Bayangan yang Mengintai.

1044 Words
Setelah satu malam yang tak terlupakan, Jafran dan Zumena perlahan merapikan diri. Napas mereka masih tersisa hangat, tubuh masih bergetar dengan sisa-sisa gairah. Zumena menata rambutnya, memperbaiki gaun hitamnya yang sedikit berantakan, sementara Jafran menyesuaikan kemeja dan jasnya. Semua dilakukan dengan gerakan cepat tapi tetap tenang, sadar akan kemungkinan ada orang lain di galeri, meski malam sudah larut. Zumena menatap cermin kecil di dinding restroom, menarik napas dalam. “Kita harus keluar sekarang sebelum ada yang curiga,” ucapnya pelan, suara masih bergetar karena ketegangan dan sisa panas malam tadi. Jafran mengangguk, matanya menatap Zumena sejenak. “Aku akan keluar duluan dan menunggu kamu di ujung lorong. Kamu keluar beberapa menit setelah aku, tapi jangan khawatir, aku memastikan semuanya aman,” katanya, nada suaranya rendah tapi menenangkan. Ia membuka pintu restroom perlahan dan melangkah keluar. Lorong galeri tampak sepi, lampu-lampu gantung memberikan cahaya hangat yang memantul di lantai kayu yang mengkilap. Jafran berjalan pelan, memperhatikan setiap sudut, memastikan tidak ada yang mencurigai. Namun, di ujung matanya, ia menangkap sebuah bayangan yang bergerak cepat di antara lukisan-lukisan—terlalu besar dan terlalu terkontrol untuk sekadar pengunjung biasa. Seseorang mengikuti, bayangan itu tetap tersembunyi namun terlihat jelas dalam pandangan Jafran yang tajam. Ia menahan napas, menurunkan suara, dan bergerak seolah biasa. Namun naluri keamanan yang selalu ia latih mulai bekerja. Bodyguard. Seseorang yang terlihat mengamati setiap langkahnya, tapi mencoba tetap berada di garis persepsi yang samar. Jafran berjalan ke ujung lorong, berpura-pura menatap sebuah lukisan abstrak dengan minat yang dramatis, tapi matanya tetap mengawasi bayangan itu. Ia tahu ini bukan kebetulan. Tidak ada yang mengikutinya tanpa alasan—apalagi di galeri sepi ini, di mana orang-orang biasanya menikmati karya seni tanpa terganggu. Sementara itu, Zumena tetap di dalam restroom, menenangkan napasnya dan memastikan pakaian rapi. Ia merasakan ketegangan yang sama saat menunggu Jafran keluar. Hatinya berdebar, bukan hanya karena apa yang baru saja terjadi, tapi ada sesuatu yang salah—sebuah intuisi samar yang membuatnya menahan diri sebelum melangkah keluar. Ia menatap dirinya sendiri di cermin, menarik napas panjang, dan menenangkan pikirannya. “Tenang, Mena … jangan panik,” bisiknya pada diri sendiri. Namun, ketika ia akhirnya membuka pintu restroom, ia melihat Jafran menunggu di ujung lorong. Wajahnya serius, matanya tajam mengamati setiap bayangan. Zumena melangkah perlahan, mencoba seolah santai, tapi nalurinya memberi sinyal: ada sesuatu yang mengikutinya. Jafran menyadari hal itu juga. Ia menoleh ke Zumena, tatapannya tajam tapi tenang. “Terus aja jalan, jangan berhenti. Aku di belakangmu,” bisiknya pelan. Zumena mengangguk, hatinya masih berdebar. Mereka berjalan bersama, langkah lambat tapi mantap, sadar setiap orang yang melihat mereka bisa menimbulkan pertanyaan, tapi juga sadar bahwa ada yang mengikuti mereka dari jauh. Bayangan itu tetap di belakang, tidak pernah mendekat terlalu jauh, tapi selalu cukup untuk membuat Jafran waspada. Setiap kali mereka menoleh samar, bayangan itu seolah menyatu dengan lampu dan lukisan, bergerak dengan presisi yang mengingatkan Jafran pada profesional. Mereka tiba di pintu keluar galeri. Jafran membuka pintu dengan hati-hati, menengok ke belakang beberapa kali. Zumena berjalan di sisinya, menenangkan diri, meski hatinya berdegup kencang. “Siapa dia?” Zumena akhirnya berbisik saat mereka mulai menuruni tangga ke parkiran. Suaranya lembut tapi tegang. Jafran menatap bayangan di kejauhan, seseorang yang tampak seperti bodyguard—postur besar, langkah mantap, tapi tidak menyerang. “Sepertinya … pengawal. Tidak jelas dari siapa, tapi aku tahu dia memperhatikan kita,” jawabnya, suara rendah dan tegang. Zumena menelan ludah, merasakan ketegangan yang naik ke tenggorokan. Tubuhnya masih hangat dari malam sebelumnya, tapi adrenalin sekarang bercampur dengan ketegangan baru. “Kenapa … kenapa dia ada di sini?” tanyanya, matanya menatap Jafran dengan campuran cemas dan penasaran. Jafran menggenggam tangannya sebentar, memberi rasa aman. “Tenang. Kita keluar dulu. Kita bisa bicara nanti. Tapi jangan panik. Fokus pada langkah kita,” ucapnya. Mereka terus berjalan, bayangan bodyguard tetap mengikuti dari kejauhan, bergerak seolah bagian dari dekorasi galeri. Jafran memeriksa sekeliling, mencari pintu keluar darurat yang lebih aman, sementara Zumena menahan napas, sadar bahwa malam mereka yang penuh gairah kini berubah menjadi malam ketegangan yang nyata. Saat akhirnya mereka mencapai parkiran, Jafran menyalakan mobil, memastikan mobil sudah aman sebelum Zumena masuk. Ia menoleh ke bayangan di kejauhan. Orang itu tetap berdiri di pintu galeri, menatap mereka, kemudian perlahan-lahan mundur dan menghilang di antara lampu-lampu jalan. Zumena duduk di kursi penumpang, tubuhnya masih gemetar sedikit. “Siapa dia sebenarnya?” tanyanya lagi, suaranya rendah. Jafran menyalakan mesin, mengatur kaca dan ventilasi mobil. “Aku tidak tahu pasti. Tapi ini … sepertinya bukan kebetulan. Ada sesuatu yang sedang dipantau, dan sepertinya … kita salah satunya,” jawabnya, matanya menatap jalanan yang mulai sepi. Zumena menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Malam tadi masih terasa panas di tubuhnya, tapi sekarang ketegangan baru membuatnya sadar: dunia yang selama ini ia jaga kini mulai mengintai dari sisi yang tak terduga. “Jafran … aku ….” Zumena berhenti, menelan kata-kata yang ingin ia ucapkan. Ada rasa takut, tapi juga rasa penasaran. Ia menoleh sebentar ke Jafran. “Aku merasa … kita tidak bisa lagi santai begitu saja. Sesuatu sedang mengamati kita.” Jafran menatapnya, memegang tangannya sebentar untuk memberi ketenangan. “Aku tahu. Tapi aku di sini. Tidak akan membiarkan siapa pun mengganggumu. Kita hadapi ini bersama,” ucapnya, suara rendah tapi tegas. Mobil mulai melaju, meninggalkan galeri di belakang mereka. Lampu jalan memantul di aspal basah, menciptakan bayangan panjang di dalam mobil. Zumena menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya merenung. Malam yang semula hanya tentang gairah kini berubah menjadi malam ketegangan, namun ada satu hal yang pasti: Jafran tetap di sisinya, dan itu memberinya rasa aman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Di kejauhan, bayangan bodyguard yang mengintai tetap diam, menunggu, seolah tahu bahwa malam ini baru permulaan. Mobil meluncur pelan di jalanan kota yang mulai sepi. Hujan semalam telah meninggalkan sisa aroma tanah basah dan udara yang segar. Zumena duduk di kursi penumpang, tubuhnya masih terasa hangat dari malam sebelumnya, namun ketegangan baru yang muncul dari bayangan yang mengikuti mereka di galeri masih terasa di kulitnya. Jafran memutar setir, matanya sesekali menoleh ke sisi Zumena, memastikan ia aman. Napasnya teratur, tapi ada kegelisahan samar yang tak bisa ia sembunyikan. “Mena … aku tidak suka rasa diikuti seperti tadi,” ucapnya pelan, matanya menatap jalan di depan tapi pikirannya jelas pada bayangan bodyguard tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD