bab 8

1119 Words
Hari sudah siang saat Lana dan Dika kembali ke kantor setelah bertemu tim produksi di lokasi syuting. Lokasi yang cukup jauh hingga membuat mereka berdua banyak menghabiskan waktu di jalan. Aji langsung menghampiri Lana dan memberikan sebotol minuman air dingin pada Lana. Lelaki itu menjadi lebih perhatian setelah beberapa hari Lana meliburkan diri. "Lagi pada ngumpul?" Lana menarik kursi dan duduk di kubikel. "Udah kelar emang kerjaannya?" Di jam seperti ini biasanya mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Apalagi setelah beberapa hari Lana cuti, pastinya pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya dialihkan pada mereka bertiga. "Udah dong." Jawab Nata dengan wajah ceria, ciri khasnya. "Udah, wong gue yang ngerjain hampir delapan puluh persen dan sisanya dibagi dua lelaki jones ini." Tunjuk Lala pada kedua lelaki yang tengah tersenyum jahil padanya. "Maaf, gara-gara aku kalian semua kerepotan." Disaat banyaknya pekerjaan, Lana justru meliburkan diri. Hal yang sangat disayangkan, karena semua tanggung jawabnya dikerjakan orang lain. "Lo harus traktir gue makanan enak sebagai gantinya." "Iya. Nanti pas gajian aku traktir kamu mie ayam mang Ujang yang paling enak se Jakarta raya ini." "Yah,, mie ayam lima belas ribuan. Gue mau yang mahal." Keluh Lala lagi. "Mau yang lebih mahal dan enak, kita bisa makan pecel atau ketoprak Bu Aam." Lana menyebutkan beberapa menu kesukaannya. Sementara Lala hanya berdecak sebal. "Lan, Lo gak janjian kan libur bareng Dika?" Tiba-tiba Aji mengalihkan pembicaraan. Pembicaraan yang sebenarnya sangat dihindari Lana. "Nggak lah! Nggak mungkin kami janjian." Lana tersenyum samar, mencoba menutupi kebohongan dalam hatinya. "Aneh aja, Dika libur di waktu seperti ini. Nggak biasanya." Nata dan Lala menganggukan kepala secara bersamaan. "Memangnya dia biasa libur kapan?" Sedikit rasa penasaran tidak akan membuat Lana terlihat kepo, kan? "Biasanya Dika ambil cuti akhir tahun. Biasa lah, akhir tahun dia selalu jalan-jalan ke luar negeri bersama ceweknya." Jelas Aji. "Aneh aja kalau Dika cuti di waktu seperti ini, kayak bukan Dika banget. Mencurigakan." Ani mengusap dagu dan menganggukan kepalanya. "Mungkin ada urusan keluarga aja." Balas Lana. "Dia tuh bukan tipe orang yang mementingkan keluarga. Lebih penting ganti oli daripada kumpul di acara keluarga." Cibir Lala. Lana tidak begitu menanggapi obrolan kali ini. Pembahasannya terlalu sensitif. Salah bicara bisa membuatnya keceplosan. Lana tidak ingin rahasia antara dirinya dan Dika terbongkar sebelum kontrak pernikahan itu berakhir. Iya, Lana dan Dika sudah menikah dua hari lalu. Pernikahan sederhana yang hanya dihadiri keluarga dekat saja. Tidak ada pesta meriah, hanya ijab kabul saja. Lana memang menginginkan pernikahan yang sederhana sebagai satu-satunya syarat. Awalnya keluarga Dika menolak dan ingin tetap mengadakan acara resepsi pernikahan, tapi Lana mengatakan bahwa ia tidak menyukai keramaian. Beruntung Dika menyetujui keinginan Lana, hingga terjadilah pernikahan sederhana yang sangat mendadak itu. Untuk saat ini, Lana da Dika tinggal di apartemen milik Dika. Sementara Ibu masih tetap tinggal di rumah lama. Ibu menolak saat Lana meminta tinggal bersamanya di apartemen dengan alasan warung kelontong miliknya tidak akan terus. Menjadi dilema tersendiri untuk Lana, saat ia tidak bisa tinggal bersama Ibu lagi. Tapi Ibu berjanji akan mengunjungi Lana dua hari sekali sebagai gantinya. "Lo gak mogok kerja kan, Lan?" Lala mendekatkan kursi miliknya. "Akhir-akhir ini gue lihat Dika sering nyuruh-nyuruh Lo terus." Lana mengalihkan pandang dari layar komputer. "Nggak. Kenapa harus mogok kerja?" Lana balik bertanya. "Tapi Lo gak perlu khawatir, sang penyelamat sudah datang. Saat ini kita punya atasan yang lebih manusiawi dari Dika. Gue jamin selain ganteng, dia juga memiliki hati selembut kapas." Lala nampak terlihat antusias. Wanita itu selalu antusias pada sesuatu yang indah dipandang. "Siapa?" Tanya Lana. Ternyata dua hari libur ada banyak perubahan di kantor yang tidak diketahuinya. "Gue gak yakin dia baik. Nyatanya Dika yang gantengnya level tujuh puluh aja masih sering nyebelin. Apalagi dia yang level gantengnya udah ada di angka sembilan puluh." Sambar Aji. "Memangnya sikap menyebalkan seseorang bisa dilihat dari kadar ketampanan?" Lana menoleh ke arah Aji dan Lala secara bergantian. "Jelas. Karena semakin banyak lelaki tampan, mereka berdua ini semakin terlihat ngenes. Kadar kejelekannya makin terlihat." Sindir Lala. Lana tidak bisa menahan tawa. "Kalian berdua tetap kelihatan ganteng dimata wanita yang tepat." Lana mencoba membesarkan hati kedua teman lelakinya itu yang terlihat muram. "Dan sayangnya wanita tepat itu belum mereka temukan." Lala dan Lana tertawa bersama. "Emang beneran ganteng?" Tanya Lana memastikan. Aji dan Nata memang mudah terintimidasi dengan wajah tampan. Mereka akan merasa semakin kesulitan menaklukan beberapa karyawan cantik di kantor ini dengan artian lain mempersulit wilayah penaklukan. Wajah tampan artinya saingan baru. Lala langsung mengangguk cepat, bahkan mengangkat kedua ibu jarinya. Sepertinya tampan yang dimaksud benar-benar tampan, sebab kedua bola mata Lala berbinar terang. "Sangat! Kalau selama ini kita menganggap Dika adalah simbol ketampanan, Lo harus lihat CEO kita saat ini." Lala tersenyum genit. "Bener kata Aji, ketampanan Dika ada di level tujuh puluh, sementara dia ada di level sembilan puluh. Mendekati sempurna!" Lana terkekeh. Standar ketampanan seorang lelaki tidak bisa di sama ratakan. Dika memang tampan, apalagi saat lelaki itu mengenakan pakaian adat Sunda saat ijab kabul beberapa waktu lalu kadar ketampanannya meningkat drastis. Jika saja saat itu Lala hadir, bisa dipastikan wanita itu akan berteriak histeris. Lana tersenyum membayangkan momen pernikahannya itu. "Jangan bilang Lo udah ketemu CEO ganteng itu?" Selidik Lala. "Nggak. Dua hari lalu aku libur, kan? Nggak mungkin aku bertemu dia. Dunia nggak sesempit itu." Lana mengelak. "Tapi, emang seganteng itu?" Lana menoleh ke arah Nata, yang sejak tadi terlihat sibuk dengan ponselnya. Pendapat Nata jauh lebih objektif. "Iya. Lebih ganteng dari Dika." Nata menoleh sekilas, lantas kembali menatap layar ponselnya. Lana tiba-tiba teringat sosok lelaki yang ditemuinya beberapa hari lalu, saat di lift. Kejadian memalukan itu memang sempat membuat Dika marah. Mungkin saja lelaki yang saat ini dibicarakan temannya adalah lelaki yang sama waktu itu. Lelaki yang sempat mendapat ciuman dari ponselnya. Jika saja Lana dipertemukan lagi dengan lelaki itu, tentu saja ia akan meminta maaf. Karena kecerobohannya lelaki itu mendapat pukulan. "Lo harus bertemu dia. Gue yakin kinerja kita akan semakin membaik." Ucap Lala antusias. Lana dan Lala tertawa bersama. Tapi tawa Lana menghilang saat ponselnya berbunyi. Nama Dika muncul di layar ponselnya. "Siapa?" Tanya Lala. "Pak Dika." Lana menerima panggilan tersebut yang hanya berdurasi beberapa detik saja. Rasanya masih aneh ketika Dika menghubunginya setelah status baru yang mereka miliki saat ini. Tapi Dika selalu menegaskan bahwa mereka hanya terikat pekerjaan, tidak lebih. Jadi Lana harus membuang jauh-jauh perasaan aneh itu. "Ngapain? Bukannya barusan Lo berdua abis ketemu? Bahkan ke lokasi syuting bersama?" Selidik Lala. Baru beberapa menit lalu Lala begitu antusias membicarakan bos tampan dengan begitu menggebu, tapi sepertinya Dika jauh lebih membuatnya penasaran. "Ngajak ketemu tim divisi kreatif marketing. Katanya proyek baru." "Kenapa nggak ajak gue?" Protes Lala. "Nggak tau, nanti aku tanya Dika ya?" Lana tersenyum saat Aji datang menghampirinya dan memberi isyarat ke atas. Rupanya Lana tidak akan sendirian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD