Pertengkaran

1039 Words
Nahla mendecih tak suka, apakah Hanum masih menyimpan harapan pada Ahsan? padahal dia tau bahwa Ahsan sudah memiliki istri, tapi apa yang bisa dibanggakan dari statusnya sebagai istri Ahsan, seluruh orang di pondok pesantren sangat tau bahwa Ahsan sangat tak menyukainya. Nahla sangat tidak suka dengan Hanum, tak bisakah gadis itu menundukkan pandangannya saja dan menyerah pada perasaannya dengan cara menerima takdir. Takdir bahwa Ahsan sudah menikah dengan nya, tapi dalam islam boleh menikahi istri dari satu, bisa saja Ahsan berniat menikahi Hanum karena tak mendapatkan apa-apa darinya. Mendadak Nahla marah, marah kepada Ahsan atas perbuatan yang belum dilakukan laki-laki itu. Marah pada Hanum. Lucu, buat apa dia memikirkan dua orang itu, bahkan dia tak berencana untuk terikat dengan pernikahan ini selamanya, Ahsan? Dia terlalu biasa bagi Nahla, terlalu jauh di bawah kriterianya, terlalu serba terlalu. Nahla merasakan pusing sendiri, dengan pelan dia bangkit dari duduknya dan keluar dari mesjid, dia butuh minuman dingin saat ini. *** "Bagaimana pernikahanmu?" Ustad Muraq mendekati Ahsan setelah kajian Tafsir selesai, Ahsan tersenyum, matanya sempat menangkap kehadiran Hanum di belakang ayahnya, seperti biasa, cantik, lembut dan penuh kharisma. Jika biasanya bunga-bunga di hati Ahsan bermekaran, sekarang bunga itu tak berani lagi mengeluarkan wanginya, dia seakan mati. Ahsan tak munafik, perasaannya pada Hanum masih utuh, dadanya masih berdebar halus, masih tersimpan rapi cinta untuk Hanum di sana, tapi apa daya, semua sudah tak mungkin. "Alhamdulillah, baik, Ustadz," jawab Ahsan, sejenak dia bertemu pandang dengan Hanum, pipi gadis itu bersemu merah dan pandangannya langsung ditundukkan, sangat berbeda dengan Nahla, gadis itu kalau dipandang malah menantang dan mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Nahla? Ahsan jadi ingat, kemana istri bandelnya itu pergi. "Bagaimana istrimu?" "Alhamdulillah, dia sudah mulai belajar agama." Ahsan melirik Hanum, wajahnya berubah sendu. "Ada sesuatu yang mau saya sampaikan padamu." "Silahkan, Ustadz." Ustadz Muraq menghela nafas, "Kemaren ada yang datang ke pondok mencari Nahla, salah satu dari mereka mengaku sebagai ayahnya." "Afwan, Ustadz, kalau boleh tau, apakah dia memperkenalkan namanya juga?" Ahsan merasa tertarik dengan pembahasan ini. "Aduh, siapa ya namanya, yang jelas dia berasal dari Arab." " Arab, Ustadz?" Ahsan tak mempercayai pendengarannya. "Iya, waktu dia mencari Nahla, kami meminta waktu pada mereka. Nahla adalah istrimu. kau bertanggung jawab dunia akhirat padanya." Ahsan terdiam, apa yang akan disampaikannya pada Nahla nanti, baru saja Ahsan menyebut namanya, gadis itu datang ke sisinya, jilbabnya sudah awut-awutan, sekilas dia melirik sinis pada Hanum. "Ayo, Mas, kita pulang yuk!" Nahla memasang wajah manja dan genitnya sambil bergelayut di lengan Ahsan. Ahsan heran, apa Nahla sedang kerasukan sehingga dia berubah aneh, tapi melihat matanya melirik Hanum baru Ahsan mengerti apa tujuan gadis itu. "Beri salam pada Ustadz Muraq!" perintah Ahsan agak kesal. Nahla menangkupkan tangan di depan d**a. "Assalamualaikum, Ustadz, Assalamualaikum, Mbak Hanum." Tampak sekali senyum itu dipaksakan. Ustadz Muraq dan Hanum menjawab bersama'an. "Ayo sayang! kita pulang," kata Nahla, bahkan dia jijik dengan suaranya sendiri, tangannya mulai mengelus d**a Ahsan. Ahsan melotot marah pada Nahla dan dibalas dengan kerlingan nakal gadis itu. "Ha ha ha, istrimu sudah ingin pulang Ahsan, penganten baru memang begitu." Ustadz Muraq tersenyum maklum, berbeda dengan Hanum, gadis itu menunduk menyembunyikan air matanya. Nahla memang harus diajari etika dan sopan santun. Pikir Ahsan begitu. *** Mereka lebih cepat sampai ke rumah karena Ahsan membawa motor dengan kecepatan tinggi, Nahla tak bertanya apa-apa, karena dia tahu bahwa Ahsan kesal karena sudah menyudutkan Hanum. "Aaahhh! leganya." Nahla langsung mencopot jilbabnya, membuka gamis peach dengan santai, meninggalkan tanktop hitam dan hotpants hitam juga. Dia berbaring di sofa, membiarkan gamisnya teronggok begitu saja di lantai. "Apa maksud perbuatanmu tadi?" Ahsan memandang serius, Nahla harus diajari tata cara bersikap. Nahla bangun, bersandar di sofa. "Yang mana? Memintamu pulang? Aku memang ingin pulang, lalu salahku di mana?" Nahla berpura- pura bingung, padahal dia tau apa arti pertanyaan suaminya itu. "Apa kau tak punya malu?" Wajah Ahsan menegang, dia mulai marah dan jengkel dengan kepura-puraan Nahla. Nahla bangkit, ini sudah tak bisa di biarkan. "Malu? Kepada siapa? Kepada mantan kekasihmu?" "Hati-hati dengan ucapanmu, dia tak pernah menjadi kekasihku." "Lalu apa masalahnya? Ustadz Muraq saja terlihat santai, kau dan wanita itu saja yang merasa terganggu." Nada suara Nahla mulai meninggi "Dia punya nama," ketus Ahsan. "Oooh, aku mengerti sekarang." Nahla melipat tangannya di dada." Kau marah padaku karena menyentuhmu di depan wanita itu, kan?" "Kau bersikap tidak pantas, memamerkan kemesraan di depan dua orang yang sangat aku hormati." "Kau salah, satu orang yang kau hormati dan satu lagi kau cintai, kau ingin memperlihatkan padanya bahwa kau tak menyukaiku? Supaya dia menggantungkan harapannya padamu? Begitu, kan?" "Jangan suudzon!" Ahsan membantah. "Hei, aku bukan wanita bodoh, aku mengamati sepanjang pengajian dia menatapmu penuh cinta, aku hanya ingin menyadarkannya bahwa perasaannya sia-sia, kau sudah beristri." "Kau harus memikirkan perasaannya, bukankah dia sudah mengalah padamu karena kau memaksaku menikahimu." Ahsan benar-benar tersulut emosi. Nahla mendekati Ahsan, menatap tepat dimata Ahsan. "Kau? Jangan terlalu besar kepala, apa kau pikir aku tertarik padamu? pria sepertimu belum apa-apanya bagiku, aku sudah mengikuti apa katamu selama ini, sekarang kau mau apa, hah? " Nahla mengamuk, mendorong d**a Ahsan, membuat Ahsan terdorong mundur beberapa langkah. "Apa kau mau kembali padanya? Kalau iya, kau cukup katakan padaku, aku akan mengembalikan dirimu padanya, kau cukup menjatuhkan talaq dan aku akan pergi dari hidupmu, kau tak perlu repot-repot mengurus surat cerai, karena pernikahan kita dilakukan secara siri." Nahla menumpahkan kekesalannya, Wajah Ahsan mulai melunak, dia mengusap wajahnya kasar, wanita itu memang tak bisa di kerasi. "Astagfirullaah, jangan berpikir sejauh itu!" "Sejauh apa? Aku sadar di mana posisiku, kalau kau memang tak menyukaiku, kenapa kau menciumku, setidaknya pertahankan wajah bencimu padaku." Ahsan semakin bingung, dia mencoba meraih lengan Nahla, tapi di hempaskan dengan kasar. "Jangan sentuh aku!" " Nahla, kau salah paham, tidak sejauh itu." "Jangan membujukku! aku bukan wanita bodoh, aku bisa meninggalkanmu kapan saja." Nahla masih sangat marah. Tiba-tiba Ahsan terkejut dan melongo, Nahla dengan santainya membuka tanktop dan hotpantsnya di depan wajah Ahsan. "b******k, kenapa tanktop sialan ini berubah menjadi panas.." Ahsan tak tau harus menjawab apa, dia cuma melongo melihat Nahla berjalan melewatinya menuju kamar dengan sepasang pakaian dalam yang bahkan tak mampu menutup apa yang seharusnya ditutupinya. Ahsan terperangah, Nahla lebih gila dari yang dia bayangkan, dia menggelengkan kepalanya yang tiba- tiba terasa pusing. Nahla wanita bar bar tanpa rasa malu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD