Tidak butuh waktu lama bagi Halwa untuk memperkenalkan Sabrina pada Ajeng. Setelah memastikan keduanya saling mengenal dan membuat Sabrina tahu posisi Ajeng supaya di kemudian hari Sabrina tidak memandang rendah Ajeng, Halwa pun berpamitan dan berjanji dia akan bertemu lagi dengan Ajeng setelah jam kerjanya usai. Ajeng hanya menganggukkan kepala seraya mengantar mereka sampai ke depan pintu unit sebelum kemudian gadis itu melanjutkan pekerjaannya.
Halwa dan Sabrina kembali ke kantor dan kembali dengan kesibukan mereka. Belajar dan mengajarkan tugas yang harus Sabrina pahami dengan baik-baik sampai jam pulang datang dan keduanya berpisah di depan gedung Kralligimiz.
Seperti yang sudah ia janjikan pada Ajeng sebelumnya, Halwa tidak lantas pulang ke kontrakannya. Ia setuju untuk menemui Ajeng di sebuah warung bakso yang keduanya sangat sukai. Saat Halwa memasuki kedai, ia melihat gadis itu sudah duduk dengan santai dan sedang menikmati kerupuk. Dia juga mengganti kaus lengan pendek dan celana jeans yang dikenakannya di apartemen Mirza dengan pakaian yang baru. Meskipun masih berupa kaus dan celana jeans. Rambutnya yang panjang dan berwarna hitam kini tidak diikat ekor kuda melainkan digerai dan masih tampak lembab seperti habis saja keramas.
“Sini, Mbak.” Ajeng melambaikan tangannya pada Halwa. Halwa menganggukkan kepala dan mendekat.
“Tahan.” Ucap Halwa sebelum Ajeng memulai pertanyaannya yang selalu bertubi. Ia meletakkan tasnya di atas meja sebelum mendudukkan bokongnya di kursi. “Udah pesen?” Tanya Halwa yang dijawab anggukkan Ajeng.
“Seporsi bakso pakai tauge dan sawi aja. Tanpa mie.” Ucap Ajeng yang dijawab acungan jempol Halwa.
Halwa mengeluarkan kerupuk berbentuk bulat berwarna putih dari plastik bening panjang. Menuangkan kecap dalam gerakan memutar di atas kerupuk itu sebelum mengoleskan cabai di atasnya sampai seluruh permukaan kerupuk tertutupi sebelum menggigitnya dan mengeluarkan suara kriuk yang membuat Ajeng mengernyit. Ajeng sudah tahu kebiasaan Halwa itu, namun tetap saja selalu membuatnya mengernyit membayangkan rasa manis dan gurih yang didominasi pedas dari cabai menyentuh lidahnya.
“Jadi, kenapa sama Mba Sabrina itu?” tanyanya saat tahu kalau Halwa sudah siap diinterogasi.
“Kenapa sama dia emangnya?” Halwa balik bertanya.
“Kok malah balik nanya sama aku sih, Mba?” keluh Ajeng dengan wajah mencebiknya yang lucu. “Kenapa Mba ngenalin kami, dia mau jadi pengganti Mba? Mba mau keluar dari kantornya Mas Mirza?” cerocosnya yang harus mendapatkan jeda jawaban karena makanan yang sudah dipesannya datang.
Halwa memilih mengulur waktu. Mereka membumbui bakso di depan mereka dengan bumbu yang sesuai selera, mencicipnya sebelum kemudian menawab Ajeng. “Mba resign dari Kralligimiz.” Ucap Halwa yang membuat Ajeng mengerutkan dahi.
“Kenapa?” Tanya Ajeng ingin tahu. “Jangan bilang kalo Mba bosen kerja disana dan ingin suasana baru. Itu terlalu klise.” Ucap Ajeng dengan kekehannya.
“Kenapa begitu?” tanya Halwa dengan dahi berkerut.
“Ayolah Mba, kita semua tahu kalau bekerja bersama keluarga Levent itu gajinya gak kecil.” Ledek Ajeng yang membuat Halwa turut terkekeh. “Apa Mba udah gak kuat lagi nahan cemburu?” tanyanya dengan nada menyelidik, bukan mengejek.
Ya, Ajeng adalah orang yang dengan cerdasnya mengetahui bagaimana perasaan Halwa terhadap Mirza tak lama setelah Halwa meminta bantuannya untuk menjadi karyawan paruh waktu yang bisa membersihkan apartemen Mirza dan penthouse Ilker. Sejak saat itu, Halwa tidak pernah lagi berahasia karena sejujurnya ia butuh orang untuk ia ajak bicara. Dan Ajeng, dia gadis yang berpikian dewasa meskipun usianya lebih muda daripada Halwa.
Halwa menganggukkan kepalanya dan ia melihat Ajeng pun turut menganggukkan kepala seraya memasukkan kembali potongan bakso ke dalam mulutnya. “Ajeng setuju sama pilihan Mba.” Ucap gadis itu yang membuat Halwa memandangnya tak percaya. “Terus, setelah ini Mba mau kemana? Mba gak mungkin nganggur begitu aja kan?” tanyanya lagi.
Halwa menggelengkan kepala. “Aku ditawari kerja di butiknya Mba Hanira.” Aku Halwa. “Katanya Mba Hanira butuh admin baru karena adminnya mau cuti melahirkan.”
Ajeng kembali menganggukkan kepalanya. “Mas Mirza udah tahu kalo Mba resign?” tanyanya lagi yang dijawab gelengan kepala Halwa. Ajeng mengangkat sudut mulutnya dan tersenyum penuh arti. “Bagus. Gak usah kasih tahu, biar kita lihat gimana terkejutnya Mas Mirza saat tahu bidadari penyelamatnya hilang dari peredaran.” Ucapnya dengan kekehan yang menurut Halwa terlihat mengerikan.
Halwa memberengut mendengar komentar Ajeng. Namun ia memilih mengabaikannya.
“Apa yang kamu mau omongin sama aku?” kini giliran Halwa yang bertanya.
“Ajeng butuh bantuan Mba.” Ucap gadis itu yang kini sudah menghabiskan baksonya. Ajeng meletakkan sendok dan garpu di dalam mangkok dalam posisi menyilang terbalik sebelum menggeser mangkuk itu ke samping dan melap ceceran kuah dengan menggunakan tisu. Gadis itu lantas membahas tentang kembalinya kakak laki-laki Mirza—yang tentunya membuat Halwa terkejut—seraya memainkan es teh manis di hadapannya.
Ajeng mengatakan tentang ibu Mirza yang meminta pertolongannya untuk bisa mendekatkan kembali kakak Mirza, Ilker dengan putri pria itu dari mendiang istrinya yang bernama Ilsya. (Baca : Ilker’s Bride)
Ajeng juga mengatakan akan keraguannya. Meskipun ia tergiur dengan gaji dan fasilitas yang ditawarkan oleh ibu majikan mereka, gadis itu mengatakan kalau dirinya takut. Ia malu untuk menolak karena merasa tak tega pada ibu Mirza, namun disisi lain gadis itu juga merasa tidak mampu mewujudkan permintaannya.
“Bagaimana kalau Mba ngelakuin apa yang Oma Ana minta?” tanyanya dengan mimik memelas yang membuat Halwa seketika terbelalak mendengar pertanyaan gadis itu.
Terkejut? Itu bukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya. Dia benar-benar tidak percaya dengan permintaan Ajeng. Meskipun Ajeng menjelaskan alasan kenapa dia merasa tidak mampu melakukan permintaan ibu dari atasan mereka dan kembali meminta Halwa untuk menggantikannya. Namun Halwa tidak ingin sedikitpun mempertimbangkan permintaan itu dan langsung menolaknya saat itu juga. Seorang Ajeng yang sudah mengenal keluarga Levent selama lima tahun saja merasa tak sanggup. Apalagi dirinya.
“Saran Mba, kamu hadapi aja. Kalau kamu merasa gak mampu, kamu bisa nyerah seperti yang Mba lakukan saat ini.” Itu masuk akal, bukan? “Mba yakin, kalaupun kamu menolak atau suatu saat mundur di tengah jalan, Nyonya Ana tidak akan mempermasalahkannya. Tapi Mba benar-benar gak sanggup kalo harus melakukan itu. Lagipula kamu tahu sendiri kalo Mba ini orangnya kaku.”
Ajeng tampak tertunduk dengan bahu terkulai lesu. Namun Halwa yakin kalau gadis itu lebih dari sekedar mampun untuk mengemban tugas yang diberikan ibu dari atasan mereka. Karena tak mungkin seorang Caliana Levent meminta bantuan dari orang yang ia tahu tak mampu melakukannya.
Mereka berpisah setelah melakukan sholat magrib bersama di masjid yang berada dekat dengan tempat mereka membeli bakso. Halwa kembali menekankan Ajeng untuk menentukan pilihannya sendiri alih-alih mencari sosok lain yang akan dia mintai bantuan sama seperti yang gadis itu minta padanya. Ajeng berjanji akan memikirkan kembali tawaran Nyonya Caliana dan mempertimbangkan semuanya dari banyak sisi. Setelah mengucapkan perpisahan, Halwa kembali ke kontrakan dengan menggunakan jasa ojek online begitupun dengan Ajeng.
Hari-hari setelahnya berlalu dengan teramat cepat. Halwa merasa bersyukur karena Pak Bagja memilih Sabrina untuk menjadi penggantinya. Meskipun karakter dan penampilan Sabrina berbeda dengan dirinya—Sabrina mudah bergaul, supel dan berpenampilan modis, sebaliknya dengan Halwa yang kaku—tapi Sabrina orang yang cerdas dan mudah untuk diajari. Gadis itu mudah mengingat dan selalu mencatat detail kecil. Intinya, dia orang yang sangat teliti dan itu sangat diperlukan oleh Mirza. Jadi halwa yakin, jika dia sudah keluar nanti, ia akan benar-benar lepas tangan untuk membantu Sabrina.
Dan tentang Mirza. Belakangan memang Halwa tidak melayani pria itu dan juga para kekasihnya. Hal yang sebenarnya membuatnya takut—lebih karena takut Sabrina nanti shock harus menyikapi mantan kekasih Mirza yang baik di hadapan Mirza namun bermulut pedas di belakangnya—namun juga bertanya-tanya. Apa karena terlalu sibuknya bekerja, Mirza sampai lupa bersenang-senang?
Ya, beberapa hari terakhir memang Halwa tidak melihat batang hidung Mirza. Kralligimiz terasa sepi tanpa sosok playboy tampan itu. Belakangan yang sering meminta informasi padanya adalah asisten pria itu. Entah itu asisten Kralligimiz, Coskun ataupun Abrisam Corp. Yang Halwa tahu, Mirza saat ini sedang berada di luar kota untuk urusan Abrisam—perusahannya sendiri—yang kemudian nantinya akan melanjutkan beroperasi di Coskun sekembalinya ia ke Jakarta.
Ternyata, menjadi putra dari seorang milyuner itu tidaklah mudah. Halwa tidak bisa membayangkan menjadi mereka. Meskipun dugaan orang-orang diluar sana terhadap Mirza dan juga Rayyan—sepupu Miza—negatif. Faktanya kedua pria itu sama-sama bekerja dengan sangat keras untuk membuat perusahaan mereka minimalnya tetap bertahan. Bayangkan rasanya menjadi Mirza yang harus membagi isi otaknya pada tiga perusahaan yang sama-sama memiliki urgensi. Pria itu tidak jarang pulang begitu larut dengan bertumpuk dokumen yang masih belum terselesaikan. Meskipun sisi negatifnya Mirza dan Rayyan adalah sosok playboy dimata para wanita, sisi lain kedua pria itu adalah orang-orang yang totalitas dalam bekerja.
Halwa memang tidak bisa membenarkan. Namun ia menganggap bahwa bergonta-ganti kekasih adalah cara keduanya untuk sedikitnya mengurangi kejenuhan karena pekerjaan yang tiada berkesudahan.
Ya, dan tentang pekerjaan. Halwa yakin kalau dia akan merindukan Kralligimiz dan kesibukannya. Tapi ia optimis, bekerja bersama Hanira pun pasti tak kalah menantangnya.
“Udah berapa banyak pacarnya Sir Mirza yang selama ini Mba tangani?” tanya Sabrina saat mereka menghabiskan makan siang santai di kantin kantor.
Halwa hanya memandangnya dan menggelengkan kepala. “Aku tidak pernah menghitungnya lagi sejak enam bulan pertama menajdi asisten beliau.” Aku Halwa jujur yang membuat Sabrina terkekeh.
“Apa Sir Mirza juga pernah menggoda Mba?” tanyanya ingin tahu.
Halwa membelalakkan matanya dengan mulut terbuka. Memandang Sabrina tak percaya sebelum kemudian tertawa. “Jangan gila, apanya yang dilihat Sir Mirza dari asisten kaku kayak daun pintu ini?” elaknya. Tapi kemudian pikirannya melayang pada acara makan malamnya dengan Mirza tempo lalu. Betapa manisnya pria itu dan betapa berdebarnya jantungnya. Tapi Halwa sadar, itu bukan godaan dari Mirza untuknya. Hanya sebuah keberuntungan karena teman kencan pria itu membatalkan acara di detik-detik terakhir. Halwa lantas memandang Sabrina dan memperingatkan gadis itu. “Hati-hati sama Sir Mirza. Dia emang gak pernah goda aku karena aku bukan tipe wanita kesukaannya. Tapi bisa jadi dia godain kamu. Karena kamu jelas cantik.” Ucap Halwa yang membuat wajah Sabrina memerah seketika. “Tapi, kalo dia mulai goda kamu. Aku harap kamu jangan main hati, jangan terlalu naruh harapan sama beliau. Cukup manfaatkan aja.” Sarannya yang membuat Sabrina terkekeh mendengarnya.