2

1182 Words
PEMANDANGAN pertama yang Rhea lihat ketika menuruni tangga adalah orang tuanya yang sudah duduk di depan meja makan sambil berbincang pelan. Seperti biasanya, Rhea akan menarik sebuah kursi yang berada di depan sang mama dengan senyuman yang mengembang. “Pagi Mah, Pah.” sapanya membuat Dimas, papanya, menoleh. “Anak Papa udah siap?” tanya Dimas lembut membuat Rhea mengangguk pelan lalu menerima sepiring nasi goreng yang telah dibuat mamanya, Renata. “Ma, bukannya udah Papa bilang jangan jadikan nasi goreng sebagai sarapan? Nasi goreng bisa buat Rhea ngantuk saat pelajaran.” tegur Dimas membuat Renata meringis pelan karena melupakannya. Namun sebelum Renata membuka mulut untuk menjawab, Rhea mengeluarkan suara terlebih dahulu. “Gak pa-pa kok, Pa. Rhea yang minta kemaren karena pingin. Makasih ya, Ma.” Renata tersenyum tipis. Wanita paruh baya itu kini duduk di kursinya. Didengarnya helaan napas dari suaminya. Kini hening menyelimuti ruangan tersebut. Membiarkan suara dentingan sendok beradu dengan piring yang berasal dari arah Rhea. “Gimana sekolahmu, Rhea?” Dimas memecahkan keheningan begitu melihat anaknya sudah menyelesaikan sarapan. Setelah meneguk susu hangatnya, Rhea mengangguk pelan. “Baik kok, Pa. Kayaknya hari ini aku bakal pulang telat karena masih pertemuan buat olimpiade nanti.” “Yaudah. Sekarang Papa anter kamu ke sekolah. Nanti kamu telat, apa kata guru-guru kamu?” sahut Dimas yang kini sudah berdiri. Menerima tas kantor dari Renata, mencium kening sang istri singkat lalu pergi. Rhea tersenyum melihat itu. Walau sudah terbiasa melihatnya, namun Rhea selalu merasa menghangat karena interaksi kecil tersebut. “Rhea? Kamu gak berangkat sekarang?” Renata menatap sang anak heran. “Ini baru mau jalan.” Rhea berjalan mendekati Renata lalu menyalimnya dan segera menyusul Dimas. Sepanjang jalan menuju sekolah, Rhea memilih membungkam karena tak tahu harus berkata apa dengan Dimas. Sesampainya di depan gerbang sekolah, Rhea segera menyalim Dimas yang di balas Dimas dengan elusan lembut di kepalanya. “Rhea, ingat pesan Papa, kan?” tanya Dimas memastikan. Dengan senyuman tipis, Rhea mengangguk. “Belajar yang bener. Jangan ngecewain Papa dan Mama.” katanya mengulang kalimat yang sangat dia hafal. “Yaudah kalau gitu aku pamit ya, Pa.” Setelah mendapat anggukan dari Dimas, Rhea segera membuka pintu mobil lalu kembali menutupnya. Dia menatap gerbang sekolah yang menjulang tinggi sebentar, lalu melangkah masuk ke sana. Beberapa kali Rhea melempar senyum saat orang yang berpapasan dengannya menyapa. Dia bukan seorang the most wanted yang dikenal seluruh pelajar di sekolahnya. Dan dia tidak sepopuler itu. Rhea hanyalah seorang gadis membosankan dan monoton. Begitu pandangan orang lain terhadapnya. Dan Rhea menyadari hal itu. Baginya, apa yang lebih penting dari mendapatkan nilai yang tinggi dan duduk di peringkat teratas? Jawabannya nope. Karena tujuan utamanya datang ke sekolah bukan untuk berbasa basi dan mencari kawan, melainkan meraih nilai dan peringkat yang dapat memuaskan orang tua yang telah membesarkannya dengan baik hingga sekarang. Langkahnya terhenti di sebuah kelas. Menghela napas pelan, Rhea berjalan memasukinya. Seperti hari yang sudah-sudah, semua orang mengacuhkannya. Bahkan tidak ada yang meliriknya sedetik pun. Namun seperti yang sudah-sudah, Rhea akan mengabaikannya dan duduk di tempatnya lalu mengeluarkan sebuah novel untuk dibaca. Karena dia tidak mempunyai waktu untuk membacanya di rumah. Rhea masih sayang novel-novelnya. Jika Dimas mengetahui bahwa dirinya membaca novel-novel, mungkin akan dibuang— atau dibakar. Saking asyiknya membaca sampai Rhea tidak sadar bahwa bel pertanda pelajaran pertama sudah berbunyi. Teman-teman sekelasnya yang sedari tadi bising, perlahan mulai hening karena seorang guru telah masuk. “Selamat pagi,” “Pagi Bu,” “Baiklah. Untuk mempersingkat waktu, simpan segala jenis buku yang menyangkut pelajaran saya di dalam tas dan keluarkan sebuah buku. Waktu untuk ulangan kali ini hanya satu jam.” Sontak murid-murid yang ada di dalam ruangan tersebut bersorak tak terima dan kelas pun menjadi bising. Berbeda dengan Rhea yang dengan tenangnya mengikuti perkataan guru tersebut lalu mengeluarkan buku ulangan Fisika. “Waktu yang tersisa lima puluh lima menit lagi. Jika kalian ingin menarik-ulur waktu, silakan.” Perkataan guru yang terdengar horor tersebut sukses membuat seisi kelas kembali hening. Pandangan tajam guru tersebut berpedar. Lalu keningnya mengerut samar. “Di mana Ana?” tanyanya begitu melihat bangku di depannya kosong. “Tadi malem katanya sakit Bu.” sahut seorang siswi membuat guru tersebut mengangguk. “Rhea?” Rhea mendongak. “Iya, Bu?” “Pindah ke depan.” Kelas kini dipenuhi bisik-bisikan dari siswi-siswi yang mendengar itu. Dengan segera Rhea mengambil alat tulis dan bukunya lalu berjalan menuju bangku paling depan. “Yang anak kesayangan guru mah bebas ya....” Rhea mengulum bibirnya begitu cetusan pelan tersebut berhasil tertangkap di indra pendengarannya. Jantungnya berdegup kencang, hingga sampailah dia di bangku yang dirinya tuju. Dia memejamkan matanya, berusaha melupakan apa yang baru saja dia dengar walaupun itu cukup sulit baginya. *** Bisa angkat teleponnya? Rhea tersenyum membaca chat yang masuk tersebut. Gadis itu langsung beranjak dari duduknya, tujuannya hanya satu sekarang. Sebuah tempat yang sepi. Jam istirahat tak Rhea gunakan untuk berada di kantin. Sebenarnya tujuan utamanya adalah taman sekolah, namun buyar begitu saja saat matanya dengan tak sengaja melihat tangga yang menghubungkan dengan atap. Seingat Rhea, atap sekolah selalu sepi karena rumor yang beredar mengatakan bahwa rooftop sekolah angker yang disebabkan oleh meninggalnya dua orang siswi. Seorang siswi yang jatuh dari sana, dan siswi yang satunya mengiris urat nadinya entah karena apa. Tetapi percayalah, Rhea tidak pernah mempercayai segala jenis rumor yang bertebaran di mana pun. Karena bagi Rhea, rumor hanyalah suatu hal yang tidak benar adanya. Apa lagi mengenai rooftop sekolah. It's impossible! Wajahnya langsung diterpa angin begitu membuka pintu yang terbuat dari besi tersebut. Dan yah... rooftop benar-benar sepi. Setelah kembali menutup pintu, Rhea mengeluarkan ponselnya dan mendial sebuah nomor. “Hai,” Sapaan lembut itu membuat jantung Rhea berdesir. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, menahan senyuman tercetak di bibirnya. “Ada yang mau kamu omongin?” tanya Rhea pelan. Terdengar kekehan dari seberang. “Aku ganggu kamu belajar, ya?” “Enggak!” seru Rhea cepat. Lagi-lagi terdengar kekehan kecil. “Rhea, bentar kayaknya aku gak bisa jemput kamu. Urusan OSIS di sini banyak, apa lagi deket pensi gini.” Suara berat tersebut terdengar gusar. “Astaga, Gio! Gak pa-pa kok. Aku bisa pulang sendiri. Pasti kamu capek banget di sana.” “Hm... maaf juga ya Minggu ini aku gak bisa ke rumah.” Rhea terkekeh. “Iya, Iya.” “Rhea,” Hening sejenak. “Aku kangen kamu.” Senyum Rhea semakin mengembang. “Aku ju—” Tuk! Gadis itu menunduk begitu merasa ada sesuatu yang mengenai sepatunya. Dilihatnya sebuah kaleng yang entah berasal dari mana. Namun saat dirinya datang, tidak ada kaleng tersebut di sini. Jantungnya mulai berdegup kencang saat suara kaleng yang diremukkan terdengar, diikuti dengan lemparan sesuatu yang mengenai punggungnya. “Rhea? Kamu kenapa?” Tanpa menjawab panggilan tersebut, Rhea mematikannya. Perasaannya mulai tak menentu. Jangan bilang... rumor itu nyata? Dengan cepat Rhea menggeleng. Tidak mungkin. Mengumpulkan niat, perlahan ia berbalik. Mengabaikan jantungnya yang seakan ingin meledak. Dan di saat itu juga, matanya menangkap sosok yang mengenakan jaket hitam dengan tudung yang menutupi kepalanya sedang duduk di lantai sambil bersandar di dinding dekat pintu rooftop. Menatapnya dengan sorot mata yang sangat... tajam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD