Ayah Vs Putrinya

1005 Words
Suara bariton dari arah belakang Sinola sukses membuat bulu kuduk gadis itu merinding hebat disertai tubuh yang membeku di tempat. Suara tersebut juga sekaligus jawaban atas perubahan sikap sekretaris yang biasanya bercicit seumpama burung beo setiap pagi. "Jadi ini salah satu yang bikin kamu keenakan? Dengan jadiin sahabat sebagai asisten pribadi buat nutup-nutupin kelakuan gak bertanggungjawab kamu, hah?" tuduh Diego yang nyatanya sudah ada di dalam ruang meeting sedari tadi. "Ngg ... gak ko, Pa." Sinola berkilah sembari membalikkan tubuh menghadap sang papa, memasang senyuman manis yang dipaksakan. "Atreya." "Iya, Pak." "Apa selama ini kamu jadi tumbal Nola back up mem-back up dalam hal selain pekerjaan?" tegas Diego bertanya pada Atreya. "Tidak, Pak. Nola pemimpin yang baik, kok," jawab Atreya dibawah todongan sorot tajam duda tampan dan berotot alias ayah bosnya. Yang dikatakan Atreya memang tidak sepenuhnya salah. Sinola adalah gadis yang cukup giat dan pandai dalam memimpin perusahaan produk kosmetik tersebut. Hanya saja, Sinola memiliki kebiasaan buruk yakni minggu malam yang menjadi jadwal rutin clubing. Dampaknya, hari senin yang seharusnya menjadi hari tersibuk malah menjadi hari termalas untuk seorang Sinola. "Papa kecewa sama kamu." Diego menyemprot Sinola seraya memijat keningnya frustrasi lalu mulai menceramahi. "Pa, jangan dipukul rata, dong. Papa tau kebiasaan Nola di minggu malam, kan Nola berhak bahagia di hari libur." "Iya, tapi sekarang kamu adalah seorang pemimpin perusahaan, Nola. Apa susahnya clubing dipindah ke hari sabtu?" Tuhan, kenapa gue harus berada di tengah perdebatan ayah anak ini? Bisa keluar aja gak, ya gue? batin Atreya yang kini terjebak ada di tengah perdebatan sengit. Eh ... tapi gue gak keberatan deh liatin duda rasa Daddy. Pak Diego makin tua makin hawt! Namun, hasrat genit Atreya seketika mengambil alih sisi positif yakni kapan lagi memandang duda tampan berotot dari jarak dekat. Pria dengan pesona matang memang tipenya. "Gak bisa. Papa gak usah ganggu gugat hak aku, ya," protes Sinola lagi. "Papa gak akan ganggu kalau kamu kerjanya bener. Papa juga gak perlu laporan-laporan kayak gini di meja kerja." Diego menyinggung beberapa file laporan yang menumpuk di atas meja. "Papa tau Perusahaan yang kamu pimpin stagnan alias gak ada profit." "Lha! Ada kok. Emang 5 persen laba gak masuk hitungan, Pa?" Sinola semakin geram karena sang papa tidak menganggap 5% laba hasil usahanya sebagai pendapatan. Menurut Diego laporan rugi lebih banyak daripada keuntungan. "Papa ini lebih tau bisnis sebelum kamu." 'Tapi, Pa—" Kalimat Sinola terpaksa terjeda kala Diego menyodorkan jari telunjuk dengan tegas dan berkata, "Papa udah putuskan kalau kamu harus ada yang mentorin." "Lho, lho ... kok jadi gini sih?" "Papa mau terbaik buat perusahaan dan juga kamu." "Nola gak butuh mentor!" "Keputusan bukan di tangan kamu." "Papa udah janji kasih Cosme ke aku, kenapa sekarang malah ngatur?" "Betul. Asal sesuai perjanjian kalau kamu bisa ngurus dan mendatangkan profit. Tapi mana? dua tahun posisi CEO, Cosme malah kalah sama produk lain." Diego bersikeras seolah tak menghargai kerja keras putrinya saat ini. "Ya, manusia butuh proses, Pa." "Pokoknya papa gak mau tau. Dimentorin atau kamu mundur dari Cosme dan hidup pas-pasan." Sial! Pilihan sulit ini mah, Sinola membatin pasrah setelah di skakmat Diego "Mentor kamu akan datang besok." Tanpa penjelasan lagi, Diego pun segera berlalu setelah mengultimatum Sinola. "Pa! Papa!" Astaga! mana bisa gue hidup pas-pasan. Mana Cosme satu-satunya kenangan dari mama. Sepeneninggalan Diego, Atreya segera menenangkan bos sekaligus sahabatnya itu. "Sabar, ya, La." BRUAK! Sinola menggebrak meja secara tiba-tiba. "Kaget woy!" protes Atreya spontan. "Ngeselin lama-lama tuh bokap." Sinola masih tak terima dan misuh-misuh di depan Atreya sementara sang sekretaris kerap berusaha menenangkannya. "Mungkin bokap lo butuh seseorang spesial kali, La. Doi ngegas mulu bawaanya," duga Atreya seraya bergumam dalam hati bahwa ia tidak keberatan jadi mama tiri Sinola jika mungkin Diego memilihnya. "Jangan ngayal jadi mama tiri gue lho, ya." "Astaga, lo cenayang, ya?" Netra Atreya terkejut bukan main karena Sinola seolah bisa membaca pikirannya. "Gak, cuma dari ekspresi lo udah ketebak. Bokap gue kan tipe lo banget." "Dih, cuma nge-fans doang, kok," kilah Atreya canggung, memasang nyengir kuda "Whatever. Yang jelas bokap gak suka ama anak kemaren sore." "Eits, umur mah cuma angka, Beb," timpal Atreya berlagak genit. Seiras itu, Sinola bergidik merinding imbas melihat aksi sahabatnya barusan. "Dah ah, lupain topik bokap gue. Sekarang ada ancaman yang lebih serius. Masalah si mentor yang bakal ganggu ketenangan gue. "Bener, si. Eh, tapi kalau ganteng mah gak apa-apa kali, La." "Ish, Treya. Pikiran lo cowo terus. Gue gak peduli, ya. Awas aja kalau macem-macem, si mentor bakalan gue ... Hih!" Sinola memperagakan gerakan tangan memukul ke udara. Sementara itu, di belahan dunia lain. Lebih tepatnya, Bandara International Perancis. "Uhuk ... uhuk!" "Kamu kenapa?" Wanita bernama Tesa Jenifer terlihat khawatir seraya menepuk belakang pria yang tersedak dadakan di hadapannya. "Gak tau, nih. Padahal aku konsen minum kopinya." Apa ada yang ngomongin, ya? Batin sang pria dalam hati. "Kamu sakit kali? Apa sebaiknya gak di tunda aja ke tanah air?" saran Tesa yang sebenarnya berat melepaskan kepergian si pria. Aku masih belum mau pisah sama kamu, Ben "Maafin aku, Tes. Aku udah janji sama Diego," tutur Benjamin tak enak hati. "Buat mentorin anak manjanya itu?" Ekspresi Tesa seketika masam ketika menyingung putri Diego. "Diego butuh bantuan aku, Tes. Aku bisa sampai sekarang karena bantuan Diego." "Iya tau. Tapi emang harus kamu? Kenapa kamu gak nolak, si?" "Tesa, please! Kamu janji gak bakal bahas lagi urusan aku sama Diego." Tesa pun terdiam. Ia takut Ben risih karena bersikap berlebihan. Awas, ya. Aku gak akan tinggal diam kalau si anak ingusan itu nyusahin kamu. "Tapi aku jadi sendiri disini, Ben," tutur Tesa masih berupaya membujuk, memasang jurus ala puppy eyes. "Ya ampun, aku cuma sebentar aja, Tes." "Tiga bulan lama." GREB! Sosok tampan nan gagah bernama Benjamin Miller secara tak terduga memeluk Tesa yang sontak memunculkan rona merah di kedua pipi sang puan. "Tiga Bulan sebentar. Jaga kesehatan, ya. Pesawat aku udah mau boarding." Benjamin lantas melepaskan pelukannya dan melenggang pergi sesaat setelah berpamitan singkat. "Pokoknya kalau selesai projek, aku nyusul kamu ke tanah air, Ben," gerutu Tesa dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD