2. Kenangan Pahit

1465 Words
Setelah sekian lama, akhirnya Leon bisa bertemu kembali dengan Aji—sang ayah. Tapi leon sama sekali tidak menyangka jika pertemuannya mereka malam ini terasa menyayat hatinya. "Leon! Perkenalkan, ini Lingga, calon ibu mu," kata Aji dengan menggandeng mesra Lingga di hadapan putra sulungnya. 'Jadi ini alasan dibalik makam malam  yang Papa buat!' batin Leon. Dengan begitu percaya diri, Lingga mengulurkan tangannya dan tersenyum ramah pada Leon. Sosoknya yang terlihat sangat keibuan membuat Leon akhirnya membalas uluran tangan wanita itu. "Leon." "Lingga." Perkenalkan malam itu begitu singkat, sampai akhirnya Aji mulai ingin meresmikan hubungan mereka.  Leon belum sepenuhnya rela saat melihat Aji memilih untuk menikah dengan Lingga, saat Davina sang Ibu baru saja empat bulan tiada. Tapi Leon tidak mampu berbuat apapun. Ia hanya bisa membiarkan sang ayah menikah kembali. Satu tahun pernikahan Aji dan Lingga telah berlalu. Mereka hidup bersama dalam rumah mewah milik Aji. Leon, Reyhan dan Angel. Mereka ada disatu atap yang sama, tapi ketiganya sangat jarang bertegur sapa, karena sikap Reyhan yang terlalu arogan dan sombong. Leon dididik dengan begitu baik oleh ibu kandungnya, membuat Ia merasa tidak nyaman berada dalam satu rumah yang sama bersama ibu dan saudara tirinya. Sampai akhirnya Leon memutuskan untuk tinggal sendiri di sebuah apartemen milik Davina. Apartemen itu sudah dilengkapi dengan fasilitas lengkap, membuat Leon benar-benar tidak bisa menahan diri untuk tetap berlama-lama ada dalam rumah yang sama bersama saudara tirinya. Tanpa menunggu waktu lagi, pagi ini, di meja makan Leon mengutarakan keinginannya. Bagaimanapun reaksi Aji, Leon akan tetap pada pendiriannya. "Leon sudah memutuskan, jika mulai besok Leon akan tinggal di apartemen milik Mama," katanya saat makan malam. "Tapi kenapa sayang? Apa rumah ini tidak cukup besar untuk kita tinggali bersama-sama?" tanya Lingga dengan lembut. "Ya Leon, kenapa kamu harus tinggal di sana? Rumah ini juga milik Davina dan itu artinya—" "Mama memang tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk mu. Maka dari itu kamu memilih untuk tinggal sendiri, dari pada kamu yang pergi, lebih baik aku dan Chandra yang pergi mas..." sambung Lingga dengan wajah penuh kepalsuan. "Cukup!! Aku hanya ingin hidup dengan caraku, dengan tetap menjaga apa yang telah diajarkan Mama semasa Ia hidup." Leon menatap tajam Reyhan dan Lingga. Ia benar-benar muak dengan sikap mereka yang selalu semana-mena, bahkan mereka berani  menunjukkan sikap arogansi mereka dihadapan Leon. Namun semua berubah saat mereka ada di hadapan Aji. "Apa maksudmu bicara seperti itu, Leon? Ingat!! Mereka sekarang adalah keluarga mu juga." "Aku sudah selesai! Aku permisi." Leon berdiri dan meninggalkan meja makan dengan kasar. Untuk pertama kalinya Aji melihat perubahan sikap putranya itu. Aji berniat untuk mengejar Leon, namun sayangnya Lingga terlalu cerdik. Ia menahan pria itu untuk tetap duduk bersamanya dan membiarkan Leon meninggalkan rumah tersebut. “Jangan kejar dia, Mas! Dia butuh waktu, jadi biarkan dia sendiri untuk saat ini.” Aji hanya mengangguk dan melanjutkan sarapan pagi mereka. Dalam hati Lingga tertawa puas. Ia bermain mata dengan putra sulungnya, sebagai tanda kemenangannya. Tanpa harus bersusah payah untuk menyingkirkan Leon, anak tirinya itu sudah angkat kaki dengan sendirinya. 'Akhirnya anak itu pergi dari rumah ini. Sekarang aku akan bisa melanjutkan semua rencana ku,' batin Lingga. *** Beberapa bulan telah berlalu dan Leon tiba-tiba saja mendapat sebuah panggilan dari Aji untuk datang ke rumah besar. Meskipun ia sangat enggan untuk menginjakan kaki di rumah itu, demi menghargai Aji, ia tetap datang. Saat ia menginjakkan kakinya kembali di rumah dengan sejuta kenangan indah bersama Davina—Sang ibu, Leon merasa ada yang tidak benar. Tidak ada sapaan hangat dari para maid ataupun penjaga gerbang. Leon justru mendapat tatapan bengis, tapi itu bukan masalah, karena ia sama sekali tidak pernah bergantung pada mereka. "Tuan muda..." sapa Sumi, pengasuh yang membantu Davina menjaga Leon sejak Ia dilahirkan. "Apa kabar bi? Oh ya... Dimana Papa dan yang lainnya?" Leon menyapa hangat Sumi. "Tuan besar bersama Nyonya ada di ruang keluarga. Tapi sebaiknya Tuan pergi, bibi merasa ada yang tidak benar dengan Tuan besar," bisik Sumi. "Aku akan pergi setelah bertemu dengan Papa." Leon menepuk pundak Sumi, mengangguk perlahan dan mulai berjalan menaiki tangga menuju ruang keluarga di lantai atas. Langkahnya tiba-tiba tertahan saat suara Reyhan menyerukan namanya dengan keras. Tanpa berucap salam ataupun mengetuk pintu, Leon langsung masuk dan melihat ekspresi semua keluarga. Tatapan mereka benar-benar mengintimidasi Leon, seakan ia adalah bangkai menjijikan yang harus segera di singkirkan. "Sepertinya aku datang diwaktu yang tidak tepat!" kata Leon dengan berniat untuk kembali menutup pintu. "Kamu datang di waktu yang tepat Leon! Masuk dan duduk bersamanya," tunjuk Aji pada tempat kosong di samping Reyhan. Leon melihat ada amarah yang cukup besar dalam diri Aji—Papanya. Ia tidak membantah dan memilih duduk dengan tenang. Tapi sungguh, Ia menyesal telah masuk dan bertemu mereka semua. Jika saja ia menyetujui saran Sumi, mungkin ia tidak akan hancur seperti saat itu. "Mulai hari ini, Papa akan menarik semua fasilitas yang kamu miliki, termasuk apartemen milik Davina. Papa tidak menyangka, jika darah daging Papa sendiri tega berbuat seperti ini," kata Aji penuh kekecewaan. "Apa Leon tidak salah dengar, Pa? Kenapa Papa menarik semua yang menjadi hak ku!" Leon benar-benar tidak bisa menerima keputusan Aji yang sepihak. “Apa salah Leon, Pa? Tolong jelaskan semuanya, paling tidak aku tahu dimana letak kesalahan ku, sampai semua fasilitas ku Papa ambil kembali.” "Dasar pendusta! Kau masih bisa bersandiwara setelah menggelapkan uang perusahaan hingga triliunan?" teriak Reyhan. Leon semakin bingung. Beberapa bulan yang lalu, ia justru mendapatkan sebuah keuntungan besar, bahkan Reyhan mengetahui segalanya. Tapi saat ini, kenapa ia justru mendapat tuduhan tidak manusiawi seperti ini? "Pa! Leon sama sekali tidak menggelapkan uang perusahaan. Bahkan papa juga tahu, Leon sama sekali tidak pernah mengambil uang perusahaan tanpa sepengetahuan papa!" jelas Leon dengan sungguh-sungguh. "Lalu ini apa?" Aji melemparkan sebuah map yang berisi bukti transaksi atas nama Leon dengan nilai yang fantastis. "Apa kamu pikir Papa ini bodoh, Leon?!" lanjut Aji dengan berapi-api. Leon tidak pernah menyangka, jika Aji memiliki bukti. Tapi Leon dengan cepat melihat bukti transaksi atas namanya dan di sana Ia melihat sebuah kejanggalan. "Pa! Ini semua bukan ulahku!!" Leon semakin tidak terima, karena Ia sama sekali tidak pernah melakukan hal yang Aji tuduhkan. "Lalu ulah siapa? Mama tahu Leon, kamu pasti akan melemparkan hal memalukan ini pada kakak mu. Mama tahu kalau kamu tidak pernah menyukai Reyhan!" tiba-tiba saja Lingga memotong pembicaraan Aji dan mulai menangis tersedu-sedu, masang wajah palsu di hadapan pria itu. Melihat semua ini Leon hanya bisa memijit pelipisnya. Kepalanya berdenyut sakit saat melihat sikap sang ibu tiri yang begitu membuatnya muak. Dengan menahan amarahnya, Leon berdiri dan langsung melangkah pergi. Tapi sayangnya Lingga dan Reyhan terus memanas-manasi Aji agar menarik semua fasilitas yang Leon dapatkan. "Mas... Bukannya kamu akan menarik fasilitas yang kamu berikan  padanya?" bisik Lingga. "Kamu mau pergi kemana Leon? Papa belum selesai bicara, dan Papa juga belum menerima fasilitas yang telah Papa berikan pada mu," kata Aji dengan suara sedikit tertahan. Aji merasa tidak yakin dengan keputusan yang akan ia ambil, tapi berkat Lingga, semua berjalan tanpa ada keraguan sedikitpun. Leon menatap semua orang yang ada di ruangan tersebut dengan tajam. Termasuk pada Aji, tanpa berpikir panjang lagi, Leon merogoh saku celananya dan mengeluarkan semua kartu dari dalam dompet. Semua kartu yang pernah Aji berikan, dan hanya satu yang tidak pernah Leon tunjukan, black card yang pernah diberikan Davina padanya. Tapi sayangnya black card itu terkunci dan hanya bisa Leon gunakan jika ia telah menikah. "Aku menyerahkan semua ini bukan karena aku mengakui kesalahan yang sama sekali tidak aku lakukan. Tapi aku menyerahkan semua ini untuk membuktikan, jika aku sama sekali tidak bersalah!” “Pergi kamu! Dasar anak tidak tahu di untung. Jangan pernah kembali lagi ke rumah ini, sebelum kau mengakui segalanya!!” teriak Lingga. Sedangkan Angel, gadis itu menangis tersedu-sedu dan memohon agar pada Leon untuk tetap tinggal. Tapi sayangnya saat itu Leon tertipu dengan semua kebusukan saudara tirinya, Ia memeluk erat Angel dan pergi dengan rasa sakit yang begitu besar. *** Disebuah Villa mewah yang baru saja dibelinya, Leon saat ini berdiri di sebuah ruangan yang menghadap lurus pada taman belakang. Menunjukan sebuah kolam renang besar yang begitu jernih dan bersih. Leon menarik napas dalam, berusaha untuk tetap menahan diri agar amarahnya tidak meledak dan menghancurkan rencananya untuk kembali membersihkan namanya. "Tuan! Anak buah kita melihat seorang gadis muda yang mengintai rumah itu!" Lapor Jack. "Gadis muda?" Jack mengangguk tegas. Leon menyesap wine dalam gelas franky, kemudian ia meletakan gelas tersebut tepat di samping botol yang masih tertutup rapat. Belum tersentuh sedikitpun. Leon menatap Jack dengan penuh tanda tanya, kemudian ia sedikit tersenyum. "Cari tahu siapa dia!” Jack berjalan mendekat dan memberikan sebuah map pada Leon. Untuk sesaat kening pria itu berkerut, sampai akhirnya kedua sudut bibirnya terangkat saat melihat isi map tersebut. “Bawa dia kemari, Jack! Aku rasa dia sedang membutuhkan teman saat ini.” "Baik tuan!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD