Pak Andra dan Dika sama sekali tidak bisa dibandingkan. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Satu kesamaan yang mereka punya, yaitu sama-sama tampan. Mereka berdua kerap dijadikan bahan standard calon suami idaman.
"Pak Andra tetep ada di level lebih atas dibanding Dika." Pembahasan yang masih sama, meski kedatangan Bos baru itu sudah berlangsung lama.
"Menurutku Pak Dika jauh lebih unggul." Balas Lala. Ketiga temannya itu langsung menoleh dengan tatapan tidak percaya. Selama ini Lana sering mengeluhkan tentang sikap Dika yang terkesan semena-mena dan selalu membuatnya menderita. Dalam artian menderita di kantor.
"Maksudku, lebih unggul segala-galanya. Lebih arogan dan merasa sok pintar, sehingga dia bisa memperlakukan orang lain seenaknya." Jelas Lana dengan suara lantang.
"Menyebalkan!" Umpatnya.
"Standar menyebabkannya mencapai tiga belas dari skala satu sampai sepuluh." Lana benar-benar mengeluarkan unek-uneknya.
"Kalian gak ngerasa gitu emang?" Membicarakan keburukan seseorang memang sudah menjadi hal biasa di kantornya, terutama di divisi Lana. Topik seperti itu selalu menarik untuk dibahas, sayangnya kali ini ketiga temannya itu tidak merespon seperti biasanya.
"Tadi, pas gosipin Pak Andra kalian semangat banget. Bilang dia punya b****g sexy, suaranya enak didengar, wajahnya amat sangat tampan, tapi giliran bahas Pak Dika diem aja." Keluh Lana, karena obrolannya tidak mendapat respon seperti biasa.
Lana menoleh ke arah Aji. Lelaki itu mengangkat alisnya berulang kali, seperti memberi isyarat.
Lana mengerutkan kening, ternyata bukan hanya Aji, tapi Nata dan Lala pun memberikan isyaratkan aneh. Tiba-tiba saja punggungnya terasa dingin, dan berubah horor. Peralatan Lana menoleh dan mendapati dua lelaki yang tengah dibicarakannya berdiri tak jauh dari tempat mereka berada. Andra tersenyum manis seperti biasa, sementara Dika menatapnya tajam.
"Ya ampun. Kenapa gak bilang," keluh Lana dengan suara lemah.
"Lo sih, kalau jelekin Dika nggak tanggung-tanggung." Balas Lala, setelah memastikan kedua lelaki itu pergi.
"Tapi, Pak Dika emang seperti itu kan?" Lana membela diri.
"Iya. Tapi membicarakan keburukan seseorang di hadapannya sama aja bunuh diri." Sambar Aji.
"Gue turut prihatin, Lan. Semoga Lo masih selamat dianmuk Dika."
Lana hanya menghela lemah. Apa yang diucapkannya memang benar. Dika memiliki sikap menyebalkan di atas rata-rata. Lana tidak berharap Dika memperlakukannya dengan baik, karena status yang mereka miliki saat ini. Tapi Lana merasa Dika tidak adil dalam membagi pekerjaan. Lana sering kali mendapat bagian lebih banyak dan sulit. Tak jarang apa yang dikerjakannya harus diulang, dan di ulang lagi. Padahal bebebrapa kali Lana berhasil membuat Andra terkagum-kagum dengan hasil pekerjaannya. Tapi dimata Dika apa yang dikerjakannya selalu salah atau kurang.
Dika pernah membolak-balik iklan yang dibuat Lana, setelah pertemuan dengan klien. Tentu saja saat itu Andra ikut hadir. Sebelum Andra pergi dia tidak mengatakan apapun, bahkan Andra setuju dengan iklan buatan Lana. Hanya butuh sedikit koreksi saja. Tapi setelah Andra dan klien pergi, Dika menunjukan rasa tidak puas yang tergambar jelas di wajahnya. Lana tau, pekerjaannya tidak sesuai dengan keinginan Dika.
"Aku nggak suka sama ide ini." Dika melempar lembaran kertas ke tengah meja.
"Kamu harus membuat ulang. Baru." Tegasnya.
Membuat baru? Lana membuatnya hampir satu Minggu full dan dengan entengnya lelaki itu menyuruhnya mengganti dengan yang baru. Andra dan klien tidak menunjukan ketidak sukaannya secara berlebihan seperti Dika. Tapi lelaki di hadapannya itu benar-benar sangat menyesalkan.
"Pak Andra nggak minta baru, dia hanya minta perbaikan sedikit aja." Lana mencoba tetap tenang.
"Bahkan klien pun nggak menunjukan ketidaksukaannya pada iklan yang saya buat." Lana harus memperjuangkan hasil karyanya, dia sudah memeras otak membuat iklan tersebut dan Dika dengan mudahnya meminta rencana cadangan.
"Nggak menarik! Kamu bisa baca ekspresi orang nggak sih?! Mereka kelihatan banget kurang puas."
Tiba-tiba saja rasa panas menyerang Lana. Kalimat yang diucapkan Dika menyentil egonya.
"Baik. Saya akan membuat ide lain. Yang lebih bagus." Lana mencoba tetap senyum, berusaha menahan keinginan meraih kertas yang dilempar Dika, menggulung dan memukulkan ke kepalanya. Lana benar-benar kesal.
Sejak saat itu Lana sering dibuat kesal oleh Dika. Lelaki itu lebih mirip manusia yang memiliki dua kepribadian. Di rumah, Dika tidak pernah berbicara sedikitpun dengannya, tapi di kantor mulutnya seperti banjir. Deras bener!
"Lo nggak usah pasang wajah merana gitu dong, gue ikutan Prihati deh." Lala menyikut lengan Lana, membuatnya menoleh lesu.
"Dika nggak bakal makan Lo hidup-hidup. Paling Lo di cekik, di lempar, di cincang, baru dimakan." Lala tertawa. Tawa yang langsung menghilang setelah Lana menatapnya tanpa minat.
"Sorry," Lala meringis pelan.
"Tetap semangat! Gue yakin Andra pasti belain Lo. Inget nggak, Bos sexy kita itu udah berapa kali belain kita?"
Lana tidak ingat. Tapi kehadiran Andra di kantor memang sedikit membawa angin segar di tengah badai gersang bernama Dika.
"Nah,, gue yakin, kali ini Pak Andra bakal belain Lo lagi. Harusnya sih Dika bersikap profesional jangan melibatkan urusan pribadi sama kerjaan. Laki-laki yang mudah tersinggung adalah lelaki yang mudah baper." Lala tersenyum. Senyum yang tidak bisa menular pada Lana.
"Semoga aja dia beneran nggak makan aku!" Keluh Lana. Jika saja Lana bertemu Dika hanya di kantor, tentu saja Dia tidak akan merana seperti saat ini
Tapi kenyataannya mereka akan kembali bertemu di rumah, dan kemungkinan Dika akan meluapkan lahar kekesalannya di rumah sangat besar. Lana tidak siap jika harus me dapat Omelan dua kali, di rumah dan di kantor.
Kesunyian langsung menyapa Lana saat ia sampai di apartemen yang menjadi tempat tinggalnya setelah menikah. Tidak ada tanda-tanda Dika pulang lebih dulu. Lana pun segera bergegas masuk kedalam kamar, setelah membawa makanan dan minum. Ia tidak akan keluar kamar sampai besok pagi untuk menghindari Dika.
Lana menghela lemah saat ia berhasil masuk kedalam kamar. Untuk saat ini aman dan semoga saja ia tidak kehausan malam harinya agar tidak perlu keluar kamar lagi.
Baru beberapa langkah menuju meja rias, Lana mendengar suara ketukan di pintu.
"Lana. Keluar!" Suara Dika.
Ya ampun!
"Lana! Keluar!" Teriaknya lagi. Lana sudah merasakan firasat buruk. Dika pasti akan membuat perhitungan dengannya karena ucapan Lana tadi siang.
"Buka! Atau aku," belum sempat Dika menuntaskan ucapannya, Lana sudah terlebih dulu membuka pintu. Sebaiknya memang diselesaikan saat ini juga. Meminta maaf tidak akan membuatnya rugi, apalagi Lana memang salah karena menyebut Dika egois. Tapi kenyataannya memang seperti itu. Dika si super egois.
"Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu tersinggung. Aku beneran minta,"
"Apa b****g Andra jauh lebih bagus dibanding aku? Ya ampun kalian memiliki mata minus berapa sih?!"
"Hah?!" Lana tertegun sejenak, sebelum akhirnya ia tertawa terbahak-bahak.