"Pris, aku antar ke rumah sakit mau ya?" tanya Hana pada Prisa saat mereka sudah hendak pulang hari ini.
"Nggak usah Han, aku bisa sendiri kok. Kasihan kamu bolak balik."
"Nggak papa kok."
"Ah udahlah, ga papa."
"Serius Han, kamu balik duluan aja."
"Kalau sama saya mau, kan?" mendadak suara lain menimbrung, dan sudah tertebak kalau itu adalah Deni.
Hana langsung tersenyum melihat Deni yang juga sudah berada di samping Prisa, "eh iya deh, mending kamu sama Pak Deni aja."
"Duh kalian kenapa pada baik banget sih? Aku ga papa kok pulang sendiri," jawab Prisa sambil melihat sekitar karena ia selalu khawatir saat bersama Deni akan terlihat oleh Bu Lia.
"Bai, kalian lanjut ya, aku balik duluan," Hana menepuk pelan bahu Prisa dan pergi begitu saja meninggalkan Deni dan Prisa.
Prisa sempat ternganga dan hendak menahan Hana untuk tetap bersama mereka, tapi gadis itu sudah keburu lari menjauh.
"Gimana? Mau kan? Harus mau sih, kakak maksa soalnya."
Prisa tak bisa lagi menolak dan hanya bisa tersenyum, "yaudah deh, makasih ya kak."
"Nice!"
*
"Pris, kemarin kamu kemana? Kakak serius panik loh waktu Hana ngasih tahu kamu ngilang. Emang Lia jahat banget ya ke kamu kemarin?" Deni mulai bertanya saat kini mereka sudah berada di dalam mobil dan mulai melewati jalanan.
"Nggak sih kak, Bu Lia biasa aja, aku aja kemarin yang lagi capek banget, jadinya kena omel dikit langsung pengen kabur," Prisa menjawab sambil terkekeh.
"Terus kamu kemana? Ngapain?"
"Ada deh, intinya setelah kabur aku udah ngerasa lebih baik."
"Yaudah kalau emang nggak mau ngasih tahu. Tapi berani juga ya kamu sampai nggak balik kerja, bolos setengah hari. Apa nggak kena marah lagi tadi sama Lia?"
Prisa menggeleng, "kayaknya Bu Lia nggak tahu. Nggak tahu sih nanti marahnya mungkin di akhir bulan. Tapi yang penting sekarang nggak ada masalah apapun."
"Sebelum ke rumah sakit kamu mau ke suatu tempat dulu nggak?" Deni bertanya sambil kini melirik Prisa.
Prisa mengangkat alisnya balas melihat Deni, "eum, emang mau kemana? Aku nggak mau kemana-mana kok kak."
"Tadi kamu bilang kamu lagi kelelahan banget. Kakak tahu, kamu pasti capek banget cuma bolak balik rumah sakit kantor, ayo refreshing bentar, sekedar duduk di kafe aja nggak papa kan?"
Prisa diam sejenak, "Kak Deni mau nemenin?"
"Tentu, dengan senang hati."
"Serius nggak ganggu?"
"Ya ampun Prisa, ya nggak sama sekali, kan kakak yang ngajakin."
Prisa menunjukkan senyuman karena ia pikir akan lebih baik ia rehat sejenak, tidak apa sekali-kali menyetujui ajakan Deni yang selama ini selalu ia tolak.
"Yaudah, aku kabari Nania dulu ya kak. Tapi maaf banget, aku kayaknya nggak bisa lama karena..."
Deni langsung mengangguk paham, "baiklah. Kakak ada tempat yang udah lama pengen banget kakak ajak kamu ke sana."
"Thanks ya kak."
*
Dan setelah itu, Deni dan Prisa menghampiri sebuah kafe dengan latar pemandangan yang sangat indah dan cukup membuat perasaan menjadi lebih tenang. Bagi Prisa yang rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali pergi hanya untuk menenangkan dirinya sendiri, ini cukup berdampak untuknya.
Seolah paham, selama berada di kafe itu, Deni tidak banyak mengajak Prisa untuk mengobrol. Ia hanya membiarkan Prisa diam menenangkan pikirannya yang tampak sembraut beberapa waktu belakangan. Memang, tujuannya mengajak Prisa keluar sebentar adalah demi membuat gadis itu menjadi merasa lebih baik.
Dan setelah menghabiskan waktu beberapa saat, Prisa dan Deni kembali bergerak menuju rumah sakit, langit juga terlihat sudah mulai gelap.
"Kakak mau langsung balik atau mampir dulu?" tanya Prisa saat mereka sudah sampai di depan rumah sakit.
"Hm, kayaknya kakak nggak mampir dulu deh, Pris."
Prisa mengangguk, "yaudah, lagian kakak juga harus istirahat. Makasih banyak ya kak, walaupun sebentar, tapi aku ngerasa sedikit lebih baik dan sangat senang."
"Sama-sama, ehm Prisa.., apa boleh kita bicara sebentar?"
Prisa yang tadinya bersiap untuk keluar mobil kembali menyandarkan punggungnya di kursi sambil melihat pada Deni, "boleh, ada apa kak?"
Deni menghela napas pelan, "Pris, kamu kalau lagi ada masalah, cerita aja sama kakak. Kakak ngerasa nggak enak sebenarnya tiap kali lihat kamu diam-diam kesulitan tapi kakak nggak tahu sama sekali apa masalahnya."
Prisa langsung tertawa mendengar ucapan Deni, "lah kok kakak yang ngerasa ga enak?"
"Prisa, kakak sayang sama kamu. Nggak ada yang berubah sejak dulu, kakak jatuh cinta sama kamu. Kakak tahu kamu masih hanya akan menganggap ini lelucon, tapi ini serius Pris."
Prisa terdiam mendengar ucapan Deni, wajah pria itu menunjukkan kalau ia sedang serius, tidak sedang bercanda.
"Nggak papa kalau kamu memang nggak balas perasaan kakak, toh kakak juga udah terbiasa kamu giniin sejak dulu. Tapi tolong ijinin kakak buat dengerin keluh kesah kamu, tolong jangan nyimpan semua masalah sendiri. Kakak nggak tega lihat kamu begini Pris."
"Kak, jangan kasihani aku."
"Enggak, kakak bukan ngasihani kamu. Tapi memang kakak ga bisa lihat kamu kesulitan Pris, harusnya kamu paham ini," Deni bicara sambil kini meraih salah satu tangan Prisa untuk ia genggam.
Tidak tahu kenapa perasaan Prisa menjadi terasa berbeda, entahlah karena sekarang ia memang berada di masa-masa sulit dan butuh seseorang atau memang perasaannya pada Deni masih ada sampai saat ini, perasaan yang sejak dulu ia tahan karena tahu diri.
"Pris?" Deni terkejut karena mendadak Prisa menitikkan air mata.
Prisa menarik napas dalam dan balas menggenggam tangan Deni, "makasih banyak ya kak, jujur saja aku senang sekali sampai saat ini Kak Deni masih setia buat peduli walau aku sering ngasih respon yang mungkin nggak kakak harapin. Aku selalu coba buat ngejauhin dan menghindar."
"Kenapa sejak awal kita bertemu lagi kamu seolah nolak setiap perhatian yang kakak kasih?"
Prisa menunduk memperhatikan tangannya dan tangan Deni yang masih berpegangan, ia menjadi ingat bagaimana dulu seringnya tangan ini selalu membantunya dan menghiburnya. Saat dimana ia merasakan beban hidupnya belum seberat saat ini, ya walaupun saat itu ia sudah tahu akan menanggung beban yang berat. Namun rasanya dulu ia masih bisa tertawa lepas, namun sekarang rasanya setiap tawanya hanyalah kepalsuan demi menutupi rasa lelah yang ia rasakan.
Memori Prisa kembali bergerak saat ia baru saja masuk SMA, saat dimana ia baru saja mengenal Deni dengan segala keisengan yang menyebalkan namun menjadi awal keakraban mereka. Prisa ingat juga di tahun itu pula ayahnya meninggal, dan orang yang langsung bersedia menemani dan menyemangatinya secara setia adalah Deni. Bisa dibilang Deni lah orang yang paling menjaga Prisa untuk tetap tertawa apapun kondisinya. Bahkan saat Deni mulai kuliah dan Prisa masih SMA, ia masih rutin untuk berkomunikasi dan memastikan kalau Prisa baik-baik saja, ya walaupun dengan status yang katanya hanya teman atau kakak adik. Namun semuanya berhenti saat Prisa yang hendak tamat SMA mendadak menghindari Deni dan mereka berakhir lost contact.
Jika Prisa harus jujur, sejak detik itu pula lah ia merasa harinya semakin berat. Tidak ada lagi seseorang yang bisa ia cari tanpa pikir panjang saat ia merasa susah, dan hari demi hari ia mulai terbiasa dengan itu. Hidup dengan memendam permasalahan dan belajar untuk tidak bergantung pada siapapun.
"Maaf," hanya kata itu yang akhirnya bisa keluar dari mulut Prisa, bahkan ia sama sekali tidak mengangkat kepalanya.
"Kakak masih belum mengerti apa yang terjadi sama kamu sampai waktu itu kamu mutusin untuk menjauh. Tapi hal yang ingin kakak kasih tahu adalah, kakak masih disini buat kamu, dengan perasaan yang sama, nggak ada yang berubah," Deni secara perlahan membawa Prisa ke dalam pelukannya.
Prisa hanya pasrah dan saat berada di dalam pelukan Deni, ia tak lagi bisa menahan kerinduannya. Tentu saja sejak awal dia sangat merindukan sosok ini, hanya saja dia terlalu malu untuk mengungkapkan. Ia membenamkan kepalanya di d**a bidang itu setelah sekian lama.
Detik itu juga Deni merasa sedikit lega, akhirnya secara perlahan ia kembali mendapatkan Prisa yang dulu, dengan lembut ia mengusap belakang kepala Prisa.
"Kakak harap secara perlahan kita bisa kembali saling terbuka."