Jejak Hati di Pantai Jompo.

1223 Words
Keesokan paginya, Jafran menyalakan mobilnya tepat waktu. Ia sengaja datang sedikit lebih awal, memeriksa kembali jas dan rambutnya, memastikan tampil rapi tapi santai. Ia tidak ingin terlihat terlalu formal, namun juga tidak ingin mengesankan kesan santai berlebihan. Tak lama kemudian, Zumena keluar dari apartemennya. Pakaian sederhana namun elegan, rambut tergerai rapi di pundaknya, wajahnya memancarkan ketenangan. Jafran menahan napas sejenak—wanita ini memang selalu berhasil membuatnya terguncang, tanpa harus melakukan apa pun. “Selamat pagi, Jafran,” sapa Zumena dengan senyum hangat, namun sopan. Jafran tersenyum, membuka pintu mobil untuknya. “Pagi, Zumena. Terlihat segar hari ini,” jawabnya ringan. Ada nada humor tipis yang sengaja ia sematkan untuk mencairkan suasana. Zumena mengangguk, senyum tipis tetap terukir. “Aku berharap perjalanan ini tidak membuatmu terlalu bosan.” “Bosan? Aku pikir … ini akan sangat berbeda. Aku penasaran, dan aku senang bisa ikut,” kata Jafran sambil masuk ke mobil, menutup pintu di belakangnya. Awalnya, suasana terasa canggung. Kedua orang ini duduk bersebelahan, tapi jarak antara mereka terasa seperti jurang kecil yang tak terlihat. Zumena menatap jalan. Jafran menatapnya sebentar, lalu menoleh ke depan, mencoba menyusun kata-kata untuk mencairkan suasana. “Jadi … apakah ini pertama kalinya kamu mengundang seseorang seperti aku?” tanya Jafran ringan, nada suaranya mengambang antara serius dan menggoda. Zumena tersenyum tipis, menoleh sebentar padanya. “Aku biasanya mengajak staf atau teman dekat yang ku percaya. Tapi … aku rasa kamu pantas melihatnya sendiri.” Jafran mengangkat alis, sedikit mengejek, tapi matanya tak kehilangan fokus. “Pantaskah aku? Aku hanya seorang … pengusaha yang sibuk dengan dunia bisnis dan urusan sendiri.” Zumena menatapnya, ada nada menantang di matanya. “Kadang orang yang sibuk justru bisa melihat yang tak terlihat oleh orang lain. Aku ingin kamu melihat sisi dunia yang sering diabaikan orang.” Jafran tersenyum, merasakan detak jantungnya sedikit meningkat. “Aku tertantang,” jawabnya singkat, mencoba menambahkan nada santai. Perjalanan menuju yayasan itu memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Jafran mengemudi dengan santai, tapi sesekali menatap Zumena dari samping. Ia memperhatikan gerak-geriknya: cara ia menunduk saat menyesuaikan tasnya, senyum tipis yang muncul sesekali, dan tatapan mata yang selalu meneliti jalan, meskipun ia tampak tenang. “Jafran … apakah kamu selalu tertarik pada hal-hal yang … berbeda dari biasanya?” tanya Zumena tiba-tiba. Jafran tersentak sebentar, lalu menoleh. “Tergantung apa maksudmu dengan berbeda.” Zumena menatap ke jendela, suara lembut. “Aku maksudkan … hal-hal yang mungkin tidak semua orang pedulikan. Seperti mereka yang ada di yayasan ini.” Jafran tersenyum tipis. “Kalau begitu … aku pasti akan tertarik. Dunia yang tak terlihat sering lebih menarik daripada dunia yang terlalu terang.” Zumena menoleh sebentar padanya, menatap mata Jafran dengan serius tapi hangat. “Aku senang kamu melihatnya seperti itu. Itu … membuatku lega.” Mereka berdua tersenyum tipis, dan untuk sesaat, canggung itu sedikit mencair. Jafran menyalakan musik ringan dari mobil, nada jazz lembut memenuhi ruang kecil di dalam mobil. Zumena mengangguk ringan, seolah menikmati momen yang sederhana tapi berarti. Jafran menatap jalan raya dari jendela mobilnya, tangannya menepuk setir tanpa sadar. Pikirannya masih kacau oleh semua yang terjadi di lounge hotel beberapa hari sebelumnya—tatapan mata Zumena, senyum tipis yang misterius, dan cara wanita itu menatapnya seolah ingin menyimpan rahasia yang hanya bisa ia pecahkan. Ia menarik napas panjang ketika mobil berhenti di depan sebuah bangunan sederhana dengan cat krem yang hangat dan taman kecil di halaman. Plang kecil di depannya bertuliskan “Yayasan Panti Jompo Sanders – Tempat Kehangatan & Harapan”. “Ini … tempat yang kamu maksudkan?” Jafran bertanya sambil menatap Zumena yang duduk di kursi penumpang. Zumena tersenyum tipis, rambutnya tertiup angin pagi. “Ya. Aku ingin kamu melihat … bagaimana aku menjalani sebagian hidupku. Aku … ingin kamu melihat sisi lain dari dunia yang biasanya tersembunyi.” Jafran mengamati wanita itu dengan seksama. Ada sesuatu di matanya—keteguhan, kelembutan, dan rasa tanggung jawab yang begitu nyata. “Kamu … sungguh berdedikasi,” katanya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Zumena menoleh, matanya bertemu tatapan Jafran. Ada kilatan ringan—entah itu canda atau tantangan. “Aku ingin kamu melihat sendiri, bukan sekadar mendengar ceritanya.” Jafran membuka pintu mobil untuk Zumena dengan gestur sopan dan halus. Zumena tersenyum tipis, sedikit terkejut oleh perhatian itu, namun tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Ada sesuatu dalam cara Jafran bergerak—tenang, percaya diri, namun tetap memperlihatkan kesopanan—membuatnya merasa … nyaman dan ingin mendekat, tapi sekaligus tetap menjaga jarak yang jelas. Begitu mereka masuk ke dalam, aroma hangat dan sedikit manis khas ruangan dengan bunga segar menyapa hidung Jafran. Suara tawa dan obrolan ringan terdengar dari ruang aktivitas, di mana beberapa penghuni panti tampak sedang duduk sambil bermain kartu dan mengobrol. Zumena berjalan pelan, tapi setiap langkahnya penuh perhatian pada penghuni panti. “Selamat pagi, Pak Jafran. Selamat datang,” sapa seorang wanita paruh baya, terlihat sebagai kepala staf. Jafran mengangguk, “Terima kasih. Senang bisa datang.” Zumena menggerakkan tangannya memberi isyarat agar mereka melangkah ke area utama panti. “Aku ingin kamu melihat langsung bagaimana kehidupan di sini. Ini bukan sekadar tempat tinggal, tapi juga rumah bagi banyak jiwa yang sering terlupakan.” Jafran memperhatikan setiap detail—ruang aktivitas yang hangat, rak buku sederhana yang tertata rapi, lukisan anak-anak panti yang ditempel di dinding, dan kursi roda yang terparkir rapi. Ada rasa damai yang aneh di hatinya, walau dunia luar terasa penuh hiruk-pikuk. Seorang kakek yang duduk di kursi goyang tersenyum ketika Zumena mendekat. “Selamat pagi, Nak Mena,” katanya dengan suara serak tapi hangat. Zumena membalas dengan senyum lembut. “Selamat pagi, Pak Andi. Bagaimana tidurmu semalam?” Kakek itu tertawa ringan. “Lebih baik sejak ada dirimu, Nak. Kamu selalu membawa energi positif ke sini.” Jafran menatap interaksi itu. Cara Zumena berbicara, cara ia menundukkan kepala sedikit saat mendengarkan, dan senyum hangatnya … membuatnya merasa kagum. Ini bukan hanya tentang paras cantik atau aura misteriusnya—ini tentang kebaikan yang nyata, yang bisa dirasakan orang lain. “Dia … luar biasa,” gumam Jafran pelan, hampir tidak terdengar. Zumena menoleh sebentar ke arahnya, menatapnya dengan mata cokelat gelap yang menembus. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat jantung Jafran berdetak lebih cepat. “Apa yang kamu katakan?” tanyanya ringan, tersenyum tipis. Jafran menggeleng, menelan kata-kata. “Tidak … hanya aku … terkesan,” jawabnya sambil tersenyum tipis. Mereka melanjutkan perjalanan ke ruang kegiatan, di mana beberapa penghuni sedang melakukan latihan ringan dan kerajinan tangan. Zumena memperkenalkan Jafran ke seorang nenek yang sedang merajut. “Ini Nenek Lestari. Ia tinggal di sini sejak tahun lalu. Salah satu tangan paling cekatan yang pernah kulihat,” katanya. Jafran menunduk memberi salam hormat. “Senang bertemu denganmu, Nenek Lestari,” ucapnya tulus. Nenek itu tersenyum lebar. “Senang bertemu, Nak. Kamu pasti teman baik Mena, ya?” Jafran tersenyum canggung. “Begitulah … semoga begitu.” Zumena menepuk lengan Jafran sebentar, seperti mengingatkannya untuk tetap santai. “Lihat, mereka bukan hanya penghuni. Mereka punya cerita, mimpi, dan harapan. Mereka layak mendapatkan perhatian dan cinta.” Jafran mengangguk perlahan, menyadari sesuatu: Zumena tidak hanya cantik dan anggun, tapi juga memiliki hati yang besar. Ada integritas dan ketulusan di dalamnya yang membuatnya … tertarik dengan cara yang berbeda. Ini bukan sekadar ketertarikan fisik. Ia merasa tertarik secara emosional, psikologis, dan … bahkan moral.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD