"Mbak udah disini ternyata," ujar Nania saat keluar dari kamar inap mamanya dan bertemu dengan sang kakak yang baru saja datang.
Prisa mengangguk, "eh tadi mbak ketemu Gama di luar, dia kesini bareng kamu?"
Nania mengangguk, "maksa ikut sih sebenernya."
"Kamu kok gitu banget sama Gama? Kan dia cuma mau liat mama."
"Ya tapi emang nyusahin sebenernya mbak, bayangin aja aku yang tadinya udah sampai harus balik lagi karena motornya Gama mogok dan mesti bantuin dia dulu bawa motornya ke bengkel, baru deh barengan kesini."
Prisa tertawa mendengar cerita Nania, "iya sih tadi dia sempat bilang motornya mogok."
"Aku pikir motor gede bagus begitu nggak pernah bermasalah, tahunya ribet juga. Eh btw mbak baik-baik aja kan?"
Prisa mengangkat alisnya mendengar pertanyaan Nania yang tidak biasa-biasanya, "ya baik-baik aja lah."
"Soalnya mbak datang kesini lebih lambat dari biasanya, terus tadi Mbak Hana juga hubungin aku nanyain mbak, katanya mbak ngilang dari kantor. Mbak ngapain memangnya?"
"Ooh, itu. Nggak kok, mbak nggak kenapa-napa, tadi memang lagi ada keperluan mendadak mbak disuruh keluar tapi nggak sempet kabarin dia. Dia nyariin dan mungkin berpikir mbak pulang duluan."
"Aku tadi juga mau telfon mbak, tapi handphoneku keburu mati lagi." jelas Nania sambil menunjukkan wajah sedikit kesal.
"Eum, tentang handphone kamu, masalahnya makin parah ya? Makin sering mati mendadak?"
"Ya gitu deh mbak, kemarin sih cuma masalah baterai bocor, tapi sekarang matinya udah suka nggak karuan."
"Kamu mau ganti aja sama handphone mbak, nggak? Takutnya kamu jadi kesulitan kalau ada apa-apa."
Nania tertawa, "terus mbak pakai apa? Handphone aku?"
"Ya nggak masalah sih."
"Nggak usah lah mbak, aku udah biasa kok, nanti mbak malah bingung ngadepin handphone nya gimana. Lagian juga kemarin mbak udah kasih uang buat beli laptop, itu aja udah cukup kok, handphone bisa nanti-nanti aja."
"Serius mbak nggak papa kok, pasti kamu yang lebih butuh handphone dibanding mbak." Prisa tetap ingin menawarkan.
"Lebih butuh mbak kok, serius aku nggak masalah. Biar aku juga lebih fokus ke belajar aja, nggak main handphone."
"Yaudah deh, tapi kalau kamu emang butuh tinggal bilang mbak aja ya."
"Iya iya."
"Mama di dalam lagi ngapain?" tanya Prisa sambil kini melirik sekilas ke dalam kamar.
"Lagi ngobrol bareng keluarga pasien lain. Oh iya mbak, keadaan mama kayaknya udah baik-baik aja kayaknya, kok belum diijinin pulang? Emang sebelumnya dokter bilang apa ke mbak? Mama kapan bisa pulang?"
Prisa terdiam sejenak sebelum menjawab, lalu kini ia tersenyum kecil pada Nania, "akan lebih baik mama disini dulu aja sampai benar-benar stabil, mbak nggak mau seperti sebelumnya."
"Iya sih, tapi mama beneran nggak kenapa-napa kan?"
"Iya, tenang aja. Oh iya, kamu ini mau kemana?"
"Tadinya sih cuma mau keliling, tapi kebetulan mbak udah disini, aku mau pulang bentar rencananya. Boleh kan?"
Prisa mengangguk, "kamu hati-hati ya."
"Iya."
**
Prisa duduk di salah satu kursi di lorong rumah sakit sendirian, ia hanya diam saja sambil sesekali helaan napas terdengar dari arahnya.
"Prisaaaaaa!!!!" sebuah suara memecah keheningan, disaat wanita yang dipanggil namanya itu menoleh, ia mendapati seorang wanita menghampirinya dengan langkah agak berlari.
"Hana?? Ngapain kamu mendadak kesini?" tanya Prisa pada Hana yang sudah duduk di sebelahnya.
"Aku sama sekali nggak tenang tahu nggak? Aku kepikiran masalah kamu tadi siang ngilang di kantor, makanya aku bela-belaan kesini buat mastiin keadaan kamu. Kamu tadi kenapa dan kemana sih Prisaaa!?"
Prisa tertawa mendengar alasan Hana, "ya ampun Hana, gini banget ih?"
"Kamu tadi kenapa? Karena Bu Lia ya? Sumpah tadi kelihatan jelas kamu kayak yang terluka banget abis dimarahin Bu Lia. Tapi kan biasanya dia lebih parah dari itu tapi kamu nya biasa aja, tapi kenapa tadi sampai bikin kamu kabur begitu??"
"Hana, mending kamu tarik napas dulu deh tenangin diri kamu." Prisa coba mengingatkan sahabatnya itu yang bicara dengan sangat cepat dan napas yang tersengal.
Tanpa melawan Hana mengikuti instruksi Prisa untuk menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan.
"Udah? Udah tenang?" tanya Prisa setelah beberapa kali Hana menarik dan menghembuskan napasnya.
"Udah, ayo cerita."
"Ceritanya di luar yuk, sambil cari udara segar."
"Ayuk."
*
"Sumpah loh Pris, tadi itu aku panik banget kamu nggak balik-balik dan nggak bisa dikabarin. Untung aja Bu Lia lagi keluar, kalau nggak sih bisa makin berabe urusannya. Pasti aku yang dijadiin sasaran selanjutnya." Hana bicara saat kini ia dan Prisa sudah berada di tempat yang lebih terbuka.
"Maaf banget ya Han, aku nggak maksud sama sekali bikin kamu panik. Kamu sampai ngabarin Pak Deni ya?"
Hana mengangguk, "soalnya aku pikir kamu bakal ketemu atau ngabarin Pak Deni, secara kelihatannya kalian sekarang udah lebih dekat. Eh ternyata dia juga nggak tahu dan ikutan panik karena dia juga nggak bisa ngehubungin kamu."
Prisa terkekeh pelan, "iya, tadi udah aku kabari kalau aku baik-baik aja. Tadi dia juga bilang mau kesini, tapi aku larang soalnya nggak enak."
"Jadi tadi intinya kamu kemana?"
"Tadi aku nggak bisa tahan emosi aku buat nangis, karena malu aku nyari tempat sepi soalnya di toilet pun ada banyak orang. Terus aku ke basement, disana kalau siang sepi banget. Aku nangis deh disana."
"Ya ampun Prisa, harusnya kamu bilang dong, emang kamu juga malu nangis di depan aku? Terus kamu nangis dari siang sampai sore disana?"
Prisa menggeleng, "baru nangis sebentar aja langsung ada yang mergokin."
"Serius?? Siapa?"
"Pak Dehan."
"HAH!?" Hana kaget bukan main, "kok bisa???"
"Nggak tahu deh kok bisa disana lagi ada Pak Dehan dan dia mergokin."
"Terus gimana? Eh, tapi Pak Dehan juga udah kenal kamu kan?"
Prisa kini menggaruk belakang kepalanya sekilas, "masalahnya adalah tepat waktu Pak Dehan mergokin, akunya pingsan."
Hana tentu saja semakin kaget dan menganga, "kamu pingsan? Astaga Prisa, kamu kenapa sih sebenernya? Emang sih dari pagi kamu kelihatan nggak beres banget."
"Lebih kagetnya adalah si Pak Dehan ini malah bawa aku ke ruangan khusus istirahat dia. Dia nyuruh aku buat istirahat aja dan ga usah balik kerja dulu, aku juga di kasih makan dan dianterin pulang."
"HAH!? BENERAN?? BAIK BANGET!!!?" Hana terlihat benar-benar tidak menyangka dengan apa yang terjadi pada sahabatnya hari ini.
"Pak Dehan bilang kalau dia ngebantuin aku selaku temannya yang ketemu di shelter tempat aku kerja tiap weekend, aku udah cerita kan? Dia juga nanyain kenapa aku nggak dateng ke shelter minggu lalu. Pokoknya emang kayak temen banget Han."
Hana tertawa, "ya ampun Pris, beruntung banget sih kamu jadi temennya calon pemilik kantor sepenuhnya."
"Ya gimana ya Han, tapi rasanya tetep canggung dan aneh banget. Sumpah deh omongan orang-orang yang bilang Pak Dehan baik itu emang bener, malahan dia baik banget. Bisa-bisanya ada orang sebaik itu."
"Tapi Pris, hal yang bener-bener bikin aku penasaran adalah, kok mendadak kamu jadi begini? Biasanya juga kamu strong banget, ada apa hm? Ayo cerita kalau ada apa-apa, aku udah bilang kan kalau jangan pernah sungkan ngobrol dan minta tolong ke aku. Kalau kamu emang bener anggep aku teman, harusnya kamu cerita." Hana menatap Prisa, ia memang sangat mengkhawatirkan dan peduli pada sahabatnya ini.
"Aku bingung gimana ceritainnya."
"Cerita aja apa adanya, aku bakal dengerin kok. Percaya deh Pris, bercerita itu bisa bikin beban kamu berkurang walaupun sedikit, tapi tentu itu akan sangat berguna."
Prisa menarik napas dalam, ia masih bingung dan ragu namun memutuskan untuk bisa bercerita, "aku lagi ngerasa sangat pusing dengan semua yang terjadi sekarang Han."
"Kenapa?"
"Dokter bilang penyakit mama udah makin parah ditambah dengan komplikasi lain, aku nggak bisa lagi hanya bergantung pada asuransi yang ada, aku butuh biaya lebih buat pengobatan lanjutan mama. Aku juga dikabari dari pabrik tempat mama kerja sebelumnya kalau mama udah nggak bisa lagi lanjut disana dan mereka hanya akan memberikan pesangon yang jumlahnya nggak seberapa. Tabunganku juga udah semakin menipis dan sebentar lagi Nania akan tamat SMA. Aku sudah berjanji padanya kalau dia akan lanjut kuliah."
"Tentang mama kamu ini kamu belum kasih tahu siapapun?"
Prisa menggeleng, "dengan kondisi mama sekarang tentu aku nggak bisa cerita, dan pada Nania, aku nggak mau ngerusak konsentrasinya dan tentang kuliah itu adalah tujuannya terbesarnya saat ini. Terlebih dengan kerja keras dan prestasinya, aku nggak mau ngerusaknya Han. Dia pasti akan stres dan marah jika tahu hal ini. Aku nggak tahu harus gimana, saat keluarga almarhum papa kesini pun atau saat bertukar kabar saja mereka malah semakin nambah bebanku secara mental dengan ucapan mereka. Kamu tahu sendiri sejak dulu mereka seperti nggak suka dengan keluargaku. Keluarga mamaku juga jauh dan aku juga tidak jamin mereka akan bisa membantu, semua orang sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Aku harus gimana Han?? Siapa yang peduli dengan masalahku??" Prisa bicara sambil kini tak bisa lagi membendung air matanya yang sudah mengalir, suaranya juga bergetar.
"Ya tuhan Prisa..., bisa-bisanya kamu nanggung semuanya sendiri?" Hana bergerak mengusap punggung sempit Prisa yang dipaksa kuat untuk menjalani semuanya.
"Tiap malam aku nggak bisa tidur tenang, makan pun rasanya sangat hambar dan tidak bersemangat, banyak hal yang harus aku selesaikan dan ga bisa ditinggalkan, dengan semua permasalahan yang aku nggak tahu gimana ngatasinnya, dengan sedikit permasalahan di kantor tadi membuatku menjadi ingin meledak tapi aku tahu kalau aku tidak boleh meledak. Aku hanya ingin berteriak kalau aku kelelahan dan ingin berhenti sejenak." Prisa kembali mengusap pipinya yang basah oleh air mata sekaligus memaksakan diri untuk tertawa. Sampai detik ini ia masih merasa kacau dan tak tahu harus bagaimana.
Hana yang mendengarnya tanpa sadar juga ikut menangis, karena kalau ia berada di posisi Prisa saat ini ia pasti sudah lama memutuskan untuk menyerah. Hana bergerak memeluk Prisa dan disitulah tangis Prisa kembali pecah yang membuat Hana merinding. Selama Hana mengenal Prisa, Prisa terkenal sangat kuat dan selalu menunjukkan tawa senang dan ramah. Tapi nyatanya ia hanya gadis biasa yang bisa untuk merasa lelah, terlebih dengan semua permasalahan berat yang mau tidak mau harus ia pikul sendirian.
"Pris, aku tahu kamu kuat, tapi nggak papa kok kamu nangis dan ngerasa sedih begini. Ini sangat wajar dan kamu butuh untuk berhenti sebentar berlagak kuat."
"Tapi mama sama Nania butuh aku, aku bingung banget.., aku nggak mau mama kenapa-napa, aku juga nggak mau bikin Nania kecewa. Aku cuma mau kasih yang terbaik buat mereka Han, aku rela kasih seluruh hidup aku buat mereka, tapi kenapa sesulit ini?? Ngebayangin ini dadaku rasanya selalu sesak," Prisa terus bicara susah payah karena dadanya memang terasa sesak, suaranya terus bergetar.
"Prisa, tenang ya, aku bakal bantu kamu sebisaku, kalau ada apa-apa kamu harus langsung cerita. Ga boleh tahan sendirian, kamu sayang sama mereka, merekapun juga sayang sama kamu. Kamu juga harus mikirin diri kamu, jangan terus tekan diri kamu sendiri. Okey?"
"Aku nggak tahu Han..."
*****************************************
YA TUHAN, SEMOGA YANG NUNGGUIN CERITA INI DIKASIH KEMUDAHAN REZEKI DAN KESEHATAN
ILY?