Mereka sampai di kontrakan Halwa bersamaan dengan Puri yang keluar dari kontrakan dengan mata melotot pada Halwa. Bukan sambutan yang Halwa inginkan sebenarnya. “Siapa dia?” tanya Mirza sebelum mematikan mesin mobil dan memandang sosok wanita yang memakai piama bergambar kartun tengah berdiri di muka pintu dengan kedua tangan terlipat di depan d**a.
“Puri, teman saya.” Jawab Halwa seraya melepas seatbelt yang dikenakannya. “Terima kasih untuk tumpangannya.” Ucap Halwa yang kemudian turun dari mobil Mirza. Puri berjalan dengan cepat ke arah Halwa dan seketika memukuli lengan Halwa yang tertutup cardigan.
“Loe bisa gak sih gak bikin gue panik!” desis gadis itu dengan pukulannya yang sebenarnya tidak terlalu kencang namun membuat Halwa mengaduh. “Loe keluar rumah, gak kunci pintu, gak bawa hape, gak bawa dompet. Loe tahu kalo gue mikir kalo loe itu diculik?!” pekiknya kesal masih memukuli lengan Halwa yang membuat gadis itu menggigit bibir dan memandang Puri dengan muka memelas penuh permohonan maaf. Tanpa keduanya sadari, Mirza berdiri di samping pintu kemudi dan memandang keduanya dengan sebelah alis terangkat dan senyum terkulum di wajahnya.
“Sorry, gue lupa.” Ucap Halwa apa adanya.
“Bisa gak sih lupanya jangan sesuatu yang penting kayak gini. Gue bener-bener niat pergi ke kantor polisi kalo jam dua belas loe gak nongol!” ucap Puri lagi dengan kesalnya. “Gue pikir loe pergi ke warung, makanya gue nyantai mandi trus makan. Tapi jam sembilan loe gak ada balik ke rumah. Gue mulai panik. gue telepon dan ponsel loe ada. Gue cek ke kamar, tas loe juga ada disana. Gimana gue gak panik? Siapa yang tahu kalo loe diculik PK, dibungkus pake karung trus dijual ke perdagangan illegal?” tuntutnya bertubi-tubi yang kini mau tak mau membuat Mirza terkekeh mendengarnya.
Puri menghentikkan ocehannya dan menoleh, memandang Mirza yang juga tengah memperhatikan keduanya. Puri dan Halwa, tampak seperti ibu yang tengah memarahi anaknya. Hal itu terlihat lucu baginya mengingat keduanya sama-sama gadis dewasa.
“A-anda siapa?” tanya Puri gugup. Terkejut melihat sosok pria tampan tengah berdiri dengan wajah menatap mereka geli. Halwa pun turut menoleh dan melihat Mirza, cukup terkejut karena pria itu masih ada disana.
Mirza meletakkan sebelah lengannya di atas mobil dan melambaikan tangannya yang lain pada Puri. “Saya Mirza, atasannya Halwa.” Ucap Mirza dengan senyum di wajahnya yang membuat Puri terpesona.
“Bos Ojek?” bisik Puri lirih yang masih bisa didengar Mirza. Spontan Halwa menepuk lengan sahabatnya itu.
“Bos Ojek?” Mirza bertanya bingung.
Puri dan Halwa seketika menggelengkan kepala seraya mengibaskan kedua tangan mereka. “Kenapa Anda masih ada disini? Kenapa Anda tidak pulang?” tanya Halwa yang membuat Puri kembali memukul lengannya.
“Kenapa loe gak sopan begitu sama bos loe? Harusnya loe tawari dia mampir, sediain minuman atau apa kek.” Tegur Puri, lagi-lagi dengan nada yang bisa didengar Mirza meskipun jarak mereka hampir dua meter jauhnya.
“Ngapain juga nawarin masuk. Dia baru aja makan sama minum, jadi perutnya udah kenyang.” Ucap Halwa dengan nada ketusnya yang membuat Mirza tersenyum mendengarnya. Gadis itu tidak bisa bersikap manis ternyata. “Anda juga, ini udah malam. Gak sopan bertamu ke rumah gadis di jam seperti ini. Nanti kalo tetangga lihat, mereka ngomong yang enggak-enggak.” Usirnya pada Mirza.
“Ya emang kenapa, ini Jakarta, bukan kampung kita.” Jawab Puri lagi.
“Tetep aja, norma ya norma.” Tolak Halwa pada sahabatnya. “Lagian nanti kalo ada petugas siskamling trus kita digerebeg karena masukin tamu malem-malem, kita juga yang malu.” Ucap Halwa lagi.
“Ya kalo malu, bilang aja sama yang ngegerebeg kalo dia pacar loe. Paling juga mereka minta dia halalin loe. Kelar urusan.” Jawab Puri santai. Halwa memicingkan matanya memandang sahabatnya dengan kesal.
“Loe kalo ngomong.” Desis Halwa yang membuat Mirza kembali terkekeh. “Udah sana masuk!” perintahnya pada Puri sebelum menoleh pada Mirza. “Anda juga, silahkan pulang. Selamat malam dan terima kasih untuk semuanya.” Ucapnya masih dengan nada ketusnya seraya mendorong Puri masuk ke dalam kontrakan kecil mereka dengan cukup kesulitan karena gadis yang lebih tinggi darinya itu masih saja menoleh ke belakang dan melambaikan tangannya pada Mirza, mengajaknya masuk.
Halwa mendorong Puri dan menutup pintu. Disaat bersamaan, Puri mengintip dari balik gorden, melihat Mirza yang sudah kembali masuk ke dalam mobilnya dan mengeluarkannya dari area kontrakan mereka.
“Sumpah, ternyata bos loe…” ucap Puri dengan ekspresi memuja. “Gue gak bisa nyalahin dia kalo dia jadi playboy. Siapa sih yang bakal nolak dia, gue juga gak akan sudi nolaknya.” Jawabnya seraya tertawa. Udah mah kaya, mobilnya keren. Tampangnya…” Puri menghadapkan dua telapak tangannya seolah sedang merangkum wajah seseorang. “Body nya… “ ia meletakkan kedua telapak tangannya ke depan seraya bergerak naik turun seolah sedang meraba sesuatu. “Coba kalo gue lihat dari deket. Gue mau tahu itu bibirnya yang ada di balik kumis berwarna apa, setipis apa. Kayaknya cipokable ya? Kenyal-kenyal gimana gitu?” lanjutnya seraya menggigit bibir bawahnya dengan gaya menggoda kemudian terkikik geli.
“Mingkem loe, jangan ngiler.” Ucap Halwa seraya mencari keberadaan ponselnya. Baterainya kini sudah terisi penuh. Halwa mencabutnya dari kabel charger dan meletakkanya begitu saja lantas masuk ke kamar mandi untuk cuci muka dan menggosok giginya sebelum tidur.
“Loe beneran mau jauhin dia, Wa?” tanya Puri diluar pintu kamar mandi seraya melipat kedua tangannya di depan d**a dan bersandar pada daun pintu yang terbuka. Halwa memandang sahabatnya dari cermin dan mengangkat sebelah alisnya, masih dengan tangan yang sibuk menggosok giginya. “Loe beneran mau ngundurin diri? Gak sayang loe kalo gak liat wajahnya lagi?” cetusnya lagi yang masih dijawab Halwa dengan sebelah alisnya yang terangkat.
Halwa kemudian mencuci mulutnya dan mengusapnya dengan handuk sebelum membalikkan badan dan memandang Puri. “Loe berubah jadi tim pendukung dia setelah liat wajahnya?” tanya Halwa dengan nada mengejek yang kemudian dijawab Puri dengan anggukkan kepala. “Sayang, lowongan buat jadi aspri-nya Sir Mirza udah diisi sama orang lain. Tau kalo loe mau, gue ajuin loe sama Pak Bagja.” Jawabnya dengan ketus.
Halwa melangkah keluar dari kamar mandi dan masih mendapatkan tatapan penuh arti dari sahabatnya. Namun Halwa memilih tak peduli. Meraih ponsel yang ada di atas meja dan membawanya masuk ke dalam kamarnya, bersiap menyambut besok pagi dan berharap bisa tidur nyenyak tanpa mimpi.
Keesokan paginya.
“Pertama-tama kamu pergi ke kantor Sir Mirza, siapkan dokumen penting yang harus diperiksanya. Diurutkan sesuai dengan urgensinya.” Ya hari baru dengan orang baru yang harus diajarinya tentang pekerjaannya sebagai seorang sekretaris sekaligus asisten pribadi Mirza. Sabrina ternyata orang yang tepat waktu. Dia datang sepuluh menit lebih awal sesuai dengan apa yang Halwa instruksikan. Tanpa basa-basi, Halwa langsung mulai menjelaskan tentang pekerjaannya pada gadis yang akan menggantikkan posisinya itu. Halwa sudah meminta tambahan kursi pada OB untuk diletakkan di samping mejanya supaya Sabrina bisa mulai mengotak-atik computer, tablet dan bahkan ponsel khusus yang akan dia gunakan untuk melayani para kekasih bosnya itu.
Mirza datang tepat waktu, seperti biasanya. Kali ini pria itu COO Abrisam Corp alias tangan kanannya yang kini mengawasi kinerja perusahaan pribadi milik pria itu. Pria tinggi yang memiliki wajah ramah dan senyum manis bernama Elvan Faeyza. Ya, katakanlah keduanya sama-sama playboynya. Tentunya buaya tidak akan bermain dengan yang bukan kalangannya kan? Karena itulah, sama halnya ia menunjukkan wajah datarnya pada Mirza, Halwa pun melakukan hal yang sama pada Elvan. Jika tidak, pria itu pasti akan menunjukkan pesona terbaiknya meskipun tahu kalau Halwa tidak akan terpancing olehnya.
Halwa menjabarkan tentang jadwal pria itu di depan Elvan tanpa didampingi Sabrina. Nanti, ada waktunya gadis itu mengerjakan bagiannya. Untuk sementara waktu, Sabrina akan berkutat dulu dengan beberapa data penting yang harus gadis itu pelajari supaya kelak tidak harus banyak bertanya pada Halwa. Karena Halwa juga tidak bisa memberikan perintah secara sekaligus pada Sabrina. Mesin saja harus melakukan pekerjaan secara step by step, apalagi manusia.
Halwa keluar dari ruangan Mirza dan melihat Sabrina masih fokus pada layar di mejanya. “Kalau ada pertanyaan, jangan sungkan bertanya ya. Lebih baik kamu banyak bertanya sekarang daripada nanti.” Ucap Halwa yang kemudian duduk di samping Sabrina. Sabrina hanya menganggukkan kepalanya dan kembali menekuni pekerjaannya.
Halwa merasakan ponselnya bergetar. Ia melihat layarnya yang menyala dan ada panggilan dari orang yang dikenalnya. “Iya, Jeng?” jawab Halwa tanpa mengucap salam apapun.
“Maaf baru baca pesan dari Mba. Jadi kita ketemu?” Tanya suara gadis di seberang sana.
Halwa melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Ia tahu kalau Mirza akan keluar sebentar lagi dan setelahnya ia pun akan keluar karena hari ini tugasnya adalah memantau orang yang membersihkan apartemen pria itu. Sebenarnya Halwa sudah lama tidak melakukan pemantauan itu. Ia sudah mempercayakan apartemen Mirza sejak ia bekerja sama dengan Ajeng. Ia sangat percaya pada Ajeng sehingga ia melepas gadis itu untuk bekerja sendirian tanpa pengawasan. Namun hari ini, dia harus mengenalkan Sabrina pada gadis itu sehingga nantinya keduanya tidak lagi merasa sungkan.
“Satu jam lagi Mba kesana.” Jawab Halwa.
“Oke, Ajeng tunggu.” Dan sambungan terputus.
Satu jam kemudian, dengan diantar supir, Halwa dan Sabrina sudah sampai di apartemen Mirza yang semalam dia datangi juga. “Kamu bisa nyetir?” tanya Halwa pada Sabrina. Gadis itu menganggukkan kepala. “Kamu bisa ngajuin mobil dinas sama pak Bagja kalau kamu bisa nyetir. Aku sendiri gak bisa nyetir jadi selama ini pakai jasa supir.” Aku Halwa. Sabrina hanya menganggukkan kepala. Mereka masuk ke lift yang ada di bagian lobby setelah sebelumnya menyapa penjaga apartemen dan resepsionis dan memperkenalkan Sabrina sebagai penggantinya supaya mereka memberikan Sabrina akses yang lebih mudah.
“Mba kenapa mau ngundurin diri?” tanya Sabrina saat mereka memasuki lift.
“Hanya butuh suasana baru aja.” Jawab Halwa singkat. “Aku udah gak muda lagi, sudah waktunya cari jodoh.”
“Apa pekerjaan Mba sampai segitunya sampai gak bisa punya waktu pribadi?” tanya Sabrina ragu.
Halwa menganggukkan kepala. “Nanti kamu bakal tahu kalau udah gantiin aku.” Jawabnya yang tampanya membuat Sabrina mengernyit takut.
Mereka sampai di depan unit Mirza. Halwa menekan paswordnya tanpa memberitahukan Sabrina. Nanti, setelah posisi mereka berganti barulah Halwa akan memberitahukan informasi itu. ia membuka pintu dan melihat sosok gadis muda, mengenakan celana jeans dan kaus lengan pendek dengan rambut panjang diikat ekor kuda tengah memainkan alat penyedot debu dengan tubuh memunggungi pintu. Headset di telinganya tentunya membuat gadis itu tidak menyadari kalau ada orang lain yang masuk ke dalam unit. Halwa sudah tahu kebiasaan itu dan ia tidak mempermasalahkannya.
Ia berjalan dengan pelan dan menepuk pundak gadis itu. Ajeng bukan gadis yang latah, namun karena terlalu terfokus pada music yang didengarnya dan juga pekerjaan yang dilakukannya, gadis itu tersentak dan memekik lirih karena terkejut. “Mba, ih.” Keluh gadis itu saat tahu siapa yang ada di belakangnya.
“Ajeng, ini Sabrina. Sabrina, ini Ajeng.” Ucap Halwa memperkenalkan si rapi dan si casual yang ada di kedua sisi tubuhnya. Ajeng melepas vacuum cleaner yang berderu halus di tangannya, mengusap telapak tangannya pada celana jeansnya sebelum mengulurkan tangan pada Sabrina.
“Ajeng.” Ucap Ajeng dengan suara lembutnya.
“Sabrina.” Ucap Sabrina seraya menerima uluran tangan Ajeng dan menggenggamnya.
“Beberapa hari lagi, Sabrina akan menggantikan posisi Mba sebagai asistennya Sir Mirza.” Ucap Halwa memberitahukan yang membuat Ajeng mengernyit heran. Halwa tahu ada pertanyaan dari gadis itu, namun ia memberi kode kalau dia akan menjawabnya nanti. “Dan Sabrina, Ajeng ini adalah orang kepercayaan aku untuk mengurus semua pekerjaan diluar kantor. Dia bukan asisten rumah tangga.” Ucap Halwa dengan penuh arti. “Ajeng ini mahasiswi yang bekerja sampingan untuk saya dan juga anggota keluarga Levent lainnya. Dengan kata lain, dia ini orang kepercayaan keluarga Levent.” Ucap Halwa pada Sabrina yang membuat gadis itu mengernyit bingung. “Aku harap kalian bisa bekerja sama dengan baik kedepannya.” Ucapnya lagi yang dijawab anggukkan oleh keduanya.