Part 5

2353 Words
Halwa duduk di kursi penumpang, matanya memandang Mirza yang sedang berjalan mengelilingi mobil. Saat Mirza membuka pintu, Halwa langsung menyibukkan diri dengan memasang seatbelt. Jujur, jika ia boleh mengatakan saat ini jantungnya sedang berdansa dan detakannya menyakitkan telinganya sendiri. Ia terpana, itu kata yang cocok yang bisa menggambarkan pandangannya pada sosok Mirza saat ini. Ya, meskipun selama ini ia banyak mengerjakan tugas dari pria itu di luar jam kerjanya, faktanya ia tidak pernah berurusan langsung dengan Mirza seperti saat ini. Saat Mirza menyuruhnya mencari seseorang untuk mengurus apartemennya, saat ia berbelanja isi lemari es pria itu dan mengisinya, saat ia mengawasi seseorang untuk menyiapkan dinner romantis atau membersihkan apartemen milik pria itu, semua itu dia lakukan sendiri, tanpa berinteraksi langsung dengan Mirza. Pria itu hanya tahu saat semua urusan sudah selesai. Dan selama dua tahun bekerja bersama Mirza sebagai sekretaris dan asisten pribadinya, ini merupakan kali pertama Halwa naik mobil yang disupiri sendiri oleh pria itu. Sebelumnya, tidak pernah. Selama melakukan pekerjaan kantor, dia menggunakan mobil milik kantor yang sudah tersedia lengkap dengan supirnya. Dan saat ia melakukan tugas diluar kantor, ia seringkali menggunakan kendaraan online dan sekalipun itu mendesak, akan ada mobil lain yang juga lengkap dengan supirnya untuk mengantar jemputnya. Dan jika kebetulan Halwa harus pergi bersama dengan pria itu dalam sebuah rapat diluar kantor, ia selalu duduk di samping supir sementara Mirza duduk di kursi belakang. Jika tidak duduk sendirian, maka akan ada asisten lain atau rekan kerja lain yang pergi bersama mereka. Dan ya, ini kali pertama Halwa naik kendaraan pribadi pria itu, disupiri langsung oleh pria itu dan duduk tepat di samping pria itu. Beruntung lampu mobil dalam keadaan mati, jika tidak Halwa akan malu sendiri. mengingat saat ini selain jantungnya yang berdebar teramat kencang, ia juga merasa wajahnya teramat panas. Ia tidak yakin seberapa merah wajahnya saat ini. Mirza melajukan mobilnya dengan pelan. Halwa menanyakan apa yang perlu mereka beli dan setelah tahu apa yang mereka butuhkan, ia memberikan Mirza arahan kemana mereka harus pergi. Mirza memasukkan mobilnya ke dalam parkiran basement sebuah mall dengan supermarket yang berisi bahan kebutuhan rumah tangga lengkap. Mereka menaiki lift yang akan membawa mereka langsung menuju lantai supermarket. Halwa mengambil troli besar yang ada di bagian pintu masuk dan mendorongnya sementara Mirza mengekorinya dari belakang. Mirza berusaha menahan gairahnya. Entah bagaimana, berada dalam mobil bersama Halwa—yang ia tahu bukan untuk pertama kalinya, namun untuk pertama kalinya berada dalam posisi begitu dekat—bisa membuatnya teramat b*******h. Mencium aroma tubuh gadis itu sejak tadi membuat tubuhnya memanas dan bagian bawah tubuhnya berdenyut nyeri. Dan sekarang, melihat gadis itu berjalan di hadapannya—meskipun tidak dengan maksud menggoda—dengan b****g bulat dan ayunan pelannya membuat tubuh Mirza semakin nyeri. Jika saja ia tidak mengenakan boxer yang bisa menjaga miliknya, entahlah akan seperti apa dirinya saat ini. mungkin para pengunjung supermarket akan memandang langsung ke arah bagian bawah tubuhnya yang semakin membesar dan berdenyut menyakitkan setiap detiknya. Ya Tuhan, apa yang terjadi padanya? Ia sudah mengenal Halwa selama dua tahun lebih tapi kenapa responnya pada gadis itu saat ini menjadi seperti ini? Padahal wanita lain memerlukan pakaian yang seksi, parfum mahal dengan wangi yang megggoda dan juga mengeluarkan suara-suara yang Mirza tahu dibuat-buat untuk bisa membuat tubuhnya berespon seperti ini. tapi Halwa? Gadis itu masih berjalan di depannya, sama sekali tak menoleh ke arahnya sama sekali. Seolah tak peduli apakah Mirza mengikutinya atau tidak. Tapi meskipun gadis itu tidak memedulikan kehadirannya, Mirza masih mengekorinya. Mirza melirik etalase, dia menemukan apa yang dia cari, namun Halwa sama sekali tidak berhenti untuk mengambil bahan makanan yang mereka perlukan. Gadis itu terus saja berjalan, menolak tawaran dari para SPG yang menawarkan barang mereka dengan gelengan kepala atau sekedar lambaian tangan. Terus berjalan sampai kedua kakinya berhenti melangkah di depan etalase daging. Seorang pria berseragam serba putih, mengenakan topi dan masker transparan di wajahnya tersenyum saat Halwa mendekat. Senyum ramah yang Mirza tahu mengandung ketertarikan saat Halwa balas tersenyum padanya dan mulai bertanya. Mirza dengan cepat berjalan mendekat dan berdiri di samping Halwa dengan sikap protektif yang ia harap membuat pria itu sadar bahwa Halwa tidak sendirian. Halwa masih berbicara dengan karyawan bagian daging itu. Di pria masih saja tersenyum dan kemudian membungkus apa yang Halwa minta. Setelahnya Halwa memasukkan daging yang sudah ditimbang ke dalam troli. Ia menoleh pada Mirza dan kemudian mengajak Mirza untuk kembali ke bagian etalase yang mereka lalui. “Kita sudah melewati ini tadi, tapi kau mengabaikannya.” Keluh Mirza. Halwa memandang pria itu. Dan kini, Mirza bisa benar-benar melihat wajah Halwa yang tanpa make up di bawah cahaya yang terang benderang. Mirza menduga kalau selama ini lengkungan alis milik gadis itu hasil rekayasa pensil alis seperti para wanita yang ia kenal. Tapi ia salah, alis itu memang sudah melengkung alami. Sama halnya dengan bulu mata lentik dan panjang serta hitam yang terbentuk tanpa maskara. Bola mata Halwa juga berwarna kecoklatan dan terlihat sangat indah. Hidung gadis itu kecil dan mancung sementara bibirnya. Ukurannya seimbang, bibir bawah dan atasnya tampak penuh yang Mirza yakin bukan efek dari filler—sebagai pria yang sudah banyak berganti teman kencan, Mirza jelas tahu mana yang alami dan mana yang buatan—Bibir itu tampak ranum, berwarna merah muda dan menggiurkan untuk dicium. “Sebelum membeli bahan pendamping, kita harus memastikan bahan utamanya ada lebih dulu.” jawaban santai Halwa membuat Mirza sadar dari khayalannya. Ia melihat Halwa yang sedang memasukkan beberapa benda pada troli. Dan saat yang dicarinya berada di bagian paling atas, gadis itu tampak berjinjit dan kesulitan. Mirza terkekeh di belakangnya, mungkin saat gadis itu mengenakan higheelsnya, dia tidak akan kesulitan. Tapi karena saat ini Halwa mengenakan sandal flat, hal itu jelas berpengaruh banyak. Halwa menoleh pada Mirza dan memberikan tatapan tajam. Kernyitan di dahinya dan juga matanya yang menyipit adalah ekspresi yang selama ini tidak pernah gadis itu tunjukkan pada Mirza. Ada apa dengannya? Apa yang membuat gadis itu tampak menjadi sosok lain dalam waktu sehari? Tanyanya pada diri sendiri. “Sir?” Halwa memanggilnya yang membuat Mirza kembali sadar dari lamunannya. Kenapa juga dirinya bisa menjadi tidak fokus saat ini? umpatnya pada diri sendiri. “Apa?” tanya Mirza pada gadis mungil di hadapannya. “Saya minta tolong pada Anda untuk mengambilkan botol itu.” ucap Halwa dengan nada ketusnya yang membuat Mirza kembali menunjukkan senyumnya. “Yang mana?” tanya pria itu seraya meraba botol yang ia tahu bukan yang dimaksudkan Halwa. “Ini?” “Bukan, sampingnya lagi.” Pinta Halwa yang malah membuat Mirza menyentuh botol yang lebih jauh dari tujuan gadis itu. “Jangan bercanda, Sir. Ini sudah malam.” ucap Halwa kesal. “Memangnya kenapa kalau ini sudah malam?” Tanya Mirza ingin tahu. Kali ini dia mengambil botol yang dibutuhkah Halwa dan memasukkannya ke dalam troli yang dibalas gumaman terima kasih gadis itu. “Saya ingin kembali ke kontrakan, makan malam dan istirahat.” Ucap Halwa seraya kembali mendorong troli ke arah lain dan mencari bahan lain yang diperlukan Mirza. “Kamu belum makan malam?” tanya Mirza ingin tahu. Halwa mengedikkan bahu. “Saya baru mengeluarkan bahan makanan dari lemari es sebelum bos saya memanggil saya dan mengatakan dia perlu membeli beberapa bahan yang akan dia gunakan untuk menyambut kekasihnya.” Ujar Halwa dengan sarkas. Hal yang baru juga bagi Mirza karena selama ini Halwa tidak pernah mengejeknya seperti ini. Apa selama ini dia melakukan semua tugas yang Mirza berikan dengan sikap misuh seperti ini? Apa dia tidak suka dengan pekerjaan sampingannya? Atau dia kesal karena Mirza memberikannya bayaran sedikit atas semua pekerjaan berat yang harus dilakukannya? Pertanyaan itu muncul di kepala Mirza secara bertubi-tubi. Ia mengerutkan dahi dan kemudian menggelengkan kepala, ia merasa sudah memberikan bayaran yang pantas untuk pekerjaan Halwa, tapi mungkin dia perlu mengkompromikan hal itu nanti dengan Halwa. Halwa tidak tahu apa yang mendorongnya melakukan semua ini. berpenampilan dengan tidak pantas di depan atasannya. Berbicara dengan santai dan bahkan dengan terang-terangan menunjukkan kekesalannya dan berbicara dengan sikap sarkastik di depan pria itu. Padahal sebelum ini dia tidak pernah berbuat demikian. Selama ini dia selalu bersikap sopan dan waspada dan tidak pernah berani mengemukakan apa yang ada dalam kepalanya. Mungkinkah karena surat pengunduran dirinya? Tanya Halwa pada dirinya sendiri. Secara tak langsung, rasa bahwa dirinya tidak akan lama lagi bekerja dengan Mirza membuatnya punya semua keberanian ini. Ya, hanya tinggal menghitung hari dia bekerja dengan Mirza. Setelah Sabrina siap menggantikan posisinya, setelah gadis itu berhasil mempelajari semuanya—yang Halwa yakin akan berlangsung sangat cepat—dia akan terbebas dari Mirza, para kekasihnya dan juga semua kewajiban untuk menyenangkan para kekasih dan mantan kekasih pria itu. Halwa menarik napas panjang, melihat isi troli. Ia yakin semua yang dibutuhkan pria itu sudah ada disini. Ia melirik pada Mirza. “Semuanya sepertinyas sudah, Sir. Bahan-bahan lain bisa ditemukan di dapur apartemen Anda.” Ucap Halwa dengan percaya diri. Karena memang kemarin dia baru saja mengisi lemari es pria itu dan kebutuhan dapurnya. Satu hal lain yang Halwa kagumi dari Mirza adalah, kepandaian memasak pria itu. Meskipun Halwa tidak pernah merasakan masakan pria itu, namun dengan kelengkapan bumbu yang Mirza minta selalu ada di dapurnya, itu sudah menunjukkan kalau pria itu pandai memasak. Hal itu tidak perlu diragukan lagi, selain Mirza tinggal secara terpisah di luar negeri pria itu juga memiliki saudara yang merupakan seorang chef ternama. Dan dari apa yang Halwa dengar, ibu pria itu sangat pandai memasak, dan kakak perempuan pria itu yang bernama Syaquilla adalah pemilik sebuah toko kue ternama di Bandung. Jadi, air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga (sifat anak menurut teladan orangtuanya). “Masih ada yang kurang.” Ucap pria itu yang membuat Halwa mengerutkan dahi. “Apa?” tanyanya bingung. “Cake.” Jawab Mirza seraya mendorong troli menuju kasir. “Cake?” tanya Halwa terkejut. Selama ini ia jarang membelikan pria itu dan para teman kencannya cake. Alasannya sederhana, para teman kencan atasannya itu adalah sosok wanita anti gula, anti lemak dan anti karbo. Tahu kenapa? Semua makanan di atas hanya bsia menyebabkan kegemukan sementara teman kencan Mirza adalah sosok-sosok wanita perawat bentuk tubuh. “Ya. Sesuatu yang manis untuk akhir malam yang manis.” Ucap pria itu yang hanya Halwa jawab dengan memutar bola mata. Supermarket dalam keadaan kosong, sehingga mereka tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membayar. Kasir wanita yang Halwa duga lebih muda darinya itu tak pernah berhenti tersenyum seraya membarcode semua barang belanjaan mereka. Sambil memasukkan belanjaan ke dalam tas, gadis itu mengerling ke arah Mirza yang lagi-lagi membuat Halwa memutar bola mata. Belum lagi Mirza yang tampaknya sangat menikmati perhatian dari si gadis muda dan membalas senyum si gadis dengan senyumnya yang—sialannya membuat wajah pria itu semakin—tampan. Halwa mengekori Mirza ke parkiran basement. Mirza memasukkan belanjaannya ke dalam bagasi mobil sementara Halwa langsung membuka pintu penumpan dan duduk, ia sudah selesai memasang seatbelt saat Mirza duduk di balik kemudi dan mengeluarkan mobil dari parkiran. “Anda bisa membeli cake dalam perjalanan pulang.” Ucap Halwa seraya menyebutkan sebuah toko kue yang lokasinya dekat dengan apartemen pria itu. Dengan demikian ia berharap Mirza mengantarkannya kembali ke kontrakan karena dia benar-benar sudah kelaparan sekarang. Namun alih-alih membelokkan mobil ke arah kediamannya, pria itu malah melajukan mobil ke arah berlawanan. “Kita mau kemana, Sir?” tanya Halwa pada Mirza. Pria itu mengedikkan bahu dan menjawab dengan santainya. “Toko kue.” “Saya tahu, tapi kenapa saya dibawa juga? Anda bisa mengantarkan saya pulang, bukannya Anda janji begitu pada saya tadi?” tanya Halwa dengan kesal. “Ya, tapi saya juga perlu kamu buat milihin kuenya.” Jawab Mirza masih dengan datarnya. “Setelah kita memilih kue, baru kamu bisa pulang.” Lanjutnya lagi. Halwa menarik napas panjang. Ia lapar, marah dan kesal. Hal itu membuat dadanya memanas dan matanya berubah berkaca-kaca. Ketiga alasan tadi yang disebutkannya sebenarnya bukan alasan utama, alasan utamanya jelas hanya satu. Dia cemburu. Dia tidak mau memberikan sesuatu yang manis untuk kekasih Mirza yang sekarang, karena dia tidak ingin hubungan keduanya berakhir manis. Ia ingin hubungan keduanya berakhir cepat sama seperti kekasih-kekasih Mirza yang sebelumnya. Mirza jelas tidak menyadari kecemburuan Halwa, yang pria itu tahu hanyalah Halwa kesal padanya karena ia meminta waktu lebih banyak dari gadis itu. Mereka sampai ke toko kue yang Halwa maksud berpuluh menit kemudian. Dengan kesal Halwa turun dari mobil dan mengekori Mirza masuk ke dalam toko kue mewah itu. Toko kue yang hanya akan ia kunjungi sesekali saja. Bukan karena toko kue itu menyajikan kue yang tidak enak. Justru kue-kue mereka sangat enak, namun demikian harganya pun fantastis. Halwa bukan orang yang pelit sebenarnya, namun dia juga orang yang berpikiran panjang. Ia tidak bisa menyia-nyiakan uangnya untuk sering makan-makanan mewah. Ia hanya menghabiskan uangnya untuk sesuatu yang mewah pada momen-momen tertentu saja. “Pilihkan kue yang menurutmu cocok.” Pinta Mirza pada Halwa. Halwa mendongak, memandang pria itu dengan kesal namun pada akhirnya mengalihkan pandangannya pada etalase. Ini kewajibannya. Perintahnya dalam hati. ia harus melakukan yang terbaik meskipun dia tidak menginginkannya. Halwa meneliti berbagai cake cantik yang dipajang di dalam etalase yang diberi cahaya redup yang membuat tampilannya cantik. Matanya terpaku pada sebuar tart berukuran kecil sekitar sepuluh kali sepuluh sentimeter. Cake itu berwarna kuning pucat berlapis, dimana setiap lapisannya Halwa tahu berisikan whipecream dan di bagian atasnya dihias dengan berbagai buah-buahan. Mulai dari irisan jeruk, kiwi, stroberi dan beberapa buah lainnya yang ditata sangat cantik dan menggiurkan. Ia hampir saja meneteskan airliur saat melihatnya. Namun sebelum ia mempermalukan dirinya, ia memandang Mirza dan menunjuk kue itu, “Saya rasa itu cocok untuk kalian berdua.” Ucap Halwa yang dijawab Mirza dengan mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa?” tanya pria itu. “Maksudnya?” “Kenapa cocok untuk kami?” tanyanya lagi ingin tahu. Halwa mengedikkan bahu. “Ukurannya pas untuk dimakan berdua.” Jawab Halwa tanpa alasan. Mirza mencibirkan bibirnya dan mengangguk. Pria itu langsung berkata pada penjaga etalase untuk membungkuskan kue itu. Setelah kue terbungkus dan Mirza membayarnya dan menyerahkan kue itu pada Halwa, yang membuat Halwa bingung sejenak namun kemudian mengerucutkan bibir kala Mirza berkata. “Pegang dan jaga kue itu baik-baik. Aku gak mau kuenya rusak.” Sebelum berjalan menuju kursi kemudi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD