Bayangan yang Mengganggu.

980 Words
Pesan balasan datang beberapa menit kemudian. Zumena menulis singkat, sopan, tapi ada nada ringan yang membuat jantung Jafran berdetak lebih cepat: "Selamat pagi juga, Jafran. Aku akan simpan nomer kamu. Semoga kita bisa ngobrol lebih banyak lain waktu." Jafran menatap layar ponsel, tersenyum tipis. Nada pesan itu sederhana, tapi cukup untuk menyalakan api rasa ingin tahu yang semakin menguat. Ia tidak bisa menghapus senyum itu dari wajahnya, bahkan ketika ia mencoba mengalihkan perhatian pada laporan keuangan. Angka-angka di layar terasa tak berarti. Ia menatap grafik pertumbuhan pendapatan perusahaan, tapi semuanya tampak kabur. Kepala rapat yang biasanya ia pimpin dengan tegas hari ini terasa jauh, seperti semua suara hanya gema dari kejauhan. Hanya satu hal yang memenuhi pikirannya: Zumena. Ia meraih cangkir kopi, menyesapnya dengan perlahan, tapi rasanya hambar. Setiap tegukan terasa seperti ritual kosong—usaha kecil untuk menenangkan diri. Namun pikiran tentang Zumena terlalu kuat. Ia membayangkan mata cokelat gelap itu menatapnya, dan ia merasa seperti ditelanjangi tanpa busana—hanya oleh tatapan sederhana. Jam dinding berjalan lambat, namun waktu terasa berlari. Rapat pagi itu, yang biasanya menjadi arena Jafran menunjukkan kemampuan analisis dan kepemimpinannya, kali ini menjadi ajang siksaan. Setiap kata yang diucapkan rekan-rekannya terdengar jauh, dan ia hanya mengangguk tanpa benar-benar menyimak. Ia mencoba menenangkan diri dengan cara lama: menghitung angka, menganalisis laporan, menandai koreksi. Tapi setiap kali ia mengalihkan pandangan, bayangan Zumena muncul lagi. Ia melihat bayangan senyum tipisnya di layar komputer, mendengar gema suara lembutnya saat meneguk teh, dan merasakan sensasi hangat yang aneh di dadanya. Seorang rekan dari divisi lain mengetuk pintu ruangannya. “Pak Jafran, ada klien yang ingin bertemu Anda sebentar.” Jafran menatap jam tangan, menyadari bahwa waktu terus berjalan sementara ia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia menepuk meja dengan frustrasi, lalu berdiri. “Baik, suruh masuk. Aku akan menemui mereka sebentar.” Namun di koridor menuju ruang klien, pikirannya tetap sama: Zumena. Ia mencoba mengingat detail percakapan mereka, nada suara, gerakan tangan yang anggun, cara dia mencondongkan tubuh ketika berbicara. Semua itu seolah membakar ruang di dalam pikirannya, membuatnya semakin sulit untuk fokus. “Kenapa wanita ini bisa begitu kuat meninggalkan jejak di kepalaku?” gumamnya pelan. Ia merasakan detak jantungnya meningkat, bukan karena takut atau cemas, tapi karena ketertarikan yang aneh, tak bisa dijelaskan. Saat kembali ke mejanya, Jafran menemukan ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Zumena lagi. Kali ini lebih panjang: "Kalau ada waktu, kita bisa bertemu di tempat lain." Jafran membaca pesan itu berulang kali. Ada kehangatan dan rasa ringan yang terasa di setiap kata. Dan tanpa sadar, senyumnya melebar, meski ia berada di tengah kantor yang sibuk. Ia menaruh ponsel, menatap dokumen di depannya, mencoba kembali fokus. Namun layar putih dokumen terasa seperti kertas kosong dibandingkan warna yang dibawa pesan itu ke pikirannya. Zumena Sanders, seorang wanita yang hanya ia temui dua kali dalam hidupnya, berhasil mengubah seluruh dunia mentalnya. Ia menatap keluar jendela, menatap kota yang ramai di bawah, mencoba menarik napas panjang. “Ini… gila. Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di hidupnya. Dia bisa saja sudah menikah, punya rahasia, atau apapun … tapi aku … aku tidak bisa berhenti memikirkannya,” bisiknya sendiri. Pikiran Jafran terus melayang ke momen di lounge hotel ketika Zumena tertawa tipis, mengangkat alis sambil meneguk teh. Ada aura misterius yang tak bisa ia jelaskan, kombinasi kesopanan, wibawa, dan kerentanan yang membuatnya ingin melindungi, ingin mengenal lebih dekat, ingin … memilikinya. Tapi ada peringatan di dalam dirinya: pengalaman masa lalu dengan Gina membuatnya sadar betapa berbahayanya jatuh pada wanita yang sulit dijangkau, atau wanita yang bisa membawa dirinya ke jalan terlarang. Ia menggigit bibir, merasakan sensasi panas di d**a, dan sadar bahwa ia tengah memasuki wilayah yang sama berbahayanya. Ia menatap jam, menyadari bahwa waktu rapat hampir tiba. Rekan-rekannya mulai memasuki ruang konferensi, menatapnya dengan harapan dan ekspektasi. Jafran menghela napas panjang, menarik blazer, dan berjalan ke ruang rapat. Tapi meski ia berbicara, memimpin diskusi, memberikan perintah dan analisis, pikirannya tetap di Zumena—tatapan mata, senyum tipis, dan kata-kata ringan yang terus berulang di benaknya. Setelah rapat selesai, Jafran kembali ke mejanya, duduk dengan tegap. Ia menatap ponsel, dan meski belum membalas pesan Zumena, hatinya terasa lebih hangat. Ada dorongan kuat untuk mengetahui lebih banyak, untuk mendekat, untuk mengerti siapa wanita itu—meski ia tidak tahu risiko yang menanti. Hari itu berlanjut, namun untuk Jafran, dunia di kantor terasa seperti latar belakang sementara. Semua fokus, semua perhatian, bahkan semua tugas penting menjadi kabur. Satu hal yang nyata dan jelas: Zumena Sanders telah mencuri pikirannya, dan ia sadar—ini baru permulaan. Jafran menatap layar jendela kantor, menatap kota yang terus bergerak di bawahnya, dan tersenyum tipis. Ada rasa penasaran yang terus menggerogoti pikirannya. Zumena Sanders—wanita misterius yang memiliki aura yang berbeda, campuran antara ketenangan, wibawa, dan sesuatu yang … memikat, hampir memabukkan. “Aku akan menemukan cara untuk mengenalmu lebih dekat, Zumena. Entah bagaimana, entah kapan … aku harus tahu semuanya.” Tiba-tiba, ponsel Jafran bergetar di meja. Bunyi notifikasi masuk memecah kesunyian ruangannya. Ia mengangkat telepon dengan sedikit rasa penasaran, matanya langsung menangkap nama pengirim. Zumena Sanders Jafran menekan tombol pesan, membuka teks dengan jantung berdebar ringan: "Jafran, aku ingin mengundangmu ikut kunjungan sosial ke yayasan panti jompo yang ku kelola. Aku pikir kamu akan menemukan pengalaman berbeda dari biasanya. Bisa besok pagi?" Jafran menatap layar sebentar, senyum tipis tersungging di bibirnya. Ini bukan sekadar undangan biasa; ada nada yang membuat hatinya berdebar, seperti undangan itu bukan sekadar soal kegiatan sosial, tapi juga kesempatan untuk … lebih dekat dengan Zumena. Ia mengetik balasan singkat, padat, tapi tegas: "Oke. Aku akan ikut. Sampai jumpa besok pagi, Zumena." Pesan terkirim. Ia meletakkan ponsel dan tersandar di kursi, membiarkan pikirannya mengembara. Besok pagi, ia akan berada satu mobil dengan wanita itu, melihat sisi lain dari dunia yang selama ini hanya ia lihat dari permukaan—dan lebih penting lagi, ia akan melihat Zumena lebih dekat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD