Di sebuah sudut, Zumena memanggil seorang staf. “Raka, bisakah kamu tunjukkan Pak Jafran area dapur dan bagaimana kami menyiapkan makanan bagi penghuni?”
Seorang pemuda muda muncul, dan Jafran mengikuti mereka. Di dapur, aroma masakan sederhana tapi menggugah selera memenuhi ruangan. Staf bekerja dengan ritme cepat namun penuh perhatian. Jafran menatap Zumena, yang kini sibuk mengawasi proses masak, berbicara ringan dengan staf, namun tetap memperhatikan setiap gerakan.
“Ini … menakjubkan,” gumam Jafran. “Kamu … benar-benar terlibat penuh di sini.”
Zumena tersenyum tipis. “Aku percaya bahwa orang bisa belajar dari pengalaman hidup. Dan aku ingin memberi mereka kesempatan untuk merasakan kehidupan yang layak, meski di usia senja.”
Jafran menghela napas panjang, menatap mata Zumena. Ada rasa kagum, bahkan kekaguman yang mulai bercampur dengan … ketertarikan yang perlahan berubah menjadi rasa ingin lebih dekat. “Aku … menghormati itu. Sungguh.”
Mereka kemudian duduk sebentar di ruang kecil di dekat taman panti, ditemani secangkir teh hangat. Zumena menceritakan pengalamannya, mulai dari alasan mendirikan yayasan, kesulitan yang dihadapi, hingga kepuasan melihat penghuni tersenyum dan merasa dihargai.
Jafran mendengarkan dengan seksama. Setiap kata yang keluar dari mulut Zumena terasa tulus, hangat, dan penuh perasaan. Ia sadar betapa jarang menemukan seseorang yang tidak hanya menawan secara fisik, tapi juga menawan hatinya.
Ketika Zumena menoleh, tatapan mereka bertemu. Ada keheningan yang nyaman, tapi juga ada ketegangan halus, seperti getaran listrik yang tak terlihat. Jafran merasakan jantungnya berdebar, napasnya sedikit tertahan. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata terasa berat.
“Jafran … kamu senang bisa datang hari ini?” tanya Zumena, suaranya lembut namun tegas.
Jafran tersenyum tipis, menatap ke arah taman sebentar sebelum kembali menatap Zumena. “Lebih dari yang bisa ku ungkapkan. Aku … kagum padamu, Zumena. Bukan hanya karena apa yang kamu lakukan di sini … tapi karena cara kamu menjadi dirimu sendiri.”
Zumena menunduk sebentar, tersenyum tipis. “Terima kasih … itu berarti lebih dari yang bisa aku utarakan.”
Ada jeda singkat, di mana keduanya hanya duduk, menikmati teh, dan merasakan udara pagi yang lembut masuk melalui jendela. Tanpa sadar, Jafran merasakan dorongan untuk … lebih dekat, untuk mengenal Zumena lebih jauh, bukan sekadar dari kata-kata tapi dari hati.
Ia tersenyum tipis, menatap Zumena. “Aku ingin … lebih sering melihatmu. Mengetahui lebih banyak tentang dunia yang kamu jalani. Jika kamu izinkan, tentu saja.”
Zumena menatapnya dengan mata cokelat yang dalam, ada kilatan misterius yang tak bisa dibaca sepenuhnya. “Aku … senang kamu tertarik, Jafran. Tapi kamu harus tahu … dunia ini kadang tidak seindah yang terlihat,” Zumena melanjutkan, suaranya lembut tapi tegas. “Ada sisi yang gelap, ada orang-orang yang terlupakan, dan terkadang hatiku sendiri pun merasa berat memikul tanggung jawab ini.”
Jafran menatapnya, hatinya ikut bergetar. Ia menyadari bahwa di balik senyum tipis dan aura anggunnya, Zumena menyimpan beban yang tak semua orang mampu pahami. “Aku mengerti … dan aku menghargai keberanianmu. Kamu melakukan sesuatu yang luar biasa,” katanya pelan.
Zumena menoleh, menatap mata Jafran lebih lama dari sebelumnya. Ada kehangatan yang menyebar ke dalam diri Jafran, dan untuk pertama kalinya, ia merasa tak hanya kagum, tapi … tertarik untuk memahami semua sisi Zumena, termasuk yang tersembunyi.
Mereka berdua duduk diam beberapa saat, menikmati udara pagi yang lembut. Jafran menyadari satu hal penting: ia ingin berada di sisi Zumena, melihat dunia dari perspektifnya, bahkan jika itu berarti masuk ke dalam kesulitan dan tanggung jawab yang ia jalani.
Zumena tersenyum tipis, seakan menangkap pikiran Jafran. “Terima kasih sudah mau datang hari ini. Aku … senang kamu di sini, Jafran.”
Jafran membalas senyum itu, hatinya hangat. “Aku … senang berada di sini. Dan aku ingin lebih banyak melihat … lebih banyak belajar.”
Momen itu terasa sederhana tapi penting. Bukan sekadar kunjungan panti jompo, tapi awal dari sesuatu yang lebih. Sebuah hubungan yang perlahan mulai menembus ketegangan, misteri, dan rasa kagum yang menyelimuti Jafran sejak pertemuan pertama mereka.
Saat mereka bersiap meninggalkan panti, Zumena menepuk bahu Jafran ringan. “Aku harap … ini bukan kunjungan terakhirmu.”
Jafran tersenyum, matanya menatap Zumena dengan penuh arti. “Aku pikir… ini baru awal. Aku ingin melihat lebih banyak, belajar lebih banyak, dan … mengenalmu lebih dekat.”
Zumena menunduk sebentar, tersenyum tipis. Ada kilatan misterius di matanya yang membuat Jafran semakin penasaran. “Kamu … berani mengatakannya, Jafran.”
“Bukan keberanian, Zumena,” jawab Jafran dengan senyum ringan. “Hanya … rasa ingin tahu yang tak bisa ku tahan.”
Dan untuk pertama kalinya, dalam beberapa hari terakhir yang penuh dengan ketegangan dan rasa penasaran, Jafran merasa lega. Ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka—rasa kagum, ketertarikan, dan ketulusan yang perlahan menembus hati masing-masing.
***
Perjalanan pulang terasa berbeda dari biasanya. Udara malam yang lembut di luar jendela mobil seakan tak berpengaruh pada ketegangan di dalam kabin. Zumena duduk di samping Jafran, senyum tipisnya menyembunyikan sesuatu, sementara mata mereka yang saling bertemu membuat jantung keduanya berdetak lebih cepat.
Jafran menepikan mobil di sebuah titik tinggi yang menghadap kota. Lampu-lampu kota berkelap-kelip di bawah, menciptakan pemandangan yang menenangkan namun dramatis. Angin malam masuk sedikit dari jendela yang terbuka, membawa aroma segar, tapi di dalam kabin, panas mereka sendiri tetap terasa membara.
“Pemandangan ini … cantik, ya,” bisik Zumena, mencoba menenangkan diri.
Jafran tersenyum tipis, matanya menatapnya dengan intens. “Indah, tapi … kamu yang membuat malam ini … terasa panas,” jawabnya, suaranya serak dan penuh arti.
Tangan Jafran bergeser ke paha Zumena, sentuhan ringan namun memancing desahan tipis dari bibirnya. Zumena menahan napas, tubuhnya sudah mulai bereaksi.
“Ahhh … kamu berani?” bisiknya, suara serak.
“Kenapa tidak,” balas Jafran, senyumnya tipis. Ia mencondongkan tubuh, bibirnya hampir menyentuh telinga Zumena.
Detik berikutnya, bibir mereka bertemu. Ciuman pertama lembut, tapi cepat berubah liar. Lidah mereka saling menjelajah, tangan mulai menjelajah, meraba lengan, punggung, dan pinggang. Zumena menekankan tubuhnya ke d**a Jafran, merasakan detak jantungnya yang cepat, napas yang berpadu dengan miliknya.
Jafran menatap Zumena sebentar, matanya tajam namun penuh gairah. Dengan satu tangan, ia menahan pinggangnya, perlahan menarik rok mini yang menempel di pahanya hingga ke pinggang. Zumena menahan napas, tubuhnya bergetar saat kain tipis itu terangkat sedikit, memperlihatkan kulit halus di paha dan garis pinggangnya.
Tangan Jafran berpindah ke kancing blus putihnya, satu per satu ia membuka dengan gerakan lambat, membuat jantung Zumena nyaris berhenti. Saat kancing terakhir terlepas, blus itu terbuka, memperlihatkan bra hitam berenda yang menempel di kulitnya. Zumena menutup bibir, menahan desah yang hampir pecah, sementara tubuhnya menempel lebih erat ke Jafran.