bc

Laskar's

book_age0+
355
FOLLOW
2.1K
READ
badboy
goodgirl
student
drama
tragedy
sweet
like
intro-logo
Blurb

"Because of fate, we meet."

Laskar Damian Havier, sang primadona SMA Pratama. Rupanya yang menarik hati disertai tatapan yang tajam mampu membuat para kaum hawa meleleh. Alih-alih mendekati, semua orang justru menjaga jarak dengan Laskar karena statusnya sebagai bad boy tak berperasaan. Padahal menurutnya, dia tidak seburuk itu. Tapi mau bagaimana lagi, persepsi orang lain memang sulit diluruskan. Sekalinya jelek, pasti akan terus seperti itu. Seperti kertas putih yang ternodai setitik tinta.

Lalu kemudian Laskar bertemu seorang Rhea Asianya, cewek dengan sifat yang sangat berbanding terbalik dengannya. Tenang dan cerdas, kepribadian yang melekat pada diri Rhea. Bagi Laskar, tipe cewek seperti ini pasti membosankan dan monoton.

Namun seolah takdir tak ingin pertemuan mereka berakhir begitu saja, Laskar kembali bertemu Rhea hingga beberapa kali. Membuat cowok itu sadar, ada hal yang menarik dalam diri Rhea. Cewek yang terlihat sempurna namun memiliki banyak persamaan dengan dirinya. Dan tanpa dia sadari, dia semakin jatuh pada pesona cewek itu.

chap-preview
Free preview
1
DID you see my bag? Did you see my bag? Kepala gadis itu mengangguk pelan. Alunan musik Mic Drop-BTS terdengar cukup kencang dari headset yang dia gunakan. Dengan posisi telungkup, dirinya membaca buku pelajaran dengan serius. Kamar yang didominasi oleh warna ungu tersebut nampak hening dan sepi. Namun sayangnya, suasana yang terbangun itu sirna tatkala seorang gadis berambut ikal sepunggung menggebrak pintu secara kasar. “RHEA!” Gadis yang baru masuk itu berdiri di pinggir kasur, menatap sepupunya serius seakan ada sesuatu yang mendesak. “Astaga, Rhea! Lo denger gak sih?” pekik gadis itu mulai kesal. Namun gadis yang dipanggil Rhea itu masih bergeming dalam posisinya. Seolah tak menyadari akan adanya sosok lain di sana. I'm so firin’ firin’ seonghwa— Sontak Rhea yang tersadar lagu kesukaannya berhenti mengalun mendesis sambil mendongak, menatap sang pelaku yang bersedekap dengan alis yang terangkat. “Ganggu banget lo, Rin.” seru Rhea langsung membuat Erin mencibir. Erin duduk bersila di atas kasur, membuat Rhea meringsut memberi tempat kepada sepupunya tersebut. “Rhea, udah berapa kali sih gue bilangin. Jangan denger lagu dengan volume tinggi gitu. Entar kalau gendang telinga lo rusak gimana?” cerca Erin kembali memberi wanti-wanti kepada Rhea. Bagi Erin, Rhea itu ceroboh dan keras kepala. Dia tak ingin mendengar ceramah seorang pun kecuali orang tuanya. Dan sebagai sepupu yang baik, Erin memberitahu Rhea agar berhenti mendengarkan lagu dengan volume yang tinggi. Bukankah itu tak baik? “Jadi kesimpulannya, lo dateng ke sini buat apa?” tanya Rhea datar membuat Erin seketika terbelalak karena teringat tujuannya. Gadis itu bergegas bangun sambil menarik lengan Rhea agar bangkit dari kasurnya. “Karena lo, gue hampir aja lupa. Cepet kita pergi. Papa gue baru mau jalan.” “Kenapa harus gue?” “Lo butuh alasan?” Erin mendengus. “Karena dia Om elo. Lo gak kasihan sama Tante lo?” Rhea bangkit dan mendekati nakas yang berada di sebelah meja belajar. Dibukanya laci dan mengambil sebuah topi berwarna hitam dari sana. “Ayo!” Karena sudah menyangkut mamanya Erin, mau bagaimana lagi? Lagi pula Rhea tak kuasa menahan sabar jika Erin terus datang kepadanya dan merengek-rengek karena mama dan papanya berkelahi dengan alasan selingkuh. Erin tersenyum lebar lalu segera membuka pintu kamar Rhea. Kini keduanya berjalan keluar rumah dengan tergesah-gesah. “Kapan Om keluar?” Mata Erin melirik jam yang tertera pada layar ponselnya. “Di pesan yang gue liat sih, sekitar lima menit lagi.” jawabnya sambil memerhatikan pekarangan rumahnya dari semak belukar yang terdapat di samping rumahnya dengan posisi berjongkok. Fyi, rumah Erin berada tepat di samping rumah Rhea. Sehingga mempermudah mereka untuk bertemu. Dan karena faktor inilah keduanya menjadi lebih akrab dibanding dengan para sepupu-sepupu mereka yang lain. “Eh, itu tuh!” seru Rhea sambil menepuk-nepuk pundak Erin pelan. Erin mengangguk mengerti. Keduanya memicingkan matanya, meneliti pakaian yang dikenakan papanya Erin tersebut. Dengan menggunakan pakaian olahraga berwarna hitam dengan motif putih dan sepatu kets, papa Erin keluar dari pagar rumahnya dengan berjalan kaki. “Om mau ke mana?” bisik Rhea. “Restoran Dahlia di perempatan jalan.” “Gila. Nekat amat bokap lo.” Restoran Dahlia berada di perempatan jalan yang jaraknya tak jauh dari komplek rumah mereka. Bagaimana Rhea tak kaget? Restoran tersebut adalah langganan keluarga mereka. Jika salah satu keluarga mereka melihat atau memergoki papanya Erin, dan sampai di telinga mamanya Erin, mungkin sepupunya itu akan kembali nginap di rumahnya untuk sementara sebab tak ingin berada di rumah yang berisik karena pertengkaran kedua orang tuanya. “Go!” Erin menarik pergelangan tangan Rhea agar segera menguntit sang papa. Dengan penyamaran berupa kacamata dan tudung hoodie yang menutupi kepala, Erin berharap papanya tak mengetahui aksinya ini. Melihat papanya menyebrang jalan, Erin buru-buru mengikuti karena takut kehilangan jejak. Firasatnya mengatakan kalau rencana sang papa bisa berubah kapan saja. Namun nahas. Bukannya sampai ke seberang jalan dengan damai, Erin dan Rhea hampir saja tertabrak sebuah motor ninja berwarna hitam yang dikemudikan oleh seseorang yang mengenakan helm full face. “WOI, ANJIR! LIAT-LIAT KALAU MAU NYEBRANG!” teriak seseorang itu keras karena mendadak harus mengerem agar tak menabrak dua gadis di hadapannya, yang tentu saja menyebabkan suara decitan ban yang nyaring. Erin yang tak terima langsung mengangkat suara, “EH, LIAT TUH LAMPU LALU LINTAS! WARNA APA? ELO KALAU GAK TAU ATURAN, GAK USAH SOKAN BAWA MOTOR!” sembur Erin yang membuat mereka menjadi pusat perhatian beberapa orang. “Lo ngatain gue?” seru seseorang itu lagi dengan nada yang bagi Rhea, cukup menyeramkan. Namun bukannya takut, Erin berkacak pinggang sambil menatap pengemudi motor tersebut menantang. “IYA! KENAPA? BUKANNYA ELO YANG DULUAN?” Karena semakin menjadi pusat perhatian dan lampu lalu lintas yang akan berubah warna sebentar lagi, Rhea mengambil keputusan untuk menarik Erin agar segera pergi dari sana, namun segera ditepis Erin. “Udahlah Rin. Kita pergi aja sekarang.” “Enggak bisa gitu, Re. Orang macam ini nih yang buat negara ancur.” sergah Erin yang masih diselimuti kekesalan. “Lo gak inget tujuan kita? Kita bisa kehilangan jejak Om.” bisik Rhea lagi membuat Erin membuang napas kasar sambil menatap pengemudi tersebut tajam. “Awas lo kalo ketemu lagi!” ancam Erin lalu beranjak pergi dari sana. Rhea masih bergeming di tempatnya. Dia menatap pengemudi itu sejenak, lalu segera menyusul Erin. “Shit, tu cewek-cewek nyebelin banget.” gerutu orang tersebut lalu menstater motornya dan melaju pergi dengan kecepatan di atas rata-rata. “Rin! Tungguin.” Erin berhenti melangkah. Dia menghentakkan kakinya lalu berbalik. “Ini semua salah lo! Harusnya muka tuh cowok udah gue cakar sejak tadi. Huh, nyolot banget jadi orang. Gak liat apa kalau lampu lalu lintasnya warna merah? Awas aja kalau gue ketemu dia lagi, gue remukin tuh tulang terus gue cincang dagingnya.” gerutu Erin panjang lebar yang dibalas Rhea dengan helaan napas lelah. Sebenarnya, Rhea sudah terbiasa menghadapi sifat Erin yang satu ini. Kalau Erin sudah kesal, yang harus Rhea lakukan hanyalah diam mendengarkan sampai kekesalan Erin mereda. “Bokap lo gimana?” tanya Rhea hati-hati ketika terdiam beberapa menit. Mendengar itu, Erin mengembungkan pipinya. “Gue udah bete. Ayo pulang!” Lagi dan lagi, Rhea menghela napas lelah lalu berbalik, melangkah mengekori Erin yang sepertinya akan kembali ke rumah. Berharap hari yang akan datang tidak seperti hari ini. Tetapi sebelum itu, mereka harus kembali berhenti di tempat yang menyebabkan emosi Erin memuncak tadi. Pandangan Rhea beralih ke tempat orang tadi berada. Tempat di mana orang tersebut menghentikan motornya untuk berdebat dengan Erin. Mata Rhea memicing, lalu ketika lampu lalu lintas berwarna merah, Rhea mendekati tempat tadi lalu merunduk, mengambil sesuatu yang ada di aspal jalanan. Digenggamnya barang yang baru dipungutnya itu dengan erat lalu segera menyebrang. Dan sepanjang perjalanan kembali ke rumah, kepalanya dipenuhi pertanyaan mengapa barang tersebut harus dia bawa pulang. Kini Rhea berdiri di balkon kamarnya. Ditatapnya gantungan yang terdapat sebuah cincin yang menurutnya cukup menggemaskan. Gadis itu membolak-balikkan benda kecil tersebut, lalu kembali berperang dalam pikirannya. Buang? Iya Buang? Iya Buang? Rhea tersenyum. “Kayaknya buat sementara gue simpan aja deh. Kapan-kapan baru buangnya.” ujarnya pelan lalu memutuskan masuk ke dalam kamarnya dengan riang.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
470.9K
bc

Crazy Maid ( INDONESIA )

read
206.4K
bc

CUTE PUMPKIN & THE BADBOY ( INDONESIA )

read
112.3K
bc

Married with Single Daddy

read
6.1M
bc

Guru BK Itu Suamiku (Bahasa Indonesia)

read
2.5M
bc

MY ASSISTANT, MY ENEMY (INDONESIA)

read
2.5M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook