KEHADIRANNYA yang tak pernah dianggap sudah menjadi keseharian bagi Rhea. Entah apa yang membuat orang lain tidak mengacuhkannya. Karena Rhea sendiri tidak merasa pernah berbuat salah pada siapa pun di sekolah ini.
Awalnya semua orang masih bersikap baik kepadanya. Namun perlahan, mereka menjauh. Rhea tidak tahu pasti kenapa hal itu bisa terjadi.
Tetapi yang pernah didengar Rhea, teman sekelasnya bergosip mengenai dirinya yang selalu menjadi pusat perhatian guru-guru. Bahkan di saat ulangan diadakan, guru-guru akan memindahkannya ke bangku depan agar yang lain tak dapat menyontek pekerjaannya.
Sebenarnya Rhea tidak pernah mengharapkan itu. Dia hanya berusaha agar nilainya selalu baik. Namun karena itu juga guru-guru memberi perhatian khusus terhadapnya.
Bahkan terkadang teman sekelasnya lebih sering menyinyirnya secara terang-terangan. Seperti, “Gak heran sih dipanggil mulu. Kan anak kesayangan guru.” atau, “Etdah. Berasa dia yang paling istimewa.”
Karena nyinyiran tersebut, Rhea mau tak mau menjadi sosok yang lebih pendiam. Kelas lain bahkan mengatainya sombong atau anti sosial.
Tapi... ya sudahlah. Mau bagaimana lagi? Toh yang penting orang tuanya tidak mengetahui hal ini.
Dan lagi, Rhea akan selalu tenang selama Gio bersamanya. Giovan Danu Ananta. Sosok lelaki yang sudah menemaninya selama empat tahun. Dan laki-laki yang selalu sabar berada di sisinya.
Bagi Rhea, Gio adalah anugerah yang telah Tuhan kirim agar dirinya selalu kuat menjalani hidup. Sosok yang lembut dan perhatian. Yang tidak akan pernah membuat Rhea menunggu. Yang tidak pernah bosan terhadapnya.
Seandainya Gio bersekolah di sini, mungkin Rhea tidak begitu merasa kesepian. Sayangnya, cowok itu mengenyam pendidikan di SMA Pancasila.
Belakangan ini Gio sibuk dengan kegiatan sekolahnya, begitu pula dengan dirinya. Sudah sebulan mereka tidak bertemu, membuat Rhea merindukan tatapan lembut cowok itu, walaupun mereka masih berada di kota yang sama.
Di SMA Pancasila, Gio baru saja menduduki jabatan sebagai Ketua OSIS. Belum lagi kegiatan ekskul yang dia tekuni yakni sepak bola. Dan yang lebih membuat Gio sibuk, sekolah mereka akan mengadakan pentas seni untuk memeriahkan acara ulang tahun almamater sekolah mereka.
Sedangkan Rhea sendiri, dia harus menyiapkan diri untuk mengikuti Olimpiade Fisika. Rhea juga mempunyai jadwal bimbingan belajar saat sore dari hari Senin hingga Jumat.
Dengan segala kesibukan yang dimiliki masing-masing, mana sempat mereka bertemu? Namun terkadang, Gio akan menelponnya di malam hari untuk mengetahui kabarnya.
Langkah Rhea terhenti saat seseorang keluar dari ruangan Bu Indah. Ketika seseorang itu menoleh, tatapan mereka bertemu. Dingin dan tajam. Begitu kesan tatapan itu bagi Rhea.
Sosok itu adalah Laskar. Di koridor yang sepi ini, Laskar menaikkan tudung jaketnya lalu memutuskan kontak mata mereka dan beranjak pergi menjauh, meninggalkan Rhea yang sedang mematung.
Mata Rhea mengerjap. “Dia kenapa?” gumamnya saat menyadari jika Laskar terlihat marah.
Mengedikkan bahu, Rhea kembali melangkah. Berharap semua hal yang menyangkut Laskar terlupakan.
Lagi pula, Laskar kan bukan siapa-siapanya. Buat apa dia memikirkan apa yang membuat aura Laskar terasa semenyeramkan itu.
Saat hendak melewati tangga yang menuju rooftop, mata Rhea lagi-lagi mendapati sosok Laskar yang sedang membuka pintu rooftop yang ternyata digembok.
Entah apa yang menarik untuk diperhatikan, lagi-lagi Rhea terhenti untuk menatap Laskar yang berusaha membuka gembok pintu tersebut.
Umpatan keluar dari mulut Laskar. Cowok itu menendang kasar pintu rooftop lalu berbalik. Dan untuk kedua kalinya di hari ini, pandangan mereka bertemu.
Tersentak kaget, Rhea segera berlari kecil menuju kantin yang menjadi tujuan utamanya keluar dari kelas.
Jantungnya berdegup kencang saat Laskar memergokinya yang tengah menatap cowok itu.
Sambil menuruni tangga menuju lantai satu, tak henti-hentinya Rhea menyumpah serapahi dirinya sendiri karena kelakuannya tadi.
Benar-benar memalukan!
Ramainya kantin langsung menyambutnya begitu dirinya masuk ke area tersebut. Aroma makanan menyeruak masuk ke indra penciumannya, membuat Rhea tak sabar untuk menyecap makanan kantin.
Setelah memesan dan membawa makanannya ke sebuah meja yang masih kosong, Rhea duduk seorang diri di sana. Meja yang ditempatinya ini berada di tengah-tengah kantin. Pantas saja orang-orang tidak ingin menempatinya.
Bukan karena ada rumor atau gosip apa pun mengenai meja tengah di kantin, namun siswa lainnya lebih memilih meja pojok agar lebih nyaman untuk bergosip maupun berbincang.
Dengan tenang Rhea menyantap pesanannya. Seblak dan es teh adalah makanan favoritnya selama di sekolah. Walau jelas papanya akan marah jika tahu dia memakan makanan ini.
Derit kursi terdengar di depannya. Riuhnya kantin seketika berubah hening seperti tak berpenghuni. Rhea yang penasaran mengalihkan perhatiannya dari seblak.
Jantung Rhea rasanya ingin copot saat melihat Laskar duduk di hadapannya sambil memegang sekaleng minuman soda. Masih dengan tudung jaket yang menutupi kepalanya.
“L-loh, Saka?” cicit Rhea gugup.
Terdengar bisikan di sekelilingnya. Rhea mengedarkan pandangannya. Ternyata yang ditakutinya benar. Banyak orang yang memusatkan perhatian mereka ke arahnya sambil berbisik-bisik. Ada juga yang memicingkan matanya iri.
BRAK!
“s**t, BERISIK.”
Dan kantin kembali hening begitu gebrakan meja diikuti suara horor Laskar terdengar.
Pandangan Laskar tertuju pada Rhea yang menunduk takut. Bahkan makanannya tidak disentuhnya lagi.
“Kenapa lo berhenti makan?” tanya Laskar datar.
Takut-takut, Rhea mendongak menatap Laskar hati-hati. “Gue udah kenyang.”
“Oke.” sahut Laskar lalu meminum minuman yang dibawanya.
Lagi-lagi Rhea mengamati Laskar dalam diam. Cowok itu sedang menatap ke arah kiri sambil sesekali menyesap minumannya.
“Lo... kenapa duduk di sini?” Rhea menggigit bibir bagian bawahnya. Berharap Laskar tidak tersinggung dengan pertanyaannya.
Laskar melirik Rhea. “Cuma tempat lo yang masih free.” jawabnya tak acuh sambil mengedikkan pundaknya.
Rhea kembali menunduk. Apa lagi bisikan-bisikan siswa maupun siswi yang ada di sana kembali terdengar.
Mendengar bel pertanda masuk berbunyi, Rhea segera bangkit dan pergi dari sana. Masa bodoh dengan reaksi Laskar saat ini. Yang terpenting, dia bisa menghirup udara dengan bebas secepat-cepatnya.
Dan sepertinya, kehidupan sekolah Rhea akan jauh lebih buruk sekarang.