18. Close

1646 Words
"Oh, hai kak, jadi juga kesini?" Prisa langsung tersenyum lebar mendapati kehadiran Deni malam ini di rumah sakit. Setelah pembicaraan mereka beberapa hari lalu, hubungan Deni dan Prisa menjadi dekat kembali. Prisa berpikir kalau memang lebih baik ia tidak terlalu memaksakan diri untuk menghindari Deni yang jelas-jelas baik dan selalu perhatian padanya. Namun untuk di kantor mereka memang sepakat tetap seperti sebelumnya, terlebih di depan Bu Lia. Karena bagaimanapun Prisa memang tidak ingin mencari masalah. "Jadi dong, sekalian kakak bawain makan malam, belum makan kan?" "Wah, makasih ya kak." "Mama kamu di dalam lagi ngapain?" tanya Deni karena mereka sedang berada di luar kamar inap. "Biasa, lagi ngobrol sama pasien dan keluarga lain. Maklum, udah kelamaan dirawat jadi akrab semua orang di kamar ini." jawab Prisa tertawa pelan. "Pengobatan lanjutannya udah mulai jalan kan?" Gadis berambut kuncir kuda dan mengenakan kardigan berwarna hitam itu mengangguk, "makasih banget ya kak udah mau bantuin." "Nggak masalah kok, yang penting kamu gak stres lagi dan ga pusing sendiri lagi. Ya walaupun kakak belum bisa bantu banyak, tapi kakak usahain nanti nyari tambahan biayanya." "Ya ampun kak, itu udah ngebantu banget kok, kakak dengerin cerita aku aja sebenarnya aku udah seneng banget." Prisa benar-benar menunjukkan wajah berterima kasih, walau awalnya ia hanya ingin terbuka pada Deni mengenai masalah apa yang sedang ia hadapi, tapi Deni akhirnya memaksa untuk membantu secara materi. Prisa sebenarnya tidak ingin menerima, tapi apa boleh buat, saat ini ia benar-benar sedang sangat membutuhkannya. "Aku janji bakal ganti uangnya nanti," lanjut Prisa pada Deni. "Udahlah, lain kali aja. Gapapa kamu mau ganti karena kamu pasti ngerasa ga enak kan? Tapi jadiin prioritas belakangan aja ya, kakak emang pengen bantu kamu dan demi kesehatan mama kamu." jawab Deni sambil mengusap rambut Prisa sekilas sambil tersenyum hangat. Gadis itu tersenyum lega mendengar ucapan Deni, "makasih banget ya kak." "By the way, Nania mana?" "Nania? Ada kok, tadi katanya mau keliling-keliling. Memangnya kenapa?" "Ada deh." "Ih, kok pakai rahasia-rahasia segala?" Prisa menatap Deni heran karena tak biasa-biasanya ia seperti itu. "Oh iya, kamu besok tetap mau ke shelter?" "Iya kak, nggak enak aku baru kerja disana tapi udah sering izin." "Kamu nggak papa? Nggak capek?" Deni memastikan karena Prisa seperti tidak pernah memiliki hari libur di hidupnya. "Nggak papa lah, lagian juga udah biasa." "Yaudah, yuk makan malam dulu." "Yuk makan bareng di dalam." * "Mbak Prisssss!!" Nania mendekati sang kakak yang tengah memijat kaki mamanya dengan semangat. "Iya, kenapa?" "Lihat nih!" Nania menunjukkan sebuah paperbag yang ia bawa masuk dari luar. "Apa itu?" "Tadaaaa!" Nania mengeluarkan sebuah handphone dari paperbag itu dengan senyum lebar. "Heh? Dapat dari mana?" mama yang melihat itu ikut kaget. "Iya, dapat dari mana kamu?" "Di kasih Kak Deni, tadi waktu aku mau kesini papasan sama dia, trus akunya dipanggil disuruh ikut bentar ke mobilnya di parkiran, terus aku dikasih ini." Prisa langsung menganga kaget, "hah! Dari Kak Deni!? Kok kamu main terima aja?" "Ya kan namanya juga di kasih, terus aku harus gimana dong? Lagian katanya juga boleh kok sama mbak, emang mbak nggak tahu?" tanya Nania agak bingung. "Ya kalau mbak tahu, nggak mungkin lah mbak nanya dan kaget begini! Apa kata Kak Deni tadi ke kamu?" Prisa masih belum menyangka kalau bisa-bisanya Deni memberikan handphone baru untuk Nania. "Ya katanya dia ngasih ini biar aku nggak ribet sama handphone lama. Terus disuruh kalau udah pakai handphone baru ini harus rajin ngabarin mbak biar mbak nggak khawatir lagi kalau ada apa-apa sama aku. Gitu sih katanya, yaudah deh aku terima aja." jelas Nania santai sambil duduk di sudut ranjang mamanya dan mulai memperhatikan handphone yang baru saja ia dapatkan itu. Prisa menghela napas panjang, "ya ampun Kak Deni, ada-ada aja deh. Terus tadi kamu nggak lupa ngomong terima kasih kan?" Nania terdiam sejenak sambil coba mengingat-ingat, "duh, aku ngomong nggak ya?" "Astaga Nania! Udah mbak bilang kan kalau kamu harus biasain ngomong tolong, maaf dan terima kasih!?" "Iya deh mbak maaf, ya tadi kan aku kaget dan seneng banget. Tapi kayaknya aku ngomong deh mbak, kalau nggak salah sih." "Ya ampun Nania, kamu ini bener-bener ya." mama ikut geleng-geleng kepala melihat kelakuan bungsunya itu. Prisa hanya bisa menghela napas, "bentar ya ma, aku telfon Kak Deni dulu." * Prisa berjalan menuju balkon di kamar inap sambil mencari kontak Deni di handphonenya untuk ia telpon. Ia benar-benar tidak tahu masalah handphone baru yang diberikan Deni pada Nania. "Halo, Pris, ada apa?" setelah beberapa saat panggilan di angkat oleh Deni. "Kak Deni lagi dimana?" "Ini masih di jalan, kenapa Pris?" "Kak Deni kasih handphone ke Nania?" Prisa langsung saja mengajukan pertanyaan inti pada Deni, namun jawaban yang dia dapat hanyalah sebuah tawa. "Duh kak, ngapain sih? Kemarin baru aja ngasih aku pinjaman uang, sekarang udah kasih Nania handphone." omel Prisa sambil memijat pelipisnya. "Ya nggak papa Pris, kan kakak ngasihnya ke Nania, kenapa kamu yang ribet?" "Sama aja lah kak, sumpah deh kak, kalau dengan aku cerita kakak malah ngelakuin banyak hal begini, aku jadi ragu buat cerita ke Kak Deni lagi setelah ini." "Astaga, jangan gitu dong Prisa. Kamu harus tetap cerita apapun itu." "Tapi kak..." "Udahlah jangan dipikirin, mending kamu istirahat sekarang, jangan pikirin apapun. Besok pagi kamu mau ke shelter kan?" Prisa menarik napas dalam sambil memejamkan matanya agar lebih tenang, "Kak Deni..," "Ya?" "Kakak tahu kan kalau aku sama sekali nggak mau repotin Kak Deni?" "Iya, tahu kok. Kamu tenang aja, udah ya jangan semuanya kamu pikirin. Good night Pris." "Okey, hati-hati di jalan, dan makasih ya kak." "Iya, sama-sama." *** Hari ini Prisa sudah sibuk di shelter mengurus semua hewan-hewan setelah sebelumnya ia sempat izin. Dan siang ini Prisa tampak sedang memangku salah satu kucing sambil dengan santai namun hati-hati memotong kuku kucing tersebut. "Kok kukunya dipotong, mbak?" Prisa dikejutkan oleh suara seorang perempuan yang kini mengambil posisi duduk disampingnya namun dengan sedikit jarak sambil memperhatikan kucing yang sedang Prisa pangku. "Ouh? Iya, kukunya memang harus dipotong secara berkala, terlebih hari ini ada yang mau adopsi kucing ini." Prisa menjelaskan sambil tak lupa memberikan senyum pada perempuan yang tampaknya masih usia SMP itu. Perempuan dengan rambut tergerai sepunggung itu mengangguk, "oh emang harus rutin ya? Terus dia nggak marah?" "Ya sebenernya mungkin dia nggak suka, tapi ya kitanya aja yang menyesuaikan gimana dia nyamannya." "Oh, berarti dia sekarang nyaman dong? Soalnya dia anteng banget kelihatannya." Prisa tertawa, "ya lagi dapet kucing yang anteng, kalau dapat yang sensitif mah nggak jarang kitanya kena gigit atau dicakar." "Ih serem!" perempuan berparas manis itu langsung menunjukkan ekspresi takut. Prisa kembali terkekeh melihat ekspresi perempuan itu, "mau coba nggak motong kukunya?" "Enggak deh mbak, takut." ia langsung menggeleng tanpa ragu. "Oh iya, kamu kesini ngapain? Mau adopsi hewan? Atau mau lihat-lihat aja? Atau ada keperluan lain?" tanya Prisa penasaran karena ia belum pernah bertemu perempuan ini. Lagipula ia juga baru disini dan belum begitu kenal siapa saja di lingkungan ini. "Aku cuma lihat-lihat aja kok mbak." "Ooh gitu, kamu datang sendiri?" Perempuan itu menggeleng, "aku datang sama mas aku mbak, dia sering sih kesini, tapi aku jarang. Kebetulan aja sekarang ngikut." "Terus, kamu suka hewan nggak?" tanya Prisa lagi mengajak mengobrol sambil terus melanjutkan pekerjaannya. "Eum.., nggak pernah yang begitu tertarik sih, biasa aja." "Oh gitu," "Tapi aku sempet sih waktu itu mau pelihara anjing, tapi nggak jadi." "Kenapa?" "Takut aja nggak kerawat, lagian nanti kalau melihara pasti disayang, terus kalau mati takutnya aku sedih dan kalau mati ribet nguburnya." Prisa yang sedang menggunting kuku kucing itu langsung terkejut dan menatap perempuan di sampingnya itu dengan mulut menganga, "kok belum apa-apa udah mikirin mati duluan?" "Ya emang kan?" jawab perempuan itu dengan polosnya pada Prisa. "Ya memang benar sih, hanya saja itu terdengar sedikit mengerikan." "Manda, disini kamu ternyata." Sebuah suara mendekat langsung mencuri perhatian kedua perempuan itu. "Udah selesai urusannya, mas?" Prisa terkejut melihat siapa sosok yang menyapa perempuan yang menjadi teman mengobrolnya, "Pak Dehan?" Dehan langsung menyapa dengan senyum, "siang, Prisa." "Siang Pak. Oh, jadi ini adiknya Pak Dehan?" tanya Prisa agak kaget. Dehan langsung mengangguk, "iya, ini Manda adik perempuan saya." "Mas Dehan udah kenal sama mbak ini?" Manda tampaknya juga kaget dan bertanya. "Iya, jadi Mbak Prisa ini salah satu karyawan di kantornya papa." Dehan menjelaskan pada Manda, "kalian belum kenalan?" Manda menggeleng, "belum, kita cuma ngobrol doang." "Begitu ternyata, mas kira udah akrab aja. Soalnya Prisa ini ramah dan baik orangnya jadi gampang akrab sama siapa aja." Manda mengangguk, "iya, baik orangnya." Prisa langsung tertawa, "padahal kita baru ngobrol sebentar loh." Dehan ikut tertawa sambil mengusap sekilas puncak kepala sang adik, "tumben banget bilang orang lain baik, padahal baru ketemu." Manda terkekeh pelan lalu menoleh ke arah Prisa, "Mbak Prisa deket sama Mas Dehan?" Prisa agak bingung menjawab pertanyaan Manda, ia tentu berpikir dulu sebelum menjawab, "Pak Dehan itu bosnya Mbak di kantor, baik orangnya dan mbak juga sering dibantuin." "Jadi artinya deket apa enggak?" Manda kembali mengulang pertanyaannya yang membuat Prisa terus kebingungan. "Deket kok, kan Mbak Prisa kerja di shelter ini, mas juga sering kesini, kita udah kayak temen." Dehan menjawab pertanyaan Manda karena ia paham kalau Prisa pasti bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan Manda. Manda mengangguk, "hm begitu ternyata. Aku boleh juga nggak deket sama mbak?" "Eh??" Prisa benar-benar dibuat semakin kaget oleh Manda. Dehan terkekeh, "mendadak ingin dekat?" Manda mengangguk, "ya buat jadi temen aja, kan kata Mas Dehan Mbak Prisa ini baik. Nggak papa kan?" Prisa yang masih belum bisa paham situasinya hanya memilih untuk mengangguk, "ya nggak papa lah, apa salahnya?" Manda langsung tersenyum, "kalau gitu minggu depan aku kesini lagi deh." "Silahkan, main aja kesini, nggak papa banget kok." Dehan yang melihat itu hanya bisa tertawa, "kita pergi sekarang? Katanya tadi buru-buru kan?" Manda mengangguk, "okey, sampai jumpa minggu depan ya mbak." "Saya pergi dulu ya Prisa, hari ini saya tidak bisa lama-lama disini." Dehan juga tak lupa pamit pada Prisa. Prisa mengangguk dengan senyumnya yang lebar, "baiklah, hati-hati Pak Dehan, Mandaa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD