3

1139 Words
“BERISIK,” Rhea mematung sesaat. Tatapan itu... seolah menatapnya penuh amarah. Dia cowok. Itu yang dapat Rhea simpulkan. Suaranya berat dan rendah. Di samping cowok itu terdapat beberapa kaleng minuman— entah masih ada isinya atau sudah kosong. “Lo budek?” Kini cowok itu bangkit dan melangkah pelan mendekatinya. Dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku jaketnya. Tatapan cowok itu masih menghunus tajam tepat ke mata Rhea, membuat cewek itu tergugu di tempatnya. “G-g-gue....” Saat cowok itu berhenti tepat di hadapannya, Rhea meremas tangannya kuat. Pergi pun percuma karena kakinya terasa kaku untuk digerakkan. Cowok itu menundukkan kepalanya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Rhea. Membuat gadis itu sontak menahan napasnya gugup. “Bukannya lo cewek yang waktu itu?” Suara cowok itu membuat Rhea merinding sesaat. “M-maksud lo?” Alis cowok itu terangkat lalu tersenyum miring. Namun bukannya menjawab, dia malah bergumam, “Gotcha.” “Hah?” “Siapa lo yang berani dateng ke sini?” Cowok itu menegakkan punggungnya, menatap mata Rhea intens. Rhea menelan salivanya kasar. “Gue Rhea.” Keningnya mengerut mendengar jawaban polos itu. Siapa yang sedang bertanya nama cewek ini? Sungguh cewek yang aneh. Matanya turun pada name tag cewek itu. Namun lagi-lagi respons cewek itu diluar jangkauannya. “Ngapain lo?” tanyanya heran saat melihat cewek itu menyilangkan tangannya di depan d**a. “L-l-lo yang ngapain liatin g-gue?” Rhea meringis begitu menyadari suaranya yang latah. “Rhea Asianya?” Senyuman miring tercetak di bibir cowok itu. “Mending dari sekarang lo harus hati-hati. Di pertemuan ketiga, gue jamin lo gak bakal lepas dari gue.” Apa katanya? Rhea bahkan tidak bisa berpikir jernih sekarang. Untuk pertama kalinya Rhea berinteraksi di sekolah selama ini dengan orang lain selain guru. Dia gugup, takut, dan berdebar entah kenapa. “See you later, Rhea.” Setelah memberikan senyuman miringnya, cowok itu berjalan pergi dari sana. Meninggalkan Rhea yang perlahan mulai bisa mencerna perkataannya. “Dia... gila.” *** Begitu sampai di kelasnya, hening menyapa. Seorang guru yang tengah menerangkan pelajaran di jam tersebut melirik, lalu memutuskan melanjutkan penjelasannya. Laskar mengedikkan bahunya tak acuh dan segera melangkah memasuki kelas. Tak seorang pun yang berani menatapnya, bahkan untuk sekedar melirik. Padahal Laskar tak akan memakan mereka hidup-hidup jika melakukan hal itu. Paling cuma mematahkan tulang mereka. Dia menarik bangkunya lalu duduk di sana. Cowok itu menatap guru yang sedang mengajar beberapa detik, lalu menguap malas. “Oi,” panggilnya pada seorang cowok yang duduk di depannya. “Gak usah sok budek. Bagi kertas cepet.” katanya datar namun menakutkan bagi cowok yang duduk di depannya itu. Dengan cepat cowok itu merobek kertas bagian tengah buku, dan menaruhnya di atas meja Laskar. Laskar tersenyum, lalu menepuk pundak cowok itu tiga kali sambil berkata, “Thanks,” Beberapa menit Laskar habiskan untuk menatap ke luar jendela lalu menatap kertas yang ada di atas mejanya dan mulai menggambar. Saking sibuknya menggambar sampai Laskar tak sadar jika bel pertanda pulang sekolah berbunyi. Dengan segera dia melipat kertas tersebut, memasukkannya ke dalam tas dan beranjak keluar kelas. “L-laskar....” Laskar menghentikan langkahnya lalu melirik ke belakang dengan tatapan datar. Membuat sang pemilik suara menunduk dalam. “Bu Indah n-nyuruh lo menghadap Beliau,” “Hm.” Laskar kembali melanjutkan langkahnya. Tanpa berbalik dia melambaikan tangannya. “Thanks infonya~” See? Seorang Laskar Damian Havier tidak semenakutkan itu. Buktinya dia suka berterima kasih kepada siapa saja yang membantunya. Kalau dipikir-pikir, mungkin asal muasal ketakutan semua orang terhadap dirinya saat dirinya masih duduk di kelas X. Tanpa sengaja dia mematahkan lengan senior yang sok berkuasa. Tapi percayalah, Laskar tidak sengaja. Tulang senior itu saja yang terlalu rapuh. Baru diputar sedikit sudah patah. Apa lagi kalau Laskar sungguh-sungguh mematahkannya? Terkadang orang-orang terlalu mendramatisir keadaan. Makanya Laskar jadi ditakuti penjuru sekolah. Namun Laskar juga tidak buta. Masih banyak cewek-cewek di sekolah ini yang meliriknya malu-malu tai kucing. Buat Laskar ingin menjambak rambut mereka satu-satu. Jangan katakan Laskar itu seorang psikopat. Dan tentu saja, jangan mengatakan Laskar memiliki kelainan jiwa. Karena Laskar masih memiliki akal sehat dan otak. Lagi pula ditakuti seluruh pelajar ada enaknya. Dia tidak harus berurusan dengan cewek-cewek matre yang hanya melihat tampang dan hartanya saja. Dan dia tidak harus mempunyai teman yang hanya ingin memanfaatkannya. Laskar bebas. Dia tidak terikat pada seorang pun. Termasuk guru-guru. Hm, kecuali orang tuanya. Guru-guru selalu tak mengambil pusing akan keberadaannya. Seolah mereka selalu menganggap keberadaan Laskar tak pernah ada. Mungkin juga mereka sudah lelah mengatur cowok itu. Kecuali.... Tok tok tok “Silakan masuk.” Kriet ... guru perempuan yang duduk di balik meja kerjanya itu. Setelah menutup pintu, Laskar berjalan mendekat dan duduk di kursi depan Bu Indah sambil meletakkan ranselnya di bawah. “Ada yang perlu dibahas, Ibu Indah yang terhormat?” Bu Indah menghela napasnya pelan. Sebagai guru wakil kepala sekolah yang merangkap menjadi guru Fisika, dia tidak bisa membiarkan salah satu muridnya bersikap sewenang-wenang seperti Laskar. Untung saja siswa di hadapannya ini cucu pemilik sekolah. Kalau bukan, mungkin Laskar sudah di drop out dari awal. “Ibu akan berbicara langsung pada intinya.” “Oh, itu lebih bagus, Buk. Gak usah bertele-tele. Saya mau pulang. Capek. Sekolah ini gak ada niat buat meliburkan murid-muridnya, gitu?” tanya Laskar dengan santainya. “Laskar, saya serius.” Bu Indah menatap Laskar tajam. Seolah tak ingin kalah, Laskar menatap Bu Indah tak kalah tajam. “Ibu kira saya lagi bercanda?” “Saya akan memberikan satu kesempatan buat kamu memperbaiki sikap kamu ini. Jika kesempatan kali ini kamu sia-siakan, saya tak akan segan lagi melaporkannya pada Ayah kamu.” “Jadi sekarang Ibu ngancem saya?” “Saya tidak mengancam kamu, Laskar. Saya hanya memberi peringatan. Dengar dan gunakan itu sebaik-baiknya. Kamu bisa keluar sekarang.” Ibu Indah memutuskan kontak matanya dengan Laskar lalu meraih berkasnya yang terletak di sudut kanan meja. Laskar bergeming. Masih menatap Bu Indah tajam dengan tangannya yang sudah tergepal kuat. Lalu matanya tertuju pada sebuah dokumen yang tengah dibaca Bu Indah. Titik fokusnya pada foto yang tertempel di sana. Bu Indah mendongak menatap Saka heran. “Kenapa kamu masih di sini? Saya sekarang mau bertemu pelajar lainnya.” “Siapa? Cewek yang itu?” Laskar menggedikkan dagunya ke arah kertas yang berada di hadapan Bu Indah. “Ini bukan urusanmu.” “Oh ya?” Cowok itu bersedekap sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. “Laskar, su—” Perkataan Bu Indah terhenti begitu suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. “Silakan masuk,” Perlahan terdengar derit pintu yang terbuka. Laskar menoleh ke belakang, lalu senyuman miring tercetak di bibirnya begitu tebakannya benar adanya. Gadis itu, Rhea Asianya. Pertemuan ketiga yang begitu cepat dan tak terduga. Tapi Laskar suka. Dia kembali menatap Bu Indah. “Saya terima kesempatan itu. Tapi saya mau dia—” Laskar menunjuk ke arah belakang dengan jari jempolnya. “Jadi tutor buat saya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD