Halwa masuk ke dalam mobil dengan wajah kesal. Namun demikian ia memegang kue itu di atas pangkuannya dengan teramat hati-hati. Mirza kembali menyalakan mobilnya. Halwa tahu kalau pria itu tidak akan mengantarkannya kembali ke kontrakannya seperti yang sudah dijanjikannya, dan ia juga tidak akan menagih janji pria itu. Dalam pikirannya, ia tahu kalau nanti sesampainya di apartemen, pria itu akan menyuruhnya pulang sendiri karena pria itu harus menyiapkan makan malam istimewa untuk kekasih barunya.
Halwa menarik napas panjang dan bersandar di kursi mobil mahal milik atasannya dengan kesal yang tak ia sembunyikan. Toh Mirza juga tidak akan menyadarinya, pikirnya. Padahal tanpa Halwa tahu, Mirza mengulum senyum karenanya.
Beberapa menit kemudian Mirza membawa masuk mobilnya ke dalam basement apartemennya. Halwa melepas seatbeltnya bersamaan dengan memegangi kotak kue dengan sangat hati-hati. sementara itu Mirza mengeluarkan belanjaannya dari bagasi dan mulai melangkah menuju lift yang akan membawa mereka menuju lantai dimana pria itu tinggal. Saat masuk ke dalam lift, Mirza menekan tombol lantainya, sementara Halwa menekan tombol lobi.
“Kenapa?” tanya Mirza bingung.
“Saya sudah melakukan tugas saya, Sir. Termasuk tugas tambahan membeli cake ini.” Halwa menunjuk cake yang ada di tangannya dan hendak menyerahkannya pada Mirza tepat saat pintu terbuka. Namun bukannya menerima kotak kue tersebut, Mirza malah merangkul bahu Halwa dan menariknya mendekat tepat disaat ada penghuni apartemen lain yang masuk ke dalam lift. Halwa memandang pria itu seraya berusaha melepaskan rangkulan bahunya, tapi Mirza sama sekali mengabaikan usahanya dan malah menebar senyumnya pada dua gadis yang baru saja masuk ke dalam lift tersebut. Kesal, akhirnya Halwa hanya bisa memutar kedua bola matanya tanpa pemberontakan.
“Siapa bilang tugas kamu sudah selesai?” bisik pria itu diatas kepala Halwa yang membuat gadis itu kembali mendongakkan kepala dengan dahi mengernyit bingung.
Mereka tidak banyak bicara selama lift mengantarkan mereka ke lantai Mirza. Halwa kembali berusaha melepaskan dirinya dari rangkulan Mirza dan kali ini berhasil. Bukannya dia tak suka bersentuhan dengan Mirza, oh tentu dia sangat menyukai itu. Untuk pertama kali selama mereka saling mengenal, ini kali pertama mereka bersentuhan fisik. Dan sejujurnya, meskipun tangan Mirza yang ada di bahunya terasa berat, Halwa menyukai rasa hangat yang diberikannya. Belum lagi aroma pria itu tercium sangat dekat, hal yang tidak bisa Halwa dapatkan selama ini. Ini kesempatan besar untuknya sebenarnya, mengingat sebentar lagi dia tidak akan lagi menjadi sekretaris dan asisten pria itu. Tapi akal sehat Halwa menang. Dia memaksa Mirza untuk menurunkan lengannya dan menggeser selangkah menjauh dari pria itu. Hal yang lagi-lagi membuat Mirza tersenyum tanpa sepengetahuan Halwa.
Lift terbuka tepat di lantai unit Mirza. Halwa melangkah dengan cepat keluar dari kotak persegi itu, tak menoleh karena tahu Mirza mengikutinya dari belakang. Namun saat sudah berada di depan pintu, Halwa bergeser, memberikan Mirza akses untuk membuka pintu terlebih dahulu. “Bukannya kamu tahu pinnya?” tanya Mirza dengan sebelah alis terangkat.
“Masuk ke dalam dengan ada pemilik dan tidak ada pemilik jelas berbeda.” Jawabnya ketus yang dijawab Mirza dengan cengiran. Pria itu lantas masuk ke dalam unitnya dan menahan pintu terbuka, membiarkan Halwa masuk terlebih dahulu sebelum menutupnya.
Halwa, seperti kebiasaannya, langsung menuju dapur. Ia meletakkan cake di atas meja bar, membuka nakas untuk mencari piring yang tepat untuk ia meletakkan cake disaat Mirza juga meletakkan belanjaannya di atas meja bar dan mulai mengeluarkan belanjaannya. Setelah mendapatkan piring yang menurutnya pas untuk dijadikan alas kue, Halwa memindahkan kue itu dari dalam kotaknya dengan sangat hati-hati dan memasukkannya ke dalam lemari es.
Setelah yakin dia sudah ‘menjaga’ kue itu sampai ke tempatnya, Halwa membuang kotak kue dan berjalan menjauh dari dapur. Belum sampai dua langkah ia menjauh dari tubuh tinggi besar Mirza, pria itu menarik cardigan gadis itu yang karena tak siap malah membuatnya lepas dari kedua tangan Halwa dan menggantung di kedua pergelangan tangannya. Keduanya tertegun. Mirza tertegun kala melihat tubuh langsing Halwa yang berlekuk di tempat yang tepat dibalik kaus pas badannya, belum lagi lengan putih dan mulusnya, sementara Halwa tertegun melihat cardigan oversize nya ada dalam cengkraman tangan Mirza. Terjadilah tarik menarik. Halwa yang mencoba memakai kembali cardigannya dan Mirza yang mencoba membuat cardigan itu lepas dari dan pada akhirnya Halwa kalah.
Mirza nyengir lebar seraya menunjukkan cardigan Halwa di tangannya, tingkahnya tampak kekanakan di mata Halwa. Dengan kesal ia menarik cardigannya dari tangan Mirza dan memandangnya kesal. “Apalagi sekarang, Sir?” tanyanya ketus seraya mengenakan kembali cardigannya. “Saya sudah membawa cake ke tempat yang paling aman. Sudah saatnya saya pulang.” Halwa melirik jam dinding yang ada di apartemen Mirza. Sudah pukul delapan lewat tiga puluh menit. Ia kembali menoleh kepada Mirza. “Jangan bilang kalau saya harus membantu Anda menyiapkan steaknya.” Ucapnya dengan tatapan ngeri memandang daging yang ada di atas meja bar dan siap dibumbui.
“Kalau iya, kenapa? Membantu saya diluar jam kerja juga bagian dari tugas kamu sebagai asisten pribadi.” Mirza memperingatkan. Halwa menggertakkan giginya, sekali lagi dia mengingatkan dirinya sendiri bahwa ini tidak akan berlangsung lama lagi. Setelah ini, Sabrina yang akan melakukan semuanya untuk Mirza. Bukan dirinya.
Halwa akhirnya berjalan kembali ke dapur. Ia membantu Mirza mengeluarkan sisa bahan yang ada di dalam kantong belanja. Wajahnya jelas dengan sengaja dibuat cemberut. “Yakin mau bersihin sayuran pakai baju begitu? Gak takut basah?” tanya Mirza dengan nada jahilnya. Halwa mendelik ke arahnya, namun ia tahu bahwa apa yang dikatakan Mirza itu benar. Alhasil ia berjalan memutari meja bar, melepas cardigannya dengan perasaan kesal dan meletakkannya di atas kursi putar tinggi itu sebelum kembali ke dapur. Ia membuka lemari penyimpanan dan mengeluarkan celemek. Memasangnya sebelum bersiap untuk membersihkan sayuran yang baru saja mereka beli dari supermarket.
Saat Halwa sibuk dengan sayurannya, Mirza sibuk dengan dagingnya. Pria itu mencampur beberapa bahan dalam sebuah mangkuk dan mengoleskannya ke atas daging. Seharusnya daging itu dibiarkan cukup lama bersama bumbunya, istilah yang Halwa kenal dengan sebutan marinasi namun sepertinya waktu yang mereka miliki tidak cukup untuk mendiamkan daging itu. “Sayur ini mau diapakan?” tanya Halwa. Mirza memberikannya instruksi dan Halwa mengerjakannya dengan baik. Meskipun kesehariannya bekerja di kantor, Halwa punya dasar-dasar untuk memasak karena ibunya sudah melatihnya memasak sejak dini. Jadi ia tidak terlalu canggung dengan alat masak. Hal itu membuat Mirza agak terkejut. Jelas ia mengharapkan hiburan dengan melihat dapurnya berantakan akibat cacahan sayuran yang tidak sesuai yang diinginkannya. Atau sesekali melihat kesempurnaan Halwa tercoreng karena ia tak bisa menggunakan pisau dan alat masak lainnya. Tapi Mirza dengan terpaksa harus merasa kecewa karena jelas Halwa bisa melakukan pekerjaan dapur dengan begitu baiknya.
Halwa memasukkan semua sayur yang sudah diirisnya ke dalam sebuah mangkuk besar bening. Mirza mengatakan bahwa dia boleh membumbui salad sesuai dengan seleranya. Disanalah Halwa terdiam mematung. “Kenapa?” tanya pria itu saat melihat Halwa diam.
“Saya terbiasa makan sayuran matang, kecuali lalapan.” Ucapnya jujur. “Jadi saya tidak tahu salad yang tepat untuk kekasih Anda itu seperti apa.” lanjutnya dengan nada mengejek. Hal yang membuat Mirza kembali tersenyum.
“Memangnya kamu gak pernah makan di restoran bintang lima?” tanya Mirza dengan nada mengejek.
“Memangnya Anda pernah mentraktir saya makan di restoran bintang lima selama saya bekerja untuk Anda?” tanyanya balik dengan nada jutek.
Mirza tertawa. Selama ini ia memang tidak pernah mengajak Halwa untuk melakukan perjalanan bisnis, karena untuk urusan itu ada orang lain yang bekerja bersamanya. “Tunggu sebentar.” Ucap pria itu seraya memperhatikan dagingnya. Ia berdiri di samping Halwa, memasukkan beberapa bumbu ke dalam mangkuk dan setelahnya meminta Halwa untuk mengaduknya kembali. “Tolong masukkan ke dalam dua mangkuk ya.” Pinta Mirza yang dianggukki Halwa dengan wajah masih cemberut. Gadis itu kemudian membuka-buka pintu lemari dan mencari mangkuk yang pas untuk salad. Namun mangkuk itu ternyata ada di bagian teratas sehingga mau tak mau ia harus mencari pijakan untuk bisa menurunkannya.
Halwa berjalan ke salah satu sudut dinding, mengeluarkan tangga kecil yang dibuat khusus dengan kitchen set dan meletakkannya tepat di bawah lemari yang hendak ia capai. Namun sebelum ia sempat membawa mangkuk itu turun, Mirza sudah berdiri di belakangnya. Tangan kiri pria itu memegang pinggang kiri Halwa sementara tangan kanannya terulur mengikuti tangan Halwa dan membawa mangkuk itu turun dan meletakkannya di atas meja di depan mereka. Napas Mirza yang berembus di tengkuknya membuat Halwa bergidik seketika.
Halwa memutar tubuhnya dengan hati-hati karena menduga kalau Mirza sudah tidak ada lagi dibelakangnya. Namun dugaannya salah, karena pria itu ternyata hanya berjarak beberapa senti di depannya. Dengan berdiri di atas pijakan, Halwa menjadi lebih sedikit lebih tinggi dari Mirza.
Halwa menundukkan kepala, sementara di saat yang bersamaan Mirza mendongakkan kepala. Kini giliran Halwa yang memperhatikan wajah pria itu secara langsung di bawah cahaya yang tepat.
Rambut Mirza berwarna hitam kecoklatan. Lurus dan lebat. Cukup panjang daripada seharusnya namun terlihat seksi. Dahi Mirza itu datar, terlihat beberapa garis samar melintang disana, efek dari terlalu banyak berpikir. Alis Mirza lurus dan lebat. Ada garis tipis yang membelah alis kanan Mirza menjadi dua. posisinya miring dan Halwa duga itu bekas luka jahit yang membuat alis majikannya itu tak kembali tumbuh. Hidung Mirza kecil, lurus dan mancung. Dibawah kumis tipisnya, Mirza memiliki bibir yang seksi. Bibir atasnya lebih tipis dari bibir bawahnya yang juga tidak terlalu tebal. Halwa tidak tahu bagaimana bentuk dagu pria itu. karena sama seperti para pria Levent yang dikenalnya, semuanya memiliki kumis, janggut dan jambang lebat yang dipangkas rapi yang membuat mereka terlihat lebih seksi.
Tangan Halwa mendadak menjadi gatal. Ingin rasanya ia mengulurkan jemarinya dan menyentuh rahang pria itu. Hanya untuk sekedar tahu bagaimana tekstur jambang dan kumis itu. Namun ia mencoba menahan diri. Meskipun ia tidak akan lagi menjadi bawahan pria itu. Meskipun hari ini dia sudah berbuat banyak hal yang tidak sopan, dia tidak boleh melebihi batas.
Sebaliknya, Mirza yang kini berada di hadapan gadis itu malah kembali mengulurkan kedua tangannya untuk memegang pinggang Halwa. Pinggang yang sedikit berisi namun ramping dan berlekuk itu terasa kenyal dan hangat di tangannya. Belum lagi bukit yang bulat yang kini ada di depan matanya tampak begitu menggiurkan. Bagaimana bentuknya yang sebenarnya jika Mirza melepas celemek yang dikenakan gadis itu dan mengangkat kaus itu? Seperti apa warna puncaknya? Coklat pudar, merah muda atau coklat gelap? Seperti apa rasanya jika ia mengulumnya? Kenyalkah?
Mirza mendongakkan kepala dan melihat Halwa. Gadis itu juga tengah menunduk ke arahnya. Mirza hendak mendekati gadis itu, tapi sepertinya Halwa lebih menyadari bahaya daripada dirinya karena dengan lincahnya gadis itu menepis tangan Mirza dan turun dari pijakan, mengambil mangkuk dan memutari Mirza untuk kembali fokus pada saladnya. Hal yang membuat Mirza tersenyum dan menggelengkan kepala sementara di saat yang bersamaan, bagian bawah tubuhnya kembali berdenyut menyakitkan.
Mirza kembali fokus pada niatannya. Ia tadi bukan bermaksud membantu Halwa untuk menurunkan mangkuk, bukan pula untuk menggoda gadis itu—yang pada akhirnya malah dirinya yang tergoda—tapi ia berniat untuk mengambil piring yang akan ia gunakan untuk meletakkan steaknya.
Setelah mendapatkan apa yang dia butuhkan, Mirza meletakkan piring di atas meja dan melapnya, sambil menunggu steaknya matang.
Halwa sudah memindahkan salad ke dalam dua mangkuk yang lebih kecil. Setelahnya ia membawa mangkuk besar ke dalam bak cuci dan membersihkannya. “Sudah selesai. sekarang saya sudah boleh pulang?” tanya gadis itu seraya melap tangannya dengan lap fiber yang ada di atas bak cuci piring. Mirza menatap ke arahnya dan menggelengkan kepala. “Apalagi, Sir?” keluh gadis itu.
“Tolong siapkan meja untuk dua orang. Lengkap dengan peralatan makannya.” Pinta Mirza yang membuat Halwa kembali memutar bola matanya. Namun ia menurut saja. Ia mengeluarkan beberapa gelas dari tempatnya. Sendok, garpu dan pisau lalu serbet. Lantas Halwa berjala menuju meja makan dan menyiapkan semuanya. Steak yang Mirza buat sudah matang dan tercium lezat di hidung Halwa yang membuat perutnya yang lapar semakin bergemuruh. Untungnya perutnya tidak mengeluarkan suara seperti kebanyakan orang saat lapar. Jika tidak, itu hanya mempermalukan dirinya sendiri.
Mirza memindahkan steak ke atas piring dan membawanya ke meja, sementara itu ia meminta Halwa untuk membawa salad ke atas meja. Mirza juga meminta Halwa untuk membawa teko air putih ke atas meja sementara dirinya membuka lemari es dan mengeluarkan champagne yang sudah didinginkannya.
Halwa melirik meja yang sudah terisi itu. ia menatap Mirza penuh harap. Berharap pria itu membebaskannya dan mengijinkannya pulang. Namun alih-alih menjawab permintaan Halwa, pria itu malah berkata. “Duduklah.” Ucapnya yang membuat mata Halwa terbelalak tak percaya.
“Ma-maksudnya?” tanya Halwa bingung.
“Teman kencanku tidak jadi datang.” Jawab Mirza dengan santainya. Ia menarik ikatan celemek yang ada di belakang pinggang Halwa dan meloloskannya dari kepala. Dengan sengaja menyentuh leher gadis itu dengan kedua punggung tangannya dengan niatan menggoda. Setelahnya ia menarik kursi dan menekan bahu Halwa supaya gadis itu duduk. Membuka lipatan serbet dan menyerahkannya pada Halwa supaya gadis itu meletakkannya di atas pahanya yang tidak kecil, namun juga tidak terlalu gemuk sebelum kemudian memilih duduk di kursi lainnya yang berhadapan dengan gadis itu. “Dia membatalkan makan malam di detik terakhir, dan daripada makanan ini disia-siakan dan kau juga bilang kalau kau lapar, maka lebih baik kita makan saja semuanya sekarang.” Ucap Mirza yang kemudian meraih garpu dan pisaunya lantas mulai mengiris steak tebalnya.