Bab 2. Kenapa Belum Hamil?

795 Words
Setelah Indira menikah dengan Ilham, dia resmi menjadi istri sang majikan. Ilham mendaftarkan pernikahan mereka secara sah agar status anak itu nantinya diakui secara hukum negara. Malam ini adalah malam pertama mereka. Ilham yang sudah tidak sabar untuk memiliki putra, tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Tidak perlu obrolan singkat sebagai pemecah ketegangan yang dirasakan Indira, pria itu langsung ke bagian intinya. Tidak peduli apa yang dirasakan Indira di malam pertamanya, pria itu tetap dengan rencananya sendiri. Sebenarnya, malam itu juga merupakan yang pertama bagi Ilham, pria itu merasakan sensasi lain saat dia menyentuh Indira untuk pertama kalinya. Entah mengapa dia merasa lebih tenang setelahnya. Setelah menyelesaikan malam pertama mereka, Ilham tidur di tempat tidur yang sama dengan Indira. Tepat jam empat pagi, pria itu bangun. Ketika Ilham duduk di atas kasur, Indira terbangun. Pria itu turun dari ranjang lalu menyalakan lampu kamar. Indira yang baru saja terbangun harus menyesuaikan penglihatannya. “Tuan?” “Nanti malam aku akan datang lagi ke kamar ini. Kamu rapikan lagi kamar ini dan jangan biarkan berantakan!” “Baik, Tuan.” “Aku mau melakukannya setiap hari sampai kamu hamil. Kamu harus secepatnya mengandung anakku agar urusan kita cepat selesai.” “Iya, Tuan. Ada lagi?” “Tidak ada. Aku mau siap-siap ke kantor dulu.” “Tuan ….” “Ya, ada apa, Dira?” “Apa saya harus menyiapkan semua keperluan Tuan sebelum berangkat ke kantor?” “Tidak perlu, Dira. Mulai sekarang tugasmu hanya mengandung dan merawat calon anak saya saja. Lainnya biar dikerjakan pembantu dan pelayan yang lain.” “Oh ya, baik, Tuan.” Setelah Ilham meninggalkan kamar itu, Indira turun dari ranjang menuju kamar mandi. Dia berjalan perlahan karena merasakan sedikit nyeri. Sebenarnya Indira memiliki kamar lain bersama pembantu lainnya. Namun, sejak menjadi istri dari majikannya, dia mendapat kamar sendiri yang dia tempati sejak tadi malam. Pikiran negatif muncul di benak Indira, apakah dia melakukan kesalahan dengan menikah dan melahirkan anak majikannya nanti. Dia merasa seperti sudah menggadaikan dirinya hanya untuk membayar utang ayahnya. Namun, perempuan itu tidak ada pilihan lain. Daripada dia menikah dengan rentenir lebih baik dia menikah dengan majikannya. Toh, setelah melahirkan nanti dia bisa melanjutkan hidup dan mulai membangun mimpi seperti apa dia akan melanjutkan hidupnya nanti setelah keluar dari rumah majikannya. Selesai mandi, Indira menuju halaman belakang. Hari itu dia masih ingin bekerja seperti biasanya. Menyapu halaman belakang, menyiram bunga dan membersihkan ruangan kerja yang ada di rumah Ilham. Tentu saja dia melakukan semuanya tanpa sepengetahuan Ilham dan berusaha agar tidak terlihat oleh majikannya. Syukurlah hari itu, sang majikan tidak mengetahui jika Indira masih melakukan pekerjaanya seperti biasa. Malam harinya, Indira sudah siap di kamar. Tak lama kemudian, Ilham datang ke kamar Indira. Tanpa basa basi pria itu langsung naik ke tempat tidur dan menyentuh Indira tanpa memanjakan perempuan itu lebih dulu. Yang ada dalam pikirannya hanya membuat agar Indira cepat mengandung calon anaknya. Setelah menyentuh perempuan itu dia akan tertidur di kamar yang sama. Satu minggu kemudian, masih pagi-pagi sekali, Ilham memberikan sebuah tespack pada Indira. Dia suruh perempuan itu memakai alat itu untuk mengecek kehamilannya. Namun, hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan Ilham. Pria itu marah menatap hasil tespack yang hanya menunjukkan garis satu saja. “Kenapa kamu belum hamil? Saya sudah tidur denganmu kamu selama satu minggu, tapi kamu belum hamil juga? Padahal hasil tes kesuburan kamu kan menyatakan kalau kamu subur?” Indira terdiam. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan sang majikan. Perempuan itu hanya bisa tertunduk ketakutan. “Kenapa kamu diam saja, Dira? Ayo jawab!” Ilham mendesak Indira agar menjawab pertanyaannya. “Sa-saya tidak tahu, Tuan.” “Masa kamu tidak tahu sih?” Ilham menghembuskan napas kasar. “Ya sudah. Aku mau berangkat ke kantor.” Setelah kepergian Ilham dari kamarnya, Indira duduk di tepi ranjang lalu menangis. Dia tidak tahu mengapa dia belum hamil. Tiba-tiba perutnya terasa nyeri dan Indira baru ingat jika hari itu adalah jadwal biasanya dia datang bulan. Perempuan itu menangis sejadi-jadinya. “Ya Tuhan kenapa aku harus datang bulan hari ini? Gimana kalau tuan Ilham marah. Dia mau aku segera hamil, terus gimana nasibku sekarang?” Indira terus berlinang air mata. Tak lama kemudian, Ilham masuk ke kamar Indira. Wajah pria itu terlihat serius. “Nanti sore pakai baju yang rapi. Aku mau bawa kamu ke dokter kandungan.” Indira menghapus air matanya lalu mengangkat kepalanya menatap sang majikan. “Ke dokter kandungan? Mau ngapain, Tuan?” “Mau periksa kandungan kamu, sekalian tanya kenapa kamu belum hamil juga padahal kita sudah berhubungan selama satu minggu.” “Oh, iya, Tuan. Nanti sore saya akan siap-siap sebelum berangkat ke dokter.” Indira semakin merasa takut karena nanti majikannya akan tahu jika dia sedang datang bulan. Namun, Indira hanya bisa pasrah apa pun yang akan terjadi nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD