“LO kenapa?”
Tak mendapat respons dari Rhea, Laskar mengguncang pundak cewek itu pelan. Apa lagi melihat genangan air yang ada di pelupuk matanya, siap tumpah jika cewek itu berkedip.
“L-laskar?”
“Hooh. Ini gue. Lo kenapa?” tanya Laskar lagi mulai panik saat air mata Rhea mengalir.
“Laskar... gu-gue takut,” cicitnya dengan isakan pelan. Laskar yang tidak tahu harus berbuat apa lagi menarik kepala Rhea agar bersandar pada dadanya sambil mengelus kepala cewek itu pelan.
“Ssttt.., gue ada di sini.” ujarnya menenangkan.
“Pria di belakang sana, d-dia ngikutin gue.”
Pengakuan Rhea itu membuat Laskar menatap ke depannya. Memang ada seorang pria yang tengah berjalan mendekat sambil menunduk. Namun gerak-geriknya tidak terlihat mencurigakan.
Semakin dekat, Laskar bisa melihat lebih jelas sosok pria itu. Pria itu menggunakan topi dengan headset yang menyumbat telinganya sambil berjalan menunduk.
Laskar terkekeh tanpa suara. Sepertinya Rhea terlalu paranoid. Dia kembali mengelus rambut halus Rhea.
“Gak ada yang harus lo takutin lagi. See? Dia udah gak ada.”
Mendengar tuturan Laskar, Rhea mengedarkan pandangannya lalu mundur beberapa langkah saat sadar posisinya. Dia menghapus air matanya dengan kepala yang menunduk dalam, sedikit malu akan kejadian tadi.
“Lo kenapa bisa di sini?” Laskar menaikkan satu alisnya, masih heran dengan hal yang satu ini.
Sebenarnya tadi dia sudah mengabaikan sosok yang dilihatnya di lampu merah. Namun ego mengalahkan kehendaknya. Laskar berbalik arah menuju tempat ini.
Dan apa yang Laskar tebak ternyata benar. Ini Rhea. Cewek penyendiri dan kalem yang baru pertama kali ditemui Laskar.
Rhea memiliki keunikannya sendiri. Entah dari mana, namun Laskar bisa melihatnya. Dia menarik. Sikap Rhea untuk menghindarinya bukan dibuat-buat seperti cewek pada umumnya. Sok jual mahal padahal ingin didekati.
Setelah lebih tenang, Rhea mendongak menatap Laskar yang masih menunggu jawaban. “Gue baru balik dari sekolah.”
“Di jam seperti ini?” tanya cowok itu sedikit tak percaya. Sesibuk itukah seorang Rhea Asianya?
Rhea menggigit bibir bagian bawahnya. Mempertimbangkan apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya pada Laskar.
“S-sebenarnya gue ketiduran di perpus.” ujar Rhea ragu dengan nada yang mengecil di akhir kalimat.
“Oh.” gumam Laskar membuat Rhea menatapnya kaget. Dia kira Laskar akan menertawakannya setelah pengakuannya itu.
“Lo gak dingin?”
“Hm?” Rhea mengerutkan kening. “Enggak sih.” katanya sambil mengusap lengannya.
Laskar mendengus lalu membuka jaketnya dan melemparkan benda itu ke arah Rhea, membuat gadis itu sontak menangkapnya kaget.
Ditatapnya pakaian Laskar dengan bingung. Ternyata bukan hanya dirinya yang masih mengenakan seragam, Laskar juga demikian. Namun sayangnya Rhea tidak berani mengutarakan pertanyaan kepada cowok itu.
“Gue anter pulang. Angin malam gak baik.” Laskar berjalan menghampiri motornya yang terparkir beberapa meter dari sana.
Mendengar itu Rhea terdiam. Apakah dia harus pulang bersama Laskar? Tapi mereka baru saja kenal. Dan Rhea tidak mungkin langsung menerima tawaran itu.
Rhea mengedarkan pandangannya. Namun jalan ini sangat sepi. Kendaraan pun hanya lewat sesekali. Memejamkan matanya sekilas sambil menarik napas, Rhea dengan ragu melangkah mendekati Laskar yang sudah naik ke motor ninjanya sambil menenteng jaket cowok itu.
“Naik cepet. Jadi cewek jalannya lama amat.” gerutu Laskar yang sudah memakai helm.
Pandangan Rhea beralih ke sesuatu yang menggantung di setir. Dia langsung mengulum bibirnya, menahan tawa yang hendak meledak.
Mengikuti arah pandang Rhea, Laskar langsung memutar bola matanya malas. “Emang cowok gak boleh belanja?” cetusnya kesal.
“H-hah?”
“Emang lucu ya kalau cowok belanja?” Lagi-lagi Laskar berceletuk, membuat Rhea sedikit merasa bersalah.
“Y-ya gitu.” Rhea mengedikkan pundaknya kaku. “Agak aneh aja sih. Kebanyakan cowok gak suka berbelanja.” cicitnya tak enak.
“Ada.” balas Laskar sewot. “Lo aja yang gak tahu.”
Mau tak mau Rhea mengangguk. Lebih baik dia iyain saja daripada cowok itu semakin kesal.
“Kenapa masih berdiri? Lo mau gue tinggal?”
Tersentak, Rhea mengenakan jaket yang masih ditentengnya dan segera menaiki motor Laskar. Setelah memberitahukan alamat rumahnya, Laskar langsung melajukan motornya.
Memerlukan waktu yang sedikit lama untuk sampai di rumahnya. Perlahan motor Laskar berhenti di depan sebuah pekarangan rumah bertingkat dua yang minimalis.
Laskar menaikkan kaca helmnya, lalu melirik Rhea yang sudah turun dari motornya.
“Ini rumah lo?”
“Iya.” jawab Rhea dengan anggukan.
Laskar langsung mengangguk. “Oke.” balasnya lalu menurunkan kaca helmnya, siap melajukan motornya meninggalkan tempat itu.
“L-laskar....” panggil Rhea pelan.
Lagi-lagi Laskar menoleh lalu kembali menaikkan kaca helmnya. “Kenapa lo? Salah rumah?”
Mendapati Rhea menggeleng, Laskar melepas helmnya sambil menatap cewek itu heran. “Terus?”
“Gue— ekhm. Ini tentang tawaran lo waktu itu.”
Kening Laskar semakin berkerut. “Yang mana?” tanyanya bingung.
“Soal gue tutor lo.” kata Rhea pelan.
Laskar menaikkan satu alisnya. “Oh, gue ingat. Terus ada masalah? Bukannya lo udah tolak?”
“I-iya sih....” Rhea meremas roknya. “Tapi kalau lo masih mau, gue bersedia.”
“Hah?” Laskar melongo mendengar itu.
Memberanikan dirinya, Rhea membalas tatapan Laskar. “Gue mau ngajarin lo.”
Setidaknya Rhea dapat membalas bantuan Laskar ini dengan menerima hal itu. Walau sebenarnya Rhea agak ragu dengan keputusannya ini.
“Kalau lo terima, lo bakal terus berurusan sama gue.”
“Gue tau.” balas Rhea cepat. “Tapi gue hanya bisa ajarin lo di hari Sabtu dan Minggu. Selain hari itu gue gak bisa.”
“Kalau itu yang lo mau, oke.”
“Gue cuma mau ngomong itu. Makasih.” Rhea berbalik dan melangkah masuk ke rumahnya.
Perlahan Laskar tersenyum lalu segera memakai helm dan menghidupkan motornya. Dia melajukan motornya di atas rata-rata dengan senyuman yang masih tercetak di bibirnya.
Keberuntungan macam apa ini? Apa karena Laskar sudah berbaik hati menuruti keinginan mamanya, sehingga Tuhan membalasnya dengan hal ini? Laskar melebarkan senyuman dibalik helmnya.
Kalau begitu, sering-seringlah Kinan menyuruhnya sehingga Laskar terus mendapat keberuntungan seperti ini.
Thank you, Mom. I love you.
Di saat yang bersamaan, Rhea baru saja membuka pintu rumah dan melangkah menuju kamar kalau saja Renata tidak menghentikan niatnya.
“Rhea? Kenapa kamu baru pulang, Nak?”
Rhea berbalik menatap Renata. “Tadi lagi pertemuan sama guru pembimbing, Mah.” alibi Rhea karena tak ingin Renata cemas.
“Gio yang antar kamu ya? Mama denger suara motor tadi.”
“Bu—”
“Yaudah cepat mandi pake air hangat. Papa bisa marah kalau liat kamu baru pulang sekarang. Terus turun untuk makan malam.” cetus Renata yang tanpa sengaja memotong jawaban yang hendak Rhea ungkapkan.
Namun mendengar itu, Rhea mengangguk pasrah dan segera menaiki tangga menuju kamar sambil memikirkan kejadian tadi.
Keputusannya ini tidak salah, kan?