4

915 Words
“JADI tutor buat saya.” Rhea yang mendengar itu hanya menatapnya bingung lalu berjalan mendekat. “Selamat siang, Bu.” Tatapan Bu Indah beralih ke Rhea yang kini berdiri di samping Laskar. Tatapan wanita paruh baya itu sulit diartikan. Seperti masih tak menyangka akan apa yang dikatakan siswa di hadapannya ini. “Laskar, apa kamu serius?” Dengan anggukan pasti, Laskar berceletuk, “Saya gak pernah seyakin ini sebelumnya.” Helaan napas lolos dari bibir Bu Indah. Bu Indah memperbaiki letak kacamatanya lalu menatap Rhea. “Rhea, silakan duduk.” Sambil berucap terima kasih, Rhea duduk di satu-satunya kursi yang kosong di sana sambil melirik cowok di sampingnya bingung. Bukannya dia cowok yang di rooftop? Batin Rhea menerka-nerka. Namun saat sedang memerhatikan, cowok itu malah menatapnya sambil menaikkan satu alisnya. Seakan bertanya, apa-lo? Bu Indah berdeham, seakan ingin menarik perhatian kedua pelajar tersebut. “Rhea, ada yang ingin Ibu bicarakan.” “Baik Bu.” sahut Rhea yang berusaha memfokuskan dirinya pada Bu Indah. Walau di sudut matanya bisa menangkap jika cowok di sampingnya itu masih menatapnya intens. “Sebenarnya ini tidak ada urusannya dengan sekolah dan kamu bisa menolaknya. Saya memang menaruh harapan pada kamu tentang ini.” Mendengar guru tersebut masih berbasa-basi, dengan tidak sabaran Laskar menyela, “Mulai sekarang, lo harus jadi tutor gue.” Sontak Rhea menoleh kaget mendengar hal itu. Berbeda dengan Bu Indah yang malah menghela napas lalu memijit pelipisnya karena pusing mendengar ucapan frontal dari anak didiknya itu. “Ma-maksud lo apa?” tanya Rhea. Sebenarnya dia mengerti akan maksud perkataan cowok itu, namun Rhea ingin memastikan jika pemikirannya benar. “Lo. Jadi. Tutor. Gue. Masih kurang jelas?” Kening Rhea mengerut mendengar perkataan ulang yang dilakukan cowok itu. Apa lagi di setiap katanya diberi penekanan. “Tapi kenapa gue?” Laskar tersenyum miring sambil melirik Bu Indah yang seakan tak ingin masuk dalam obrolan keduanya. “Karena itu lo.” jawab Laskar yang malah membuat Rhea semakin mengernyit bingung. Seolah tak ingin diberi pertanyaan lagi, Saka berdiri sambil menatap Bu Indah. “Saya pamit.” katanya dan segera keluar dari sana. Meninggalkan Bu Indah dan Rhea yang menatap kepergiannya. Perlahan Rhea menatap Bu Indah, ingin bertanya lebih lanjut. “Cowok tadi... siapa Bu?” Menarik napas pelan, Bu Indah menjawab. “Laskar Damian Havier. Kelas XI-IPS 5. Punya buku catatan tersendiri di ruang BK karena sikapnya yang buruk. Laskar sering bolos saat pelajaran berlangsung. Selalu berkelahi walau bukan dia yang mencari masalah.” Dengan tatapan dalam, Bu Indah kembali menjelaskan. “Tapi dia baik kok. Tidak semua orang tahu kalau Saka sebenarnya kesepian. Dia tidak punya teman karena semua orang menghindarinya. Guru-guru bersikap acuh tak acuh padanya. Dan lagi, semua nilainya di bawah KKM.” “Kenapa siswa kayak gitu masih dipertahanin di sekolah ini?” Sebenarnya Rhea ingin menjaga jarak dengan cowok yang bernama Laskar itu. Namun rasa penasarannya akan Saka lebih besar. “Ada alasan yang tidak bisa saya beritahu.” Bu Indah tersenyum. “Jadi bagaimana keputusanmu, Rhea?” Rhea menaikkan satu alisnya. “Keputusan apa, Bu?” “Soal menjadi tutor bagi Laskar.” Sontak Rhea melebarkan matanya. Jika dia sedang meminum sesuatu sekarang, mungkin dia akan terbatuk-batuk karena tersedak. “K-kayaknya saya gak bisa.” cicitnya tak enak. Bu Indah mengangguk dengan senyuman tipis. “Baiklah. Saya menghargai keputusan kamu. Soal Laskar, saya yang akan mengatakan jika kamu menolak.” Mendengar itu Rhea menelan salivanya. Tenggorokannya terasa kering. Membahas Laskar membuatnya merinding setelah mengetahui sikapnya selama ini. Benar-benar cowok yang menakutkan. *** Motor ninja berwarna hitam itu berhenti di depan sebuah pekarangan rumah. Sang pengemudi melepaskan helmnya, menyugar rambutnya sekilas, lalu beranjak turun dari motornya. Sambil menenteng helmnya, Laskar melangkah masuk ke rumahnya sambil bersiul. Melihat sesosok wanita yang baru saja menuruni tangga, dengan cepat Saka mendekat sambil merentangkan tangannya. “Hello sweetheart,” ujarnya dengan senyuman jenaka. Sebuah toyoran berhasil membuat Laskar mengaduh dengan mimik wajah kesakitan. Walau itu hanyalah sebuah akting. “Kamu kenapa sih, sweetheart?” “Sweetheart, sweetheart. Ini mama kamu Laskar!” cetus wanita itu gemas. Laskar tertawa lalu merangkul sang mama untuk menuju sofa ruang keluarga yang tak jauh dari sana. “Gak pa-pa. Biar kalo di luar, orang-orang tahu kalau Mama itu miliknya Laskar.” jawabnya sambil menuntun Kinan duduk. Setelah itu, dia duduk di sebelah sang mama sambil menaruh helmnya di sampingnya. Kinan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Makanya cari pacar gih. Mama mau dapet menantu.” “Kalau Mama mau, Mama bisa jadi pacarnya Laskar— aduh!” pekik Laskar lagi saat Kinan mencubitnya keras. Tapi setelahnya, dia tertawa. “Ngawur ya kamu.” “Ya habis, baru pulang sekolah udah disuruh nyari pacar.” sungut Laskar seolah tak ingin disalahkan. “Udahlah. Mama males debat sama kamu.” Kinan beranjak pergi, meninggalkan Laskar yang hanya tersenyum guyon menatap kepergian Kinan. “Bye, sweetheart! Sampai jumpa di meja makan!” serunya dan segera berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Mengabaikan Kinan yang meliriknya tajam. Sesampainya di kamar, Laskar melepas jaket hitam yang melekat di badannya lalu melemparkannya ke atas ranjang. Dengan terburu-buru dia membuka ranselnya, mencari ponsel yang dia simpan di sana. Tetapi tujuannya teralihkan begitu mendapat sebuah kertas di ranselnya. Keningnya mengerut samar sambil mengambil kertas tersebut keluar. Dibukanya lipatan kertas tersebut dengan senyuman miring yang perlahan tercetak begitu melihat apa yang ada di selembar kertas tersebut. Sebuah sketsa wajah seorang gadis yang tadi dia gambar di kelas. Laskar terkekeh geli sambil melempar kertas tersebut ke atas meja. “Kebetulan yang lucu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD