Part 10

2155 Words
“Terima kasih karena sudah bekerja keras selama ini, Halwa.” Ucapan Pak Bagja membuat Halwa dilanda haru. Ia sedang berada di ruang kepala HRD itu dan melakukan serah terima jabatan sebelum nantinya di hari senin depan dirinya tidak akan lagi datang ke Kralligimiz melainkan menuju Askim Elbise, butik milik ibu dan anak Nadira dan Hanira Levent. “Saya yang berterima kasih karena sudah diberikan kesempatan untuk bekerja disini dan juga sekarang Bapak berikan saya pekerjaan lainnya.” Ucap Halwa apa adanya. Pria di hadapannya itu tersenyum dan menganggukkan kepala. “Semoga kamu betah di tempat kerja yang baru. Dan ini, tolong tanda tangani.” Pak Bagja menyerahkan sebuah dokumen yang menyatakan kalau Halwa sudah tidak lagi bekerja untuk Kralligimiz. “Sisa gaji kamu dan juga pesangonnya akan ditransfer paling lama satu minggu ya, Halwa.” Ucapnya lagi yang dijawab anggukkan Halwa. Setelah itu, ia kembali ke mejanya, bersiap membereskan barang pribadi yang sudah tidak banyak lagi disana untuk kemudian dia bawa pulang. “Makasih untuk kesempatan ini, Mba.” Ucap Sabrina saat mereka dalam perjalanan pulang. Halwa hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. “Kalo ada apa-apa aku boleh chat dan telepon Mba kan?” tanyanya penuh harap yang kemudian dijawab anggukkan Halwa. “Hubungi aja aku kalau emang perlu. Nomor aku selalu aktif, kecuali kalo tengah malam.” kekehnya. “Aku mode pesawat karena gak mau diganggu.” Lanjutnya yang dibalas senyum Sabrina. Halwa kemudian memesan taksi online yang akan membawanya ke kontrakan. Puri, sahabat sekaligus teman kontrakannya sudah ada di sana. Gadis itu tampak memberengut kesal dan mendesah beberapa kali saat Halwa meletakkan tas nya di sofa. “Kenapa?” tanyanya ingin tahu. “Kantor gue dipindah, Wa.” Keluhnya. Halwa mengerutkan dahi. “Pindah kemana?” “Cabang Malang. Malang bener nasib gue.” keluhnya lagi seraya menjatuhkan punggungnya di sofa. “Kenapa dipindah? Ada masalah disana?” tanyanya lagi ingin tahu. Puri pun menjelaskan alasan kepindahannya dengan nada berapi-api. Tentang kemungkinan dirinya naik jabatan jika tujuan pemindahannya kini berhasil mencapai target yang diinginkan dan lain sebagainya. “Trus, nantinya loe tinggal dimana?” “Pilihannya gue cari kost sendiri atau tinggal di mes kantor. Tapi kalo pun gue nge kost, duitnya bisa di klaim ke kantor. Cuma masalahnya, gue gak tahu itu kota Malang. Mau nge kost gue bingung nyari dimana. Mau tinggal di mes kantor juga gue takut.” Kemudian mereka membahas kemungkinan-kemungkinan tinggal di tempat asing itu. “Gue juga khawatir kalo pergi ke Malang, loe tinggal disini sendirian nantinya.” “Emang kenapa kalo gue sendirian?” tanya Halwa dengan wajah cemberut karena selalu saja diperlakukan seperti anak-anak oleh Puri. “Loe kalo urusan pribadi mendadak suka jadi teledor. Lupa kunci pintu lah, males tutup gorden lah. De el el, de el el nya.” Keluh Puri yang membuat Halwa semakin manyun. “Lagian kontrakan kita juga abis bulan depan. Gimana kalo loe pindah ke kos-kos an? Cari yang fasilitasnya lengkap dan keamanannya terjaga. Gue yakin ibu kos kita dulu pasti masih punya kamar buat loe.” Saran Puri yang kemudiian membuat dahi Halwa berkerut dalam. “Kalo balik ke kosan lama, jaranya lebih jauh dari tempat kerja gue, Ri.” Aku Halwa yang seketika membuat mata Puri terbelalak. Matanya seolah bertanya ‘Loe jadi pindah?’ yang Halwa jawab dengan anggukkan kepala. “Kalo pun gue kos, kayaknya gue cari lokasi yang deket dari butik aja. Siapa tahu ada yang deket, sukur-sukur dari kosan ke butik bisa jalan kaki.” Ucapnya dengan penuh harap. “Mau gue bantuin cari kosannya?” tanyanya yang dijawab gelengan Halwa. “Nanti gue tanya-tanya sama anak-anaknya Mba Nira aja.” Ucapnya yang dijawab anggukkan Halwa. Akhir pekan itu Halwa membantu Puri untuk mengemas barang-barang sahabatnya itu. Dua koper besar yang berisi pakaian dan dokumen penting sudah bertengger di samping pintu. Dan beberapa kardus lainnya sudah di lakban rapi dan nantinya akan dikirim dengan menggunakan jasa kargo. Puri memang membawa semua barang pribadinya karena kemungkinan dia tinggal di Malang minimalnya sampai satu tahun kerja. Bisa jadi bertambah jika memang perusahaan menginginkannya. Lantas di sore harinya, Halwa mengantarkan Puri sampai ke stasiun kereta api karena Puri memang inginnya menggunakan kereta api. “Jaga diri loe baik-baik. Inget waspada sama orang jahat. Kunci pintu, tutup gorden jendela biar gak ada yang ngintip. Kalo pergi jangan lupa bawa dompet sama hape.” Ucap Puri lagi-lagi mengingatkan Halwa layaknya Halwa bocah remaja yang ditinggal pergi orangtuanya. “Kalo nanti ada kemajuan sama si Bos Ojek, kabari gue ya.” Kekehnya yang mendapat pukulan pelan di lengan. Halwa menemani Puri sampai pintu gerbang kereta api dibuka untuk keberangkatan kereta Puri. Mereka berpelukan dan saling melambaikan tangan sampai kereta Puri akhirnya sampai. Rumah kontrakan itu benar-benar terasa sepi seperginya Puri. Halwa punya dua pilihan sekarang. Apa dia pindah dari kontrakan ini dan mencari kost yang lebih kecil. Atau dia mengajak orang lain untuk tinggal dikontrakan dan memperpanjang masa sewa. Lantas pikiran Halwa tertuju pada Ajeng. Ia kemudian meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Ajeng. “Maaf Mba,” ucap Ajeng saat Halwa mengatakan keinginannya. “Ajeng udah terima tawarannya Oma Ana. Ajeng akan tinggal di kediaman Oma Ana beberapa hari lagi.” Ucap Ajeng dengan nada lirih. tampaknya gadis itu juga masih tidak yakin dengan keputusannya. Tidak seperti Halwa yang sudah mantap untuk keluar dari Kralligimiz. “Ya udah, jangan lesu begitu. Mba yakin kamu bisa ngelakuin apa yang Nyonya Ana minta. Ayolah, semangat.” Ucap Halwa yang kemudian dijawab kekehan Ajeng. Mereka bicara panjang lebar tentang kenapa Halwa sendirian dan rencana Halwa setelahnya juga rencana Ajeng sampai kemudian panggilan ditutup. Hari senin pun datang. Halwa turun dari ojeknya dan melihat bangunan tiga lantai berwarna soft pink dan putih tulang dengan ukiran besar di bagian dinding lantai dua berwarna dark pink beruliskan Askim Elbise yang disertai dengan logo butik yang cantik. Ia menarik napas panjang dan kemudian memandang etalase kaca yang memajang gaun-gaun indah dan juga pintu kaca yang masih bertuliskan close sebelum memantapkan langkah dan membukanya setelah mengucap Bismillahirrahmaanirrahiim. “Pagi.” Sapanya pada beberapa karyawan yang sudah bersiap membuka toko. Para karyawan yang mengenakan seragam berwarna pink lembut itu balas memandangnya dan tersenyum seraya menganggukkan kepala. “Saya cari Mba Adhisti.” Umumnya. Salah seorang gadis yang ada di ruangan itu mendekat. “Saya antar Mba.” Ucapnya yang kemudian membawa Halwa menuju sebuah tangga. Mereka sampai di lantai dua yang juga diisi beberapa pajangan pakaian. Dilihat sekilas, lantai satu dan dua memiliki pola yang sama. Tempat pajangan dan juga kamar ganti yang luas dan beberapa sofa yang terlihat nyaman untuk diduduki. Halwa diajak untuk terus menuju ujung ruangan yang memiliki beberapa pintu. Gadis yang menemaninya mengetuk pintu dan setelah mendengar jawaban dari dalam, ia membukanya. “Mba Adhis, ada yang nyariin Mba.” Ucap gadis itu. Halwa melihat seorang wanita yang cantik dengan rambut hitam legam dan kulit berwarna putih tengah duduk di balik meja sambil memperhatikan layar persegi di depannya. Wanita itu mendongak dan kemudian menyunggingkan senyumnya sebelum berdiri sehingga Halwa bisa melihat perutnya yang bulat terlihat begitu kontras dengan ukuran tubuhnya yang kecil mungil. Mungkin tinggi badan wanita itu hanya seratus enam puluh senti, sama seperti dirinya. Saat wanita itu berjalan, Halwa malah panik sendiri melihatnya. Takut wanita itu tida bisa menjaga keseimbangan dan jatuh dengan perut lebih dulu. “Mba Halwa ya?” sapa wanita itu yang suaranya juga sama lembutnya dengan ekspresi wajahnya. Halwa menganggukkan kepala. “Saya Adhisti.” Ia mengulurkan tangannya yang berjemari panjang. Halwa menjabatnya. “Ayo duduk, biar kita langsung bahas pekerjaan ya.” Ucapnya yang diangguki Halwa. Wanita bernama Adhisti itu memerintahkan gadis berseragam untuk membawakan minuman bagi Halwa yang kemudian diangguki sebelum meninggalkan ruangan. “Selamat datang di Askim Elbise. Saya sudah dengar tentang Mba Halwa dari Mba Hanira. Katanya Mba dulunya kerja di Kralligimiz?” tanya wanita itu yang entah basa-basi atau memang benar-benar ingin tahu. Halwa menjawab saja apa adanya kecuali tentang perasaannya yang menjadi alasan kenapa ia pindah. “Meskipun nanti akan sedikit bingung karena administrasi disini berbeda dengan administrasi disana, tapi saya harap Mba bisa betah ya.” Ucap wanita itu yang lagi-lagi dianggukki Halwa. Dan secara tidak resmi, Halwa mulai menjadi karyawan Askim Elbise saat itu juga. Di tempat lain Mirza kembali ke Kralligimiz setelah seminggu ini dia bekerja bergantian di Abrisam Corp.—Perusahaan pribadi miliknya sendiri—dan melanjutkannya di kantor Coskun Company, perusahaan yang didirkan oleh kakeknya, Almarhum Ahmed Levent yang kemudian dilanjut oleh ayah Adskhan Ahmed Levent dan beberapa tahun lalu dikendalikan oleh kakak perempuannya, Faiqa Elvarette Levent yang kini sudah berubah status menjadi Nyonya Faiqa Elvarette Salvatore. Sampai kini, Mirza Abrisam Levent—si bungsu yang dikenal hanya suka foya-foya dan bermain wanita—menjadi penerusnya. Sedikit cerita tentang Coskun Company yang bersejarah. Hampir lima tahun yang lalu, perusahaan keluarga tersebut hampir saja bangkrut karena kecerobohan sang kakak yang memilih untuk bungkam dan mendiamkan masalah sampai kemudian ia menerima investasi besar-besaran dari sosok Tiziano Salvatore yang notabene adalah orang asing. Tanpa kakaknya sadari, pria itu ternyata sengaja membuat kehancuran bagi Coskun untuk mendapatkan sosok Faiqa. (Baca : Terjebak Cinta Pria Italia). Tidak ada yang menyalahkan Faiqa sebenarnya, mereka hanya menyayangkan Faiqa menutupi semuanya. Padahal jika saja kakak perempuannya itu bercerita, wanita itu tidak akan menanggung semua beban sendirian. Tapi mungkin inilah yang disebut dengan takdir. Takdir untuk seorang Tiziano yang terobsesi pada Faiqa untuk bisa membuat wanita itu jadi miliknya. Mirza dan Rayyan pada akhirnya tak habis pikir. Kenapa harus membuat jalan yang begitu runyam untuk mendapatkan wanita sementara cara sederhana tersedia. Bahkan yang lebih ia dan sepupunya tidak mengerti adalah kenapa Zian—panggilan akrab pria yang kini sudah jadi kakak iparnya itu—harus mempermainkan nasib ribuan orang hanya karena obsesinya akan cinta. Meskipun ya, ia bersyukur karena dengan demikian ia tahu kakaknya teramat dicintai oleh suaminya, tapi tetap saja. Membayangkan dirinya melakukan hal yang sama seperti yang Zian lakukan, Mirza merasa takut sendiri. Pada akhirnya, pria itu juga mengalami kerugian yang tidak sedikit untuk memperbaiki keadaan. Namun saat Mirza tanya apakah pria itu rugi, entah secara materi ataupun mental. Pria itu mengatakan bahwa kerugian terbesarnya adalah jika ia kehilangan Faiqa. Gombal sebenarnya. Tapi Mirza melihat cinta yang besar dari pria itu untuk kakaknya. Dan Mirza sangat salut padanya. Meskipun ia tidak pernah mengakui itu. Kembali ke saat ini. Dengan langkah tegapnya Mirza keluar dari mobilnya dan berjalan menuju lift basement. Jika kebanyakan para CEO pergi kesana kemari dengan menggunakan supir pribadi dan ditemani asisten pribadi. Maka Mirza tidak melakukan itu. Dia memang sesekali melakukan kegiatan seperti itu, namun selebihnya tidak. Ia lebih suka mengendarai mobilnya sendiri karena ia bisa pergi kemanapun ia mau dengan bebas. Bertemu dengan siapapun dan menghabiskan waktu berapa lama tanpa ada yang memantau. Meskipun tetap, asisten dan juga supir pribadinya masih harus selalu stand by kapanpun Mirza butuhkan. Ia sampai di lantai dimana kantornya di Kralligimiz berada. Cukup terkejut kala melihat meja Halwa hanya diisi oleh Sabrina. Jujur harus Mirza akui kalau selama dua minggu ia tidak berkantor di Kralligimiz ia mulai merindukan sosok Halwa. Ia rindu suara gadis itu kala menyebutkan satu persatu jadwalnya. Ia suka saat melihat kernyitan dahinya saat gadis itu merasa kesal kala menghadapi para mantan kekasihnya seperti ia suka saat melihat Halwa memijat sebelah alis saat gadis itu mencoba menekan amarah. Ya, Halwa memang tidak akan pernah tahu bahwa selama ini Mirza memperhatikannya dari balik mejanya. Dari kaca yang tidak terlihat dari meja Halwa, Halwa mungkin tidak menyadari kebiasaannya sendiri yang suka mencibir pada layar di hadapannya seraya menyangga dagu dengan kedua telapak tangannya. Bibirnya yang kemerahan selalu membuat wajahnya terlihat lucu. Sementara di waktu lainnya, jika mereka berhadapan gadis itu selalu saja bersikap kaku. Mirza bersyukur ketika HRD nya memilih Halwa untuk menjadi sekretarisnya. Dan sangat beruntung karena sudah percaya Halwa untuk menjadi asisten yang mengurusi keperluan pribadinya. Karena dibalik sikapnya yang kaku, Halwa adalah pekerja yang sangat baik dan juga bisa menjaga rahasia. Dia tidak pernah membantah, kecuali jika dianggapnya salah. Dia orang yang sangat pandai mengelola emosi. Mirza tidak yakin ada wanita yang bisa bekerja dengan menunjukkan ekspresi datar dan menutupi emosinya seperti Halwa. Meskipun ia juga sangat suka jika melihat gadis itu cemberut, tertawa dan menjadi dirinya sendiri seperti yang ditunjukkan gadis itu tempo hari di apartemennya. Halwa juga ternyata orang yang enak diajak bicara. Karena itulah, sempat terpikir olehnya untuk menjadikan Halwa sekretaris pribadinya yang akan menemaninya kemanapun ia pergi. Tapi saat Mirza pikirkan lagi, jika ia membawa Halwa kemanapun ia pergi. Ia tidak bisa menemui wanita-wanita di luar sana dengan bebas. Jadi cukup mempertahankan Halwa sebagai sekretaris dan asisten yang mengurusi hal-hal pribadinya saja. Mirza masih memikirkan kejahilan apa yang bisa membuatnya mengajak Halwa kembali mengobrol di luar jam kerja saat kopi panasnya di hidangkan. Dan masih memikirkan itu ketika pintu kantornya diketuk dan seseorang masuk. Tapi bukan Halwa yang berdiri kaku di depannya dengan tablet dalam pegangannya. Melainkan seorang gadis cantik dengan tampilan menarik yang menyunggingkan senyum cerah ke arahnya. “Siapa kamu?” tanya Mirza dengan dinginnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD