pada seorang di seberang sana dengan suara khas bangun tidur. “Kamu belum bangun, Sayang?” tanya suara bariton itu. “Ini sudah,” katanya membalas pertanyaan pria itu. “Iya aku tahu. Kamu baru bangun jam segini?” Airin bergumam, dengan mata terpejam. Dia masih sangat mengantuk. “Capek banget, ya?” tanya Bara lagi, terdengar iba pada kekasihnya. Andai saja Airin langsung menerima lamarannya mungkin dia tidak akan membiarkan gadis itu bekerja, apa lagi harus bekerja di cafe seperti itu. “Gak, kok, tadi malam ....” Airin menggantung kalimatnya, memilih urung untuk bercerita ke mana dia pergi dengan Sandra usai beres kerja tadi malam, khawatir kalau Bara akan marah dan mereka menjadi bertengkar. Bukan itu yang diinginkan Airin. “Kenapa tadi malam?” tanya Bara meminta kelanjutan ucapan Airin. “Di cafe lumayan ramai. Jadi, aku pulang agak larut.” “Aku belum bisa mengantar atau mengunjungi kamu di cafe, karena masih sibuk dengan pekerjaan di kantor Papa. Walaupun sebenarnya aku ingin banget lihat dan nungguin kamu kerja kayak di Surabaya gitu.” Airin tersenyum hangat. Waktu masih di Surabaya, Bara memang hobi menemaninya di cafe sampai dia selesai kerja. Tidak sering, tapi terkadang kalau pria itu sedang bebas. “Gak apa-apa, Sayang. Ada Sandra, kok, jadi kamu tidak perlu khawatir," ucap Airin menenangkan pria itu. Akhirnya mereka pun menyudahi percakapannya, karena Bara harus melanjutkan pekerjaan dan ada meeting pagi. Airin meletakan ponselnya di atas ranjang dan berjalan ke arah jendela dan membuka tirainya seketika cahaya mentari pagi menerobos masuk membuat kamarnya menjadi terang benderang. Matanya melirik pada jam digital di atas nakas. Pukul delapan lebih lima belas menit. “Pantas saja.” Airin pun mengambil handuk dan keluar dari kamar. Kebetulan di kamarnya tidak ada kamar mandi, sehingga dia harus keluar dari kamar untuk ke toilet yang terletak di sebelah dapur. Nampak ruangan apartemen mini Sandra masih lengang, sepertinya sahabatnya itu masih terlelap. Airin pun memilih mandi dan setelah itu membuat sarapan untuk mereka. Sandra muncul saat Airin tengah membuat sarapan. “Pagi," sapa perempuan berambut sebahu itu. “Siang kali, San," balasnya seraya tertawa. Sandra pun ikut tertawa sembari duduk di atas kursi tinggi. Airin meletakan segelas air di hadapan Sandra. “Terima kasih, Sayang.” “Anytime!” Airin pun kembali melanjutkan masakannya yang hampir selesai. Kemudian dia mengambil dua buah piring dan mengisi piring-piring tersebut dengan masakannya. “Sarapan yang kesiangan," ucap Airin seraya meletakan satu piring di depan Sandra dan satu lagi untuknya. “Wow!” seru Sandra antusias. Airin terkikik. “Aku gak pandai masak, semoga saja itu gak bikin kamu sakit perut," katanya bercanda. Sandra berdecak, menanggapi ucapan konyol Airin. Jelas dia sangat tahu kehidupan Airin selama tiga tahun itu sangat berat dan memaksa gadis itu menjadi lebih kuat dan mandiri. Dia yakin kalau Airin bisa memasak lebih baik darinya. “Selama ini gue gak pernah sarapan kayak gini, Rin,” ungkapnya. Sandra lebih suka memakan apa adanya saja, ditambah dia juga jarang berlama-lama di apartemennya. “Oh, ya? Maaf." “Kenapa mesti minta maaf, justru gue senang karena ada yang masakin.” Airin tersenyum cerah ke arah Sandra, yang kemudian melanjutkan acara makannya. Beberapa hari kemudian, Airin mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Sandra pun mulai jarang masuk kerja, atau berbeda shift kerja dengan Airin. Malam itu Bara berkesempatan datang ke cafe tempat kerja kekasihnya. Airin menghampiri Bara sembari menanyakan pesanan. “Aku mau makan kamu saja, sih.” Airin memelototi pria itu. Bara tertawa lepas, kemudian menyebutkan pesanannya. Dia tidak mau membuat Airin ditegur oleh manager dan menjadi masalah, ditambah kekasihnya juga masih berstatus pegawai baru. “Aku akan tunggu sampai jam kerja kamu selesai," katanya sebelum Airin meninggalkan mejanya. “Oke. Jaga diri baik-baik," balas gadis itu seraya mengerling genit. Bara memandangi Airin yang perlahan menjauh dan hilang di tikungan yang mengarah ke kitchen. “Bara, lo sendirian?” tanya Gaston yang baru saja turun dari lantai atas dan menyapanya. Mereka sudah saling kenal, karena Bara adalah keponakan dari temannya, salah seorang yang banyak berinvestasi di cafe-nya ini. “Yoi! Apa kabar, Om?” tanyanya berbalik pada teman om-nya itu. “Baik. Dengar dari Arkan katanya lo sudah balik dari Surabaya.” “Iya, Om. Sekitar satu minggu lalu.” “Omong-omong lo sudah pesan?” tanya Gaston melirik ke arah meja Bara yang masih kosong. “Sudah, Om. Bentar lagi juga dianterin.” Gaston manggut-manggut. “Sampai nanti, Bar. Gue ada janji sama klien di luar. Nikmati minumannya!” “Oke, Om. Hati-hati!” Gaston melambaikan tangan ke arah Bara dan berlalu dari sana. Bara hanya memperhatikan pria itu yang perlahan menghilang di balik pintu cafe. Gaston seumuran dengan om-nya, dan pria itu masih lajang hingga saat ini, sedangkan om-nya sudah menikah dua tahun lalu. Dia dengar dari om-nya, kalau Gaston tidak suka dengan hubungan yang terikat komitmen. Pria itu hanya ingin bebas tanpa ada yang mengatur. Sekitar pukul setengah satu malam Airin sudah selesai dengan jam kerjanya. Gadis itu pun sudah berganti pakaian. Bara masih menunggunya di kursi bar dengan ditemani bartender yang masih berjaga. “Gue balik duluan, Bro!” kata pria itu pada sang bartender yang menemaninya mengobrol sejak tadi. “Siap, Bos!” Bara meraih tangan Airin, menggandengnya berjalan keluar menuju area parkir. Mereka sudah dalam perjalanan pulang menuju apartemen Sandra. Tiba-tiba saja Bara menguap. “Tuh kan, ngantuk, ya?!” Airin mengusap pipi Bara lembut. “Sedikit," katanya. “Besok-besok jangan lagi deh.” “Eh, apaan, sih! Aku gak keberatan, kok.” Bara mulai protes. “Gak enak akunya, bikin kamu capek,” balas Airin sembari mengusap lengan kekar pria itu. “Gak capek, kok. Aku malah senang. Kita mampir ke hotel, ya?” Airin menyipitkan matanya, pasti ada sesuatu di balik permintaan pria itu yang tiba-tiba saja ingin check in ke hotel. “Mau ngapain?” tanya Airin seakan bodoh, jelas-jelas dia sangat tahu apa yang diinginkan oleh Bara. Semenjak dia mengakui kalau dirinya sudah tidak perawan, Bara seolah-olah menganggapnya barang bekas yang selalu siap dipakainya. Padahal hal itu sangat menyakitinya. Namun, dengan bodohnya dia tidak bisa menolak ketika Bara memintanya, seakan hal itu pantas dia berikan. “Tidur lah, Sayang. Memangnya mau ngapain lagi.” ”Ke apart Sandra saja, deh, ya?” pinta Airin memohon. “Akunya juga capek.” “Ya sudah kalau begitu.” Sesampainya di apartemen Sandra, sikap Bara sedikit berbeda. Airin tahu kalau Bara kecewa karena dia tidak mau dibawa ke hotel. Mau bagaimana lagi, dia lelah. ”Istirahat, ya, sudah malam.” Bara mengecup kening Airin lembut saat gadis itu berhasil membuka pintu apartemen. “Masuk sana!” titah pria itu lagi. “Kamu pulang," katanya. Bara mengangguk. Airin pun masuk ke dalam rumah, bersamaan dengan Bara yang melangkah menjauh dari unit apartemen Sandra. Gadis itu masih memandangi punggung Bara yang kemudian menghilang di ujung koridor menuju lift.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD